Pemerintah berkukuh melaksanakan Kurikulum 2013 pada
Juli mendatang seolah ada keharusan yang mendesak. Padahal, ”barangnya” masih
kontroversial, perangkat pelaksanaannya pun belumlah siap.
”Tidak bisa ditunda dan harus dimulai tahun ajaran
ini. Jika kita menunda, taruhannya besar terhadap masa depan generasi bangsa,”
kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Implementasi Kurikulum 2013, menurut Mendikbud,
penting dan genting terkait bonus demografi pada 2010-2035. Generasi muda
Indonesia perlu disiapkan dalam kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
Sikap pemerintah itu terasa berlebihan karena
sejatinya pengaruh perubahan Kurikulum 2013 tidaklah sedahsyat yang dibayangkan.
Asumsi-asumsi teoritisnya memang muluk, tetapi yang riil berubah dan mudah
dilaksanakan hanya pengurangan jumlah mata pelajaran dan penambahan durasi
pembelajaran di sekolah.
Sementara pendekatan tematik dan integratif bukanlah
perkara baru, tetapi sekadar penegasan yang malah terkesan sebagai dalih
ketiadaan IPA dan IPS dalam lis mata pelajaran SD. Gagasan tematik dan
integratif tidak dirancang untuk pembaruan model pembelajaran siswa aktif
(active learning) yang menyeluruh bagi semua mata pelajaran di setiap jenjang
persekolahan seperti dikehendaki UU.
Penerapan Kurikulum 2013 pada Juli atau kapan pun
dalam format yang ada tampaknya tidak menimbulkan efek kualitatif yang
signifikan bagi kemajuan bangsa. Tak ada faktor yang mendukung perubahan ke
arah itu, apalagi jika berbagai kerancuan kompetensi inti dan dasar dengan
materi dibiarkan kabur, dan kurikulum dilaksanakan sebelum matang. Selain itu,
posisi kurikulum dalam suatu sistem pendidikan berada pada level operasional
yang jalannya ditentukan oleh fondasi, visi, dan substansi pendidikan, yang di
negeri ini justru bermasalah.
Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa kita memang
belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan yang dapat
dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah
Air (Kompas, 29 Agustus 2012). Dengan menyampingkan persoalan arah pendidikan,
kiranya perubahan metode pembelajaran jauh lebih strategis dan urgen daripada
kurikulum.
Pembaruan
Metode
Meski kontroversial, tadinya Kurikulum 2013 diharapkan
masih berkah terkait pendekatan pembelajaran tematik-integratif. Namun, setelah
dicermati konsep dan rencana pelatihan guru yang kolosal dan kilat, semakin
meyakinkan bahwa Kurikulum 2013 nantinya sekadar menghasilkan kesibukan—selain
penerbitan buku—penataran kurikulum, bukan pelatihan metode baru yang sesungguhnya
sangat dibutuhkan.
Pembaruan metode pembelajaran dibutuhkan dan
seharusnya dilakukan sejak lama dalam pendidikan kita. Pertama, karena adanya
”revolusi Copernican” dalam definisi pendidikan dari pembelajaran berpusat pada
guru (teacher-centered) seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid
(student-centered) menurut UU No 20 Tahun 2003 sebagai revisi UU Sisdiknas.
Pembalikan paradigma ini bukan satu kelatahan, melainkan
didasari pergeseran konsep interaksi belajar mengajar dari ”mengajar”
(teaching) ke ”pembelajaran” (learning). Perkembangan ini selanjutnya menuntut
perubahan cara pandang, pendekatan, dan metode pembelajaran yang lebih
partisipatif dan dialogis. Pendekatan tematik-integratif sesungguhnya sesuai
dengan paradigma baru ini, tetapi sayangnya tidak dielaborasi secara jelas
hingga model pembelajaran.
Kedua, hasil riset Profesor Beeby tahun 1970-an
(bukunya diterbitkan 1975) menyimpulkan bahwa persoalan kronis pendidikan kita
di antaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-guru mengajar dengan latar
belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal sehingga aktivitas
kelas seperti ritual. Sedikit sekali, kata Beeby, sekolah di Indonesia membantu
menumbuhkan potensi seorang murid. Pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak
imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin
masyarakatnya.
Ketiga, profesionalisme guru. UU No 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen telah memberikan landasan kuantitatif bagi peningkatan
mutu guru, yaitu kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan empat
kompetensi: pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Kompetensi
pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran dengan mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya. Peningkatan profesionalisme guru seyogianya ditandai berbagai
aktivitas pembaruan metode dan kinerja guru.
Keempat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2009 (saat
membuka Temu Nasional) meminta Mohammad Nuh mengubah metodologi belajar
mengajar. Pola yang sekarang, kata Presiden, tidak mendorong siswa kreatif dan
inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan anak didik.
”Saya minta Menteri Pendidikan Nasional mengubah
metodologi belajar mengajar yang ada selama ini. Sejak taman kanak-kanak hingga
sekolah menengah jangan hanya gurunya yang aktif, tetapi harus mampu membuat
siswanya juga aktif,” kata Presiden (Kompas, 30 Oktober 2009). Presiden
seharusnya mengaudit kinerja menterinya apakah gagasan bagus dalam pidato
dikerjakan dengan benar atau hanya berlalu terbawa angin.
Perubahan
Kesadaran
Metode pembelajaran melekat pada perilaku guru
sehingga pembaruan metode inheren dengan pengembangan aspek kemanusiaan guru.
Oleh sebab itu, pelatihan metode tak cukup dengan berceramah tentang
pengetahuan dan teknik mengajar, tetapi juga harus sekaligus melibatkan guru
dalam proses dinamis perubahan kesadaran dan motivasi profesi. Perbaikan metode
akan berpengaruh lebih cepat dan luas terhadap kualitas pendidikan karena
posisi dan peran strategis guru. Metode yang dipergunakan dan sikap guru juga
sangat menentukan keberhasilan penanaman nilai-nilai dan pembentukan pola pikir
dalam Pendidikan karakter.
Namun, tak seperti kurikulum—yang 10 kali
diubah—metode kurang dianggap/tak diketahui penting sehingga upaya pembaruan
hanya sekali sepanjang sejarah pendidikan kita, yakni ketika eksperimen Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) 1980-an yang tak berkesinambungan. Di samping itu,
mengubah metode tak semudah mengembangkan kurikulum yang biasanya cukup
menambah atau mengurangi jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran.
Era profesionalisme guru ekarang ini seyogianya jadi
momentum memperbarui ”praktik kelas” dengan prioritas pengembangan metode baru,
bukan mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen.
Mohammad
Abduhzen ;
Direktur
Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua
Litbang PB PGRI
KOMPAS, 21
Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi