Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan adalah kementerian yang paling lemah kesadaran
hukumnya. Betapa tidak! Kebijakan yang mereka buat bahkan ada yang melanggar
UUD 1945.
Banyak
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Putusan Mahkamah Agung (MA) juga diabaikan
atau disiasati dengan berbagai cara. Semua keputusan MK ataupun MA berkaitan
dengan tindak diskriminasi.
Empat Contoh Kasus
Pertama,
MK pernah mengeluarkan putusan atas uji materi terhadap pasal-pasal dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hasilnya,
UU APBN 2005, 2006, 2007 dinyatakan tidak memenuhi amanat amendemen UUD 1945
soal pemenuhan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan
APBD. Tiga tahun berturut-turut keputusan ini dikeluarkan tanpa ada langkah
konkret dari pemerintah untuk tunduk pada putusan hukum tersebut.
MK
telah menetapkan, APBN untuk pendidikan tahun anggaran 2006 sekurang-kurangnya
sebesar 20 persen. Itu artinya pemerintah tidak punya pilihan selain memenuhi
anggaran minimal tersebut. Pemerintah seharusnya bisa memahami makna kata
”prioritas” dalam amendemen UUD 1945 dan segera mengalokasikan dana pendidikan
sesuai amanat tersebut. Ketidakpahaman atas makna ”prioritas” menimbulkan
tindakan pelanggaran keadilan, yaitu tidak semua warga negara memperoleh hak
pendidikan, atau sebagian warga negara didiskriminasikan, atau pemerintah
mendiskriminasikan sebagian warga negara.
Kedua,
tahun 2010, MK membatalkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan karena
dinilai melanggar UUD 1945. Pelaksanaan UU tersebut mengakibatkan orang miskin
tak dapat mengakses pendidikan.
Hal
ini sangat mudah diidentifikasi sebagai bentuk inkonstitusional Mendikbud
karena melahirkan kebijakan yang sangat bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Dengan UU ini pemerintah dianggap memperlakukan warga negara secara berbeda.
Warga negara miskin tidak memperoleh pendidikan yang layak. Dengan kata lain,
pemerintah (baca: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/ Kemdikbud) melakukan
diskriminasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Ketiga,
pembubaran penyelenggaraan ujian nasional (UN) oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, yang mengadili tuntutan masyarakat sipil terhadap pemerintah.
Penyelenggaraan UN dianggap tak melindungi hak asasi manusia, hak asasi anak,
dan hak pendidikan.
Kalah
di peradilan tingkat pertama, pemerintah naik banding pada pengadilan tinggi
dan ditolak. Kasasi yang diajukan pemerintah ke MA juga akhirnya ditolak.
Artinya, MA sependapat dengan keputusan pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi. Namun, terhadap penolakan kasasi tersebut, pemerintah tak
menghiraukannya dan terus melaksanakan UN yang telah dianggap tidak melindungi
hak asasi anak dan hak pendidikan.
Keempat,
pembatalan Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas oleh MK. Pasal ini
adalah dasar hukum keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI/SBI).
Pemerintah
menyelenggarakan RSBI/SBI dengan mengorbankan sebagian besar pelajar dan
mengistimewakan pelajar RSBI/SBI. Kebijakan ini dianggap tindak diskriminasi
terhadap sebagian besar pelajar. Dalam persidangan di MK bahkan muncul istilah
peng-”kasta”-an.
Pemerintah,
dalam hal ini Kemdikbud, wajib segera membubarkan RSBI/SBI. Namun, yang
terjadi, Mendikbud justru mengulur waktu dan berusaha menyiasati putusan ini
dengan berencana mengubah ”wajah” RSBI menjadi sekolah mandiri.
Tidak Peka
Keempat
putusan tersebut, tiga putusan MK dan satu putusan MA, membuktikan sejumlah
kebijakan Kemdikbud bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan
secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Jika
putusan-putusan itu diabaikan, kita tidak bisa menyimpulkan lain kecuali bahwa
Mendikbud tidak peka atau tidak mengerti bahwa pendidikan harus diselenggarakan
dengan demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif. Oleh karena itu,
sulit dipahami bagaimana mungkin pendidikan karakter tentang demokrasi,
berkeadilan, dan tidak diskriminatif akan bisa ditegakkan oleh menteri yang
tidak peka dan mengabaikan tindakan diskriminatif? Belum lagi soal perubahan Kurikulum
2013 yang banyak menuai kritik itu.
Kita
berharap Pilpres 2014 memilih presiden yang baru yang sungguh-sungguh paham
makna demokrasi, berkeadilan, dan tidak diskriminasi dalam pendidikan. Artinya,
presiden terpilih nanti harus pula mengangkat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yang betul-betul memahami makna ”prioritas” dalam pendidikan dan dengan teguh
melaksanakan amanat konstitusi.
Utomo Dananjaya ;
Direktur Institute for Education Reform
(IER)
Universitas Paramadina
KOMPAS, 01 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi