MAHKAMAH Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa keberadaan rintisan
sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI)
bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak lagi punya basis legal untuk
terus beroperasi. MK mengabulkan gugatan sekelompok warga negara yang
mengajukan judicial review dan membatalkan Pasal 50 UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menjadi landasan hukum pemerintah
dalam membentuk atau mendirikan RSBI/SBI. Kebijakan pemerintah dalam membangun
RSBI/ SBI merujuk pada amanat UU No 20 Tahun 2003 Pasal 50 ayat 3, yang
menegaskan bahwa ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional’.
Selaku penekun kajian pendidikan,
saya--juga banyak pihak yang lain--tidak menemukan alasan yang masuk akal dan
pertimbangan yang logis mengapa diktum yang tertuang dalam Pasal 50 tersebut
bisa diakomodasi di dalam UU Sisdiknas. Pendirian RSBI/SBI sesungguhnya lebih
menggambarkan obsesi berlebihan untuk membangun sekolah berorientasi
internasional tanpa melihat situasi dan kondisi nyata masyarakat Indonesia
sendiri. Pemerintah memang memikul tanggung jawab besar untuk memberikan
layanan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial-ekonomi-budaya, bahkan
orientasi ideologi politik setiap warga negara. Dalam hal ini, keputusan MK
sejatinya mereļ¬eksikan aspirasi masyarakat yang melihat ada tendensi perlakuan
tidak adil pemerintah terhadap masyarakat dalam memberikan layanan pendidikan
melalui penyelenggaraan RSBI/SBI. Sebab, penyelenggaraan RSBI/ SBI dalam
kenyataannya telah membatasi peluang kelompok masyarakat berkemampuan ekonomi
lemah untuk dapat mengakses layanan pendidikan bermutu.
Berbagai kalangan, mulai dari ahli dan
praktisi pendidikan sampai orangtua murid dan masyarakat umum, telah
melancarkan kritik terhadap penyelenggaraan RSBI. Argumen yang kerap mengemuka
dalam perdebatan publik dapat diringkas dalam rumusan kritis: dengan
mengembangkan RSBI, pemerintah telah menciptakan kasta dalam pendidikan, yang
menimbulkan praktik diskriminasi dalam layanan pendidikan.
Pangkal kritik masyarakat ialah layanan
pendidikan melalui RSBI memerlukan biaya sangat mahal sehingga tidak semua
kelompok masyarakat dapat menjangkaunya. RSBI dapat dikatakan sebagai salah
satu bentuk unaffordable education service. Dengan demikian, kebijakan RSBI
dinilai telah mengingkari prinsip paling elementer dalam memberikan layanan
pendidikan, yaitu pemerataan (equity). Simak doktrin umum dalam kebijakan
publik terkait layanan pendidikan, `one of the basic tenets of education
service is equity; this principle asserts that educa tion should be accessible
for everyone regardless of his/ her social, cultural, and economic
backgrounds'.
Akses
Terbatas
Dalam konteks kebijakan publik, dana
publik yang dihimpun melalui pajak harus didistribusikan untuk kepentingan umum
sehingga basic social services dapat dinikmati semua kelompok masyarakat.
Pelayanan publik, termasuk pendidikan, yang didanai melalui pajak harus
memberikan manfaat bagi seluruh lapisan sosial di masyarakat dan demi mencapai
kemaslahatan bersama (al-mashlah al-ammah, the common good). Namun, fakta menunjukkan
hanya kalangan berpunyalah yang dapat menikmati pendidikan bermutu melalui
RSBI. Masyarakat yang tidak punya kemampuan finansial memadai terhalang untuk
dapat mengakses sekolah de ngan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan
lengkap.
Dengan dana publik, pemerintah
berinvestasi untuk RSBI sebagai public school. Namun, tidak semua warga negara
bisa memperoleh manfaat dari sekolah model yang menjadi unggulan ini. Maka,
keberadaan RSBI memunculkan pertanyaan sangat fundamental: basis moral apakah
yang mendasari pemerintah dalam mengalokasikan dana publik, untuk
menyelenggarakan suatu sekolah yang secara praktis menciptakan limitasi bagi
warga negara untuk mengaksesnya? Apakah secara moral absah dan secara etika
dapat diterima bila dana publik dibelanjakan untuk memberi layanan pendidikan
yang bertendensi menciptakan social exclusion?
Pendidikan berkualitas memang mahal dan
keluarga-keluarga kaya bisa saja memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan
standar mutu yang mereka idamkan. Jika layanan pendidikan berkualitas tersedia
di pasar yang ditawarkan sektor swasta, keluarga-keluarga kaya--dengan uang
mereka sendiri--sepenuhnya berhak untuk `membeli' layanan pendidikan bermutu
yang mahal tersebut.
Namun, bila RSBI yang berlabel public
school, yang beroperasi dengan menggunakan dana APBN, dan yang menikmati adalah
siswa-siswa dari keluarga kaya, pemerintah selaku pembuat kebijakan publik
-sadar atau tidak sadar telah melanggar prinsip public morality dalam
membelanjakan dana publik yang bersumber dari pajak. Perspektif keadilan dalam
memberikan pendidikan bagi seluruh warga negara inilah yang proses pembuatan
kebijakan publik sehingga memunculkan gugatan masyarakat terhadap
penyelenggaraan RSBI.
Bila model layanan pendidikan melalui
RSBI diteruskan, pendidikan dikhawatirkan tidak lagi bisa menjadi sarana untuk
memutus mata rantai kemiskinan. Dengan mengutip ahli sosiologi Inggris yang
amat terpandang, Anthony Giddens, dalam salah satu karya masterpiece-nya, The
Constitution of Society (1986), pendidikan dalam batas-batas tertentu justru
menjadi instrument untuk melanggengkan ketimpangan struktural dan mengekalkan
ketidakadilan sosial di masyarakat. Untuk melengkapi rangkaian argumen
tersebut, di sini perlu pula disajikan hasil kajian terhadap RSBI yang
didasarkan pada observasi lapangan.
Tidak
Memenuhi
Menurut hasil studi berpayung The
Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP)
November 2012, sampai saat ini telah dibangun sebanyak 1.339 unit RSBI untuk
semua jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK) di seluruh Indonesia. RSBI sebagian
besar (57%) terkonsentrasi di Jawa. Dari angka itu, 19% tersebar di berbagai
wilayah, yakni Aceh, Bali, Sumsel, Sumbar, Sulsel, dan Kaltim, dan sebanyak 24%
berada di provinsi-provinsi yang lain. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14%
berlokasi di kota-kota besar, 30% di kota-kota kecil, dan 56% berada di
kabupaten.
Namun, dari 1.339 RSBI yang ada, tidak
ada satu pun yang mampu memenuhi standar untuk dapat disebut sekolah bertaraf
internasional. Kriteria pemenuhan standar yang paling sulit dicapai ialah (i)
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran, (ii)
akreditasi internasional, (iii) adopsi
kurikulum dari negara-negara OECD dan
negara maju lainnya, (iv) 20% guru harus berkualifikasi S-2/S-3, dan (v)
menyediakan kuota sebanyak 20% untuk siswa-siswa dari keluarga tidak mampu.
Hasil studi ACDP 2012 juga menunjukkan
RSBI pada umumnya hanya diakses siswa yang berasal dari keluarga kaya,
mengingat 88% dari mereka berlatar belakang ekonomi menengah ke atas. Hal itu
tecermin pula pada kontribusi orangtua murid yang mencapai 68% dari total
pembiayaan. Meskipun ada keharusan untuk mengakomodasi masyarakat berkemampuan
ekonomi lemah, fakta menunjukkan RSBI sangat sulit memenuhi kuota minimal 20%
bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.
Berdasarkan perhitungan satuan biaya,
RSBI membutuhkan anggaran empat kali lipat daripada non-RSBI (Rp4,5 juta
berbanding Rp1,05 juta per siswa per tahun). Jika dilihat dari sisi
cost-effectiveness, pembiayaan RSBI dinilai sangat tidak efektif mengingat
dengan biaya empat kali lebih mahal, hasil yang dicapai tidak lebih baik
apabila dibandingkan dengan sekolahsekolah reguler.
Dengan keseluruhan bangunan argumen
tadi, dapat dikatakan bahwa RSBI sejatinya salah konsep. Pemerintah memendam
imajinasi tinggi mengenai pendidikan berkualitas, yang diterjemahkan menjadi
bertaraf internasional: pengajaran berbahasa Inggris, guru-guru berkualifikasi
master/doktor, mengadopsi kurikulum negara-negara OECD, dan mendapat akreditasi
internasional.
Semua persyaratan muluk yang dibuat ini
sudah pasti di luar kapasitas sekolah untuk dapat memenuhinya. Namun, yang jauh
lebih fundamental ialah RSBI secara faktual telah menciptakan segregasi sosial
dalam masyarakat. Melalui RSBI, pemerintah--sengaja atau tak sengaja--telah
mempertajam social cleavages berdasarkan status ekonomi masyarakat--sesuatu
yang bertentangan dengan public virtues dalam penyelenggaraan pendidikan.
Amich
Alhumami ;
Antropolog,
Penekun
kajian pendidikan PhD dari University of Sussex, UK
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi