Tampilkan postingan dengan label Komersialisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Komersialisasi. Tampilkan semua postingan

Komersialisasi Pindah Sekolah

Hiruk pikuk penerimaan siswa baru di tingkat dasar sampai menengah atas, telah berakhir dengan meninggalkan masalah pungutan dana yang tidak sejalan dengan suara nyaring sekolah gratis dari pemerintah. Bahkan, Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan laporan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 23 Provinsi Tahun Ajaran 2013/2014, bahwa terjadi pungutan liar berkisar dari Rp 100 ribu sampai di atas Rp 2 juta di berbagai jenjang pendidikan.
Aneka pungutan pada awal tahun ajaran baru di sekolah negeri, sesungguhnya mudah terdeteksi oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Sebab, pola penerimaan diatur secara terinci dengan aneka persayaratan, bersifat terbuka dan didukung oleh teknologi komunikasi memadai, yang memudahkan calon siswa bisa memilih sekolah sesuai dengan kemampuan belajarnya. Artinya, semua informasi seputar PPDB termasuk pungutan sekecil apapun yang diberlakukan, dengan mudah mengalir dan tersebar ke masyarakat luas.
Namun, pungutan terhadap murid baru di sekolah negeri, juga terjadi ketika pindah sekolah. Biasanya, itu terjadi tidak jauh dari penerimaan siswa baru dam tahun ajaran baru dimulai. Perpindahan murid di sekolah, khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas kecenderungannya berulang setiap tahun. Itu terjadi atas alasah keterbatasan daya tampung sekolah, dan sering terjadi di sekolah favorit yang mematok persyaratan hasil Ujian Nasional (UN) rata-rata 8,00-9,50. Dengan standar nilai tinggi, tidak mungkin semua lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mendaftar ke SMA favorit bisa ditampung. Tetapi, mereka yang gagal masuk sekolah favorit karena UN-nya tidak memenuhi syarat masih berharap bisa belajar di sekolah favorit pada pertengahan semester ganjil. Atau, awal semester genap yang dimulai Januari 2014.
Perpindahan murid di sekolah favorit ini, dan perpindahan murid pada umumnya berpotensi menjadi lahan komersialisasi pindah sekolah. Dengan model penerimaan murid tidak diumumkan kepada publik, tidak diberlakukan standar nilai minimal UN yang dicapai, dan tanpa kategori pembiayaan yang diatur pemerintah, jelas perpindahan yang terjadi cenderung tertutup dan tanpa patokan standar biaya.
Pertanyaannya adalah, adakah bangku kosong di sekolah negeri favorit, atau sekolah pada umumnya, yang disediakan untuk menerima murid pindahan kelas satu dari sekolah lain, sebab dipastikan semua bangku kelas satu sekolah menengah sudah terisi? Pada konteks ini, tentu saja ada bangku-bangku kosong di sekolah favorit pilihan masyarakat pada semester ganjil yang siap menerima murid pindahan. "Bangku kosong" di sekolah favorit bisa saja bersifat internal keluarga siswa baru atau masalah lain yang terkait perilaku siswa. Namun, potensi komersialnya adalah adanya murid kelas satu yang tidak tahan menghadapi tekanan belajar di SMA favorit ataupun unggulan.
Dalam kondisi ini, siswa baru kelas satu SMA yang tidak mampu mencapai standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk setiap mata pelajaran berpotensi mengundurkan diri. Lazimnya sekolah favorit ataupun unggulan KKM pada kisaran 75-85 dari maksimal 100. Tingginya KKM itu menjadi ancaman bagi siswa-siswa yang potensial tidak mampu mencapai KKM, dan mereka akan pindah ke sekolah yang KKM-nya lebih rendah.
Memang pihak sekolah sudah berupaya membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi kemampuan murid yang KKM-nya tidak memadai supaya bisa mencapai nilai ditetapkan sejalan dengan prinsip Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun persoalannya, ketika siswa sudah terperangkap dalam stigmatisasi "tidak mampu" di sekolah favorit, pilihannya adalah mengundurkan diri daripada terlanjur tidak naik ke kelas dua.

Diatur
Bangku kosong di sekolah negeri favorit itu merupakan peluang bagi siswa yang tidak diterima melalui jalur reguler PPDB. Namun, yang mengkhawatirkan adalah mereka yang berupaya pindah ke sekolah favorit tidak menghiraukan besarnya pungutan pindah sekolah. Ironisnya, biaya tinggi pindah sekolah negeri favorit dinilai lazim oleh orang tua murid karena masuk sekolah negeri favorit tidak melewati jalur reguler PPDB.
Masalahnya, siswa kelas satu SMA favorit yang pindah ke sekolah lebih rendah terpaksa mengeluarkan biaya pindah sekolah. Jelas ini menjadi persoalan bagi orangtua murid yang berharap biaya gratis di sekolah negeri. Bagaimanapun juga, mereka yang terpaksa pindah itu tidak selalu mampu menyediakan dana biaya pindah ke sekolah baru. Sebaliknya, mereka yang berupaya mati-matian pindah ke sekolah favorit di semester ganjil, bisa dipastikan memang sudah mempersiapkan dana memadai.
Kendati perpindahan siswa dari satu sekolah ke sekolah lain selalu terjadi setiap tahun, namun pemegang otoritas pendidikan di pusat maupun di daerah sepertinya kurang menghiraukan kecenderungan komersialisasi pindah sekolah ini. Biaya pindah sekolah yang tidak baku ini dikhawatirkan akan terus berlanjut, dan semakin merugikan citra pendidikan di sekolah negeri.
Karena itu, demi mendukung pendidikan bermartabat, yang mampu membangun integritas dan transparansi dunia pendidikan di Indonesia, sudah selayaknya biaya pindah sekolah itu diatur oleh pemerintah. Sudah barang tentu termasuk mematok nilai UN, bersifat terbuka dan gratis atau tidak dipungut biaya.
Jika pungutan pindah sekolah di tengah proses belajar mengajar ini dibiarkan, dilembagakan, dan dianggap sebagai gejala yang wajar oleh para pemegang otoritas pendidikan dan orangtua murid, bukan mustahil akan berdampak terhadap turunnya kredibilitas negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik. 

Eko Harry Susanto ;  
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Tarumanagara Jakarta
SUARA KARYA, 16 Agustus 2013



Selengkapnya.. »»  

Perubahan Kurikulum Pendidikan


 Tidak jarang para elite justru terlibat dalam upaya mempermainkan dan mencari keuntungan pribadi dari pendidikan dan menghilangkan ketulusan untuk memajukan pendidikan bangsa ini. Dunia pendidikan kita akan membuat gebrakan lagi dengan adanya rencana perubahan kurikulum. Namun beberapa tokoh pendidikan menyoroti rencana perubahan tersebut.

 Salah satunya adalah kesesuaian dengan Standar Nasional Pendidikan, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Muncul pertanyaan mendasar, bukankah seharusnya perubahan kurikulum 2013 mengacu pada Standar Nasional Pendidikan? Pertanyaan ini sekaligus untuk menanggapi kesan yang ditangkap bahwa Standar Nasional Pendidikan justru mengikuti keinginan perubahan kurikulum 2013.

 Selain itu, muncul masukan mengenai besarnya anggaran yang digunakan. Apakah anggaran Rp 2,49 triliun yang akan dikeluarkan benar-benar mampu mengangkat derajat atau kualitas pendidikan Indonesia? Ataukah justru akan membuatnya lebih terpuruk? Apalagi, mengubah kurikulum di luar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) jelas memiliki konsekuensi anggaran yang tidak kecil.

 Itu semua berangkat dari kecemasan segolongan tokoh masyarakat yang menyarankan seharusnya perlu ada mekanisme perubahan kurikulum yang sistematis dan jelas. Langkah tersebut juga harus diatur dalam peraturan perundangan dengan tidak melanggar peraturan perundangan lain yang levelnya justru lebih tinggi. Apabila perubahan kurikulum tidak memenuhi unsur perencanaan secara matang dan sistematis, asumsi yang berkembang sejauh ini di tengah sebagian masyarakat bisa terbukti kebenarannya, yakni kebijakan tersebut ujung-ujungnya hanya pada soal kenaikan anggaran.

 Perubahan dalam dunia pendidikan merupakan sesuatu yang alamiah dan wajar dilakukan demi menyesuaikan dengan situasi sosial kemasyarakatan yang berkembang. Selain itu, tujuan meningkatkan derajat pendidikan yang lebih baik seharusnya menjadi prioritas utama dan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kebijakan dasar pendidikan nasional.

Kisah Masa Lalu
 Kisah masa lalu tentang kebijakan pendidikan tak luput dari politisasi yang kental. Orde Baru banyak mengajarkan cara-cara perubahan dalam dunia pendidikan yang justru tidak mendidik. Kritik dan kecaman tidak banyak mendapat tempat, terutama karena ada faktor kekuasaan yang turut mendorong terwujudnya niat untuk mengambil keuntungan semata, dan menjadikan "kualitas" pendidikan sebagai tameng belaka.

 Akibatnya dapat kita saksikan dewasa ini. Pendidikan tidak menjadi lebih baik, tapi justru banyak dikatakan "merosot". Tiap ganti menteri, ganti pula pola dasar pendidikan, termasuk kurikulumnya. Akibatnya, kita sesungguhnya tidak memiliki visi mendasar tentang pengembangan pendidikan itu sendiri; sebuah visi jangka panjang yang tertuang dalam langkah-langkah sistematis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dan inilah yang membedakan negeri ini dengan negara-negara maju lainnya yang melihat pendidikan sebagai dasar utama pembangunan bangsa.

 Berbagai masalah pendidikan pun muncul. Komersialisasi, politisasi, korupsi anggaran, sampai soal teknis tentang buku pelajaran dan seterusnya menyebabkan visi dasar pendidikan kita semakin kabur.

Jangka Pendek
 Mencermati karut-marut dan sisi gelap dunia pendidikan kita dari masa ke masa, seolah-olah kita tidak menyadari arti penting pendidikan. Tidak jarang para elite justru terlibat dalam upaya mempermainkan dan mencari keuntungan pribadi dari pendidikan serta menghilangkan ketulusan untuk memajukan pendidikan bangsa ini. Kebijakan pendidikan tidak tentu arahnya, tergantung ke mana angin bertiup. Kesadaran berpendidikan dari kalangan masyarakat yang meningkat seiring dengan waktu tidak diiringi oleh kebijakan negara yang kondusif.

 Elite-elite lebih banyak berpikir sempit dan jangka pendek. Ketulusan dan perjuangan bagaimana pendidikan bangsa ini maju menjadi luntur karena pikiran-pikiran sempit ini. Upaya untuk memajukan pendidikan bangsa ini adalah sebuah pekerjaan panjang dan tidak mungkin selesai besok. Kebiasaan berpikir jangka pendek telah membutakan mata hati kita, mau ke mana sebenarnya pendidikan kita ini?

 Sebagai sebuah pekerjaan panjang, kita memerlukan visi untuk mencapainya. Bila visi pendidikan sudah gelap, lalu apa yang akan terjadi pada bangsa ini? Terlalu banyak teladan dari bangsa lain dalam hal pendidikan. Mereka memiliki visi dan menyadari betul bahwa baik-buruk nasib bangsa akan ditentukan dari sini, bukan dari mana pun.

 Pendidikan adalah roh pembangunan bangsa. Kemajuan pendidikan adalah kemajuan peradaban bangsanya. Begitu pula sebaliknya. Memang kita sudah sangat sering mendengar petuah-petuah semacam ini. Para elite juga begitu. Namun godaan untuk mempermainkan pendidikan masih saja sangat menggiurkan; menganggapnya sebagai lahan proyek yang bisa menguntungkan.

Minus Visi
 Pendidikan bangsa ini dicerminkan dari sejauh mana kebijakan pendidikan memberi fasilitas terbaik bagi warganya. Keberhasilan utama pemerintah dalam hal pendidikan adalah dalam konteks mensosialisasi arti penting pendidikan bagi masyarakat.

 Kini kita menyaksikan, semiskin apa pun, setiap orang tua berjuang keras bagaimana generasinya mengenyam pendidikan. Mereka tidak mau melihat anaknya menjadi kuli seperti dirinya. Bahkan mereka yang ada di pedalaman pun demikian. Berkilo-kilo jarak sekolah ditempuh setiap hari oleh anak-anak kita dengan tujuan agar mereka bisa maju dan memiliki kehidupan lebih baik daripada orang tuanya.

 Meski demikian, keberhasilan membangkitkan motivasi pendidikan ini justru bertepuk sebelah tangan. Pemerintah sejauh ini lebih baik dianggap gagal memberi fasilitas dan kemudahan bagi warganya untuk menempuh pendidikan. Hiruk-pikuk yang menyedihkan pada saat awal-awal ajaran baru sekolah dimulai merupakan bukti bahwa negara ini kehilangan kedigdayaan untuk memberikan yang terbaik buat warganya. Itulah yang dicerminkan dari perilaku elite yang merasa sadar akan arti pendidikan, tapi tidak jarang yang berperilaku melemahkan arti pendidikan.

 Indonesia membutuhkan visi kebijakan yang tidak gamang. Salah satu jalan yang bisa diharapkan untuk merealisasi hal ini adalah political will yang tulus untuk memajukan pendidikan.

Benny Susetyo ; 
Pemerhati Sosial
KORAN TEMPO, 06 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Liberalisasi Pendidikan


Salah satu isu perdebatan antara pemohon uji materi dan pemerintah tentang Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Mahkamah Konstitusi adalah liberalisasi pendidikan.

Isu ini muncul karena pemohon berpendapat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan menjadikan pendidikan sebagai komoditas global dan pasar global. Pasar global melahirkan ketidakadilan dalam mengakses pendidikan di negara berkembang. Sementara pemerintah dengan tegas menyatakan RSBI/SBI bukan liberalisasi pendidikan.

Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) tak menyinggung isu ini. MK hanya berpendapat, satuan pendidikan yang bertaraf internasional antara lain berpotensi merugikan jati diri bangsa, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas.

Komersialisasi Pendidikan

Liberalisasi pendidikan di Tanah Air berupa masuknya tenaga kerja asing di bidang pendidikan dan kehadiran sekolah dasar dan perguruan tinggi asing sudah cukup lama ada. Di Jakarta atau Bandung, sekolah dengan label nama suatu negara—diikuti kata international school—sudah cukup lama beroperasi. Begitu juga dengan perguruan tinggi. Papan nama atau label perguruan tinggi asing dapat ditemui dengan mudah di suatu gedung bisnis di ibu kota.

Keberadaan tenaga kerja atau lembaga pendidikan asing di Tanah Air diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Tenaga kerja asing pendidikan diatur dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 27 UU ini menyatakan, tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 UU ini juga menyatakan bahwa tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.

Lembaga pendidikan asing dibolehkan kehadirannya di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 161 Ayat (1) PP ini menyatakan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari praktik dan aturan hukum di Indonesia, tampak liberalisasi pendidikan bukan saja sudah berjalan, tetapi juga secara hukum diperbolehkan. Dalam putusannya, memang MK tidak dengan tegas menyatakan apakah MK setuju atau tidak terhadap liberalisasi. Akan tetapi, secara implisit MK melarang komersialisasi pendidikan.

Intinya, komersialisasi pendidikan senapas dengan liberalisasi pendidikan. Dengan adanya putusan MK, kita bisa melihat, liberalisasi pendidikan di Indonesia menjadi dilematis.

Persoalan dilematis ini dihadapkan pula dengan realitas global dewasa ini, yakni globalisasi perdagangan WTO dan regionalisme perdagangan ASEAN. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memiliki aturan perdagangan bebas di bidang sektor jasa, yaitu General Agreement on Trade in Services (GATS). Agenda liberalisasi pendidikan sudah cukup lama dipandang sebagai sektor yang akan diliberalisasi. Selama ini, yang sudah masuk ke dalam liberalisasi jasa ini adalah sektor keuangan, pariwisata, telekomunikasi, dan tenaga kerja (movement of persons).

Liberalisasi sektor jasa pendidikan dalam ASEAN tampaknya mengikuti langkah GATS. Lambat atau cepat, liberalisasi pendidikan akan masuk ke agenda. Mau tidak mau, tekanan negosiasi dan tekanan ekonomis atau diplomatik akan mendorong pembahasan agenda perundingan liberalisasi pendidikan di Tanah Air.

Liberalisasi Progresif

Satu hal yang perlu kita simak, liberalisasi jasa GATS tidak mewajibkan setiap negara anggota WTO—termasuk Indonesia—harus meliberalisasi seluruh sektor jasanya. Prinsip GATS dalam WTO yang terpenting adalah liberalisasi progresif (Article XIX-XXI GATS) dan ketentuan khusus bagi negara berkembang (Article IV GATS).

Liberalisasi progresif berarti setiap negara anggota WTO dapat meliberalisasi jasanya secara bertahap. Liberalisasi ini bergantung negosiasi negara-negara anggota. Termasuk di dalamnya negosiasi berdasarkan prinsip resiprositas atau timbal balik.

Ketentuan khusus bagi negara berkembang membolehkan negara berkembang meliberalisasi bidang-bidang apa saja yang menurut kepentingan ekonomi mereka dapat diliberalisasi. Sebaliknya, negara berkembang dapat tidak meliberalisasi sektor jasa yang menurut kepentingan ekonominya tidak atau belum dapat diliberalisasi.

Masalahnya, seperti disebut di atas, adanya kenyataan bahwa praktik dan peraturan perundang-undangan kita sudah pro kepada liberalisasi ini. Bagaimana mengantisipasinya?

Alternatif pertama, mengubah atau mencabut peraturan perundang-undangan yang pro-liberalisasi di atas. Konsekuensi dari pilihan langkah ini adalah penutupan lembaga pendidikan asing. Implikasinya, pemerintah harus siap diprotes, atau skenario terburuknya digugat secara hukum oleh lembaga pendidikan asing.

Alternatif kedua, memperberat syarat-syarat pendirian lembaga pendidikan asing, termasuk penerapan syarat resiprositas yang ketat. Persyaratan dirancang sedemikian rupa sehingga sulit untuk dipenuhi.

Huala Adolf ; 
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
KOMPAS, 19 Januari 2013


Selengkapnya.. »»