Cukup menarik tulisan bapak Aribowo,
dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, yang penuh kegusaran mencerca
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan RSBI (Republika,
26-01-2013). Andai saja Bapak Aribowo mau meluangkan sedikit waktu untuk
menganalisis rangkaian normatif yang diamanatkan UUD 1945, UU No 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (MK), UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), serta UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, niscaya
bapak Aribowo akan akan lebih arif dalam menghakimi putusan hakim MK.
Analog kaki kanan dan kiri yang bapak
Aribowo kemukakan dalam penggambaran keputusan MK, bagi saya, justru merupakan
penyodoran siluet yang dipaksakan untuk diterima dan dilihat sebagai gambar
utuh 3D. Maaf, saya lebih memilih untuk menggunakan logika sederhana sebagai
orang tua peserta didik.
Logika saya, sebelum melahirkan
kebijakan dan pelaksanaan program RSBI yang secara garis besar sangat di
sepakati Bapak Aribowo sebagai program peningkatan mutu, seharusnya pemerintah
menjalankan dahulu apa yang sudah diamanatkan oleh undang-undang terkait mutu
pendidikan. Dalam tataran normatif, pemerintah sendiri yang mensyaratkan suatu
SBI, di antaranya harus memiliki lahan sekurang-kurangnya 5 (lima) hektare,
sarana dan prasarana laboratorium bahasa, IPA-IPS, komputer, olahraga, dan
perpustakaan bertaraf internasional.
Begitu pun SDM pendidik
sekurang-kurangnya strata 2 dan skor TOEFL 500. Dalam tataran konkret, jelas persyaratan itu
jauh panggang dari api. Karena itu, tidak heran kalau dalam proses kembang biak
RSBI periode 2006-2012 yang telah beranak pinak hingga lebih dari 1.350 RSBI di
seluruh Indonesia, hingga saat ajal menjemputnya tidak ada satu pun RSBI yang
berubah statusnya menjadi SBI sebagaimana keterangan ahli pihak pemerintah
sendiri.
Andai pemerintah konsekuen mau
melaksanakan amanat UUD 1945 dan putusan MK terdahulu yang mengamanatkan
minimal 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan di luar gaji guru dan
pendidikan kedinasan, akan teralokasi dana untuk pendidikan sekitar Rp 240
triliun per tahun berjalan.
Bayangkan, dengan dana sebesar ini,
model pendidikan bermutu macam apa pun yang akan ditempuh pemerintah tidak akan
membebani masyarakat. Negara-negara dengan pendidikan bermutu maju
yang dicontohkan Bapak Aribowo, seperti Malaysia dan Brunei, bukan semata-mata
karena mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Namun, lebih
karena mereka konsekuen untuk mengalokasikan dana maksimal untuk menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan bertaraf internasional. Bukankah di belahan
benua Afrika banyak negara yang menggunakan bahasa Inggris dan Prancis sebagai
pengantar, tetapi memiliki mutu pendidikan di bawah Indonesia?
Contoh kasuistik Amien Rais, Mohammad
Hatta dan BJ Habibie yang diusung Bapak Aribowo sebagai indikasi jati diri anak
bangsa yang tak tergerus nasionalismenya meski lama di negeri rantau, justru
menunjukkan bahwa mereka adalah produk sistem pendidikan kita yang sudah teruji
kualitasnya, yang notabene bukan produk pendidikan RSBI. Bahkan, warga negara
Indonesia yang berhasil menembus perguruan tinggi di luar negeri dan bertahan
dalam persaingan global untuk beragam profesi, juga bermodal kualitas pendidikan
kita sendiri.
Kita sudah memiliki Ki Hadjar Dewantoro
dengan Taman Siswa, Budi Utomo, dan Muhammadiyah yang telah meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional yang menjadi benih jati diri nasionalisme Amien
Rais, Mohammad Hatta, dan BJ Habibie untuk tidak tergerus nasionalismenya dalam
perantauan menangguk ilmu di negeri orang.
MK menimbang, mengadili, dan memutus
perkara tidak mengedepankan emosi dan sikap mentang-mentang memiliki kekuasaan.
Justru, saya melihat bahwa opini dan hasrat yang diikhtiarkan Mendikbud untuk
melobi MK sebagai bentuk sikap sangat naif. Bagaimana bisa sosok mendikbud yang
sangat berpendidikan, tahu hukum, dan kerap mendengungkan pendidikan
berkarakter, berupaya memelintir suatu keputusan hukum yang sudah final dan
mengikat?
Dalam beberapa kesempatan di media
massa, mendikbud dan segenap jajarannya hingga ke hilir di berbagai daerah,
bahkan hingga di sekolah anak saya yang eks RSBI, menyatakan bahwa tidak
masalah RSBI dihapuskan. Namun, secara eksplisit meminta tetap diperkenankan
untuk mengambil pungutan dari masyarakat pada sekolah eks RSBI hingga akhir
tahun ajaran 2012-2013.
Salahkah jika masyarakat yang sudah
tercerahkan dengan putusan MK yang telah melihat indikasi tergerusnya jati diri
bangsa dan indikasi komersialisasi pendidikan, menilai bahwa sesungguhnya kita
tidak `butuh-butuh amat' RSBI.
Kemungkinan besar yang hendak dicapai
dengan keberadaan RSBI adalah kebolehan untuk memungut dana pendidikan dari
masyarakat untuk menomboki dana pendidikan dalam APBN.
Cukup sudah selama 2006-2012, banyak
dana masyarakat ditangguk dalam hiruk pikuk pro-kontra RSBI yang ternyata
inkonstitusional. Jangan lagi ada horor naif upaya pengerukan dana masyarakat
yang berlindung di balik jargon pendidikan bermutu yang semu.
Harry
Syahrial ;
Orang
Tua Peserta Didik di Eks RSBI Jakarta
REPUBLIKA,
31 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi