Salah satu isu perdebatan antara pemohon
uji materi dan pemerintah tentang Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Mahkamah Konstitusi adalah
liberalisasi pendidikan.
Isu ini muncul karena pemohon
berpendapat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan.
Liberalisasi pendidikan menjadikan pendidikan sebagai komoditas global dan
pasar global. Pasar global melahirkan ketidakadilan dalam mengakses pendidikan
di negara berkembang. Sementara pemerintah dengan tegas menyatakan RSBI/SBI
bukan liberalisasi pendidikan.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah
Konstitusi (MK) tak menyinggung isu ini. MK hanya berpendapat, satuan
pendidikan yang bertaraf internasional antara lain berpotensi merugikan jati
diri bangsa, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan
perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas.
Komersialisasi
Pendidikan
Liberalisasi pendidikan di Tanah Air
berupa masuknya tenaga kerja asing di bidang pendidikan dan kehadiran sekolah
dasar dan perguruan tinggi asing sudah cukup lama ada. Di Jakarta atau Bandung,
sekolah dengan label nama suatu negara—diikuti kata international school—sudah
cukup lama beroperasi. Begitu juga dengan perguruan tinggi. Papan nama atau
label perguruan tinggi asing dapat ditemui dengan mudah di suatu gedung bisnis
di ibu kota.
Keberadaan tenaga kerja atau lembaga
pendidikan asing di Tanah Air diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Tenaga kerja asing pendidikan diatur dalam UU No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 27 UU ini menyatakan, tenaga kerja asing
yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib
mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 UU ini juga
menyatakan bahwa tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan
pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
Lembaga pendidikan asing dibolehkan
kehadirannya di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 161 Ayat (1) PP
ini menyatakan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di
negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dari praktik dan aturan hukum di
Indonesia, tampak liberalisasi pendidikan bukan saja sudah berjalan, tetapi
juga secara hukum diperbolehkan. Dalam putusannya, memang MK tidak dengan tegas
menyatakan apakah MK setuju atau tidak terhadap liberalisasi. Akan tetapi,
secara implisit MK melarang komersialisasi pendidikan.
Intinya, komersialisasi pendidikan
senapas dengan liberalisasi pendidikan. Dengan adanya putusan MK, kita bisa
melihat, liberalisasi pendidikan di Indonesia menjadi dilematis.
Persoalan dilematis ini dihadapkan pula
dengan realitas global dewasa ini, yakni globalisasi perdagangan WTO dan
regionalisme perdagangan ASEAN. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memiliki
aturan perdagangan bebas di bidang sektor jasa, yaitu General Agreement on
Trade in Services (GATS). Agenda liberalisasi pendidikan sudah cukup lama
dipandang sebagai sektor yang akan diliberalisasi. Selama ini, yang sudah masuk
ke dalam liberalisasi jasa ini adalah sektor keuangan, pariwisata,
telekomunikasi, dan tenaga kerja (movement of persons).
Liberalisasi sektor jasa pendidikan
dalam ASEAN tampaknya mengikuti langkah GATS. Lambat atau cepat, liberalisasi
pendidikan akan masuk ke agenda. Mau tidak mau, tekanan negosiasi dan tekanan
ekonomis atau diplomatik akan mendorong pembahasan agenda perundingan
liberalisasi pendidikan di Tanah Air.
Liberalisasi
Progresif
Satu hal yang perlu kita simak,
liberalisasi jasa GATS tidak mewajibkan setiap negara anggota WTO—termasuk
Indonesia—harus meliberalisasi seluruh sektor jasanya. Prinsip GATS dalam WTO
yang terpenting adalah liberalisasi progresif (Article XIX-XXI GATS) dan
ketentuan khusus bagi negara berkembang (Article IV GATS).
Liberalisasi progresif berarti setiap
negara anggota WTO dapat meliberalisasi jasanya secara bertahap. Liberalisasi
ini bergantung negosiasi negara-negara anggota. Termasuk di dalamnya negosiasi
berdasarkan prinsip resiprositas atau timbal balik.
Ketentuan khusus bagi negara berkembang
membolehkan negara berkembang meliberalisasi bidang-bidang apa saja yang menurut
kepentingan ekonomi mereka dapat diliberalisasi. Sebaliknya, negara berkembang
dapat tidak meliberalisasi sektor jasa yang menurut kepentingan ekonominya
tidak atau belum dapat diliberalisasi.
Masalahnya, seperti disebut di atas,
adanya kenyataan bahwa praktik dan peraturan perundang-undangan kita sudah pro
kepada liberalisasi ini. Bagaimana mengantisipasinya?
Alternatif pertama, mengubah atau
mencabut peraturan perundang-undangan yang pro-liberalisasi di atas.
Konsekuensi dari pilihan langkah ini adalah penutupan lembaga pendidikan asing.
Implikasinya, pemerintah harus siap diprotes, atau skenario terburuknya digugat
secara hukum oleh lembaga pendidikan asing.
Alternatif kedua, memperberat
syarat-syarat pendirian lembaga pendidikan asing, termasuk penerapan syarat
resiprositas yang ketat. Persyaratan dirancang sedemikian rupa sehingga sulit
untuk dipenuhi.
Huala
Adolf ;
Pengajar
pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
KOMPAS,
19 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi