Tak banyak yang peduli ketika Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 2011 lalu menyatakan bahwa 90 persen bahasa daerah
terancam punah pada akhir abad ke-21.
Sesungguhnya, ini peringatan bagi setiap pemangku
kepentingan budaya. Dari 746 bahasa daerah yang masih eksis, diperkirakan hanya
akan tersisa sekitar 10 persen atau 75 bahasa daerah. Ironisnya, Kemendikbud
menetapkan kurikulum 2013 tanpa muatan lokal/bahasa daerah. Pertanyaan di atas
jadi sangat relevan untuk direnungkan bertepatan dengan 21 Februari, yang oleh
UNESCO pada 17 November 1999 lalu, ditetapkan sebagai Hari Bahasa Ibu
Internasional. Ini pun tak banyak yang tahu. Hari Bahasa Ibu Internasional nyaris tak ada gaungnya.
Padahal, sebagian besar anak bangsa ini mengenal bahasa daerah sebagai bahasa
ibu (mother tongue).
UNESCO—badan PBB yang bertugas di bidang pendidikan
dan kebudayaan—menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional berdasarkan
keprihatinan terhadap banyaknya bahasa ibu yang punah di atas bumi. Hari Bahasa
Ibu Internasional berasal dari pengakuan internasional terhadap Hari Gerakan
Bahasa yang dirayakan di Banglades.
Beberapa pegiat sastra mencoba berjuang
sendiri-sendiri melestarikan bahasa daerah. Di antaranya, bahasa daerah Jawa,
Sunda, Bali, Banjarmasin, dan Batak. Ajip Rosidi, Erry Riyana Harjapamekas, Edi
S Ekajati, dan beberapa tokoh lain melalui Yayasan Kebudayaan Rancage telah
menginisiasi pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa
bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Hadiah Sastra Rancage diberikan
setiap tahun sejak 1989. Buletin internal berbahasa daerah mungkin ada.
Beberapa majalah atau koran berbahasa daerah masih mencoba bertahan, seperti
majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Damar Jati,
Mekar Sari, dan ANCAS. Dalam bahasa Sunda ada Cupumanik, Manglé, dan Ujung
Galuh.
Majalah etnis Batak ada beberapa, tetapi menggunakan
bahasa Indonesia. Tahun 2012, saya menulis kumpulan cerpen Mangongkal Holi dan
novel Mandera na Metmet dalam bahasa Batak Toba. Ini sastra modern pertama
berbahasa Batak Toba.
Kian
Ditinggalkan
Dalam keseharian, kian banyak generasi muda yang
enggan bertutur dalam bahasa ibunya. Di kampung-kampung, remaja dan anak-anak
berbahasa Indonesia dengan dialek dan struktur bahasa daerah setempat. Orangtua
sejak dini membiasakan anak-anak berbahasa Indonesia. Sebab, jika nanti mereka
masuk sekolah dan kuliah, terlebih saat mencari pekerjaan, bahasa Indonesia dan
bahasa asing yang lebih diperlukan.
Komjen (Purn) Posma L Tobing dalam pengantar buku
Mandera na Metmet menulis, inilah konsekuensi dari modernisasi yang mendorong
derap urbanisasi, pernikahan antar-etnis, industrialisasi, dan terciptanya
masyarakat heterogen. Bahasa daerah juga semakin terpinggirkan oleh globalisasi
dan perkembangan teknologi informasi yang ”English heavy”. Apalagi, pendidikan
dan transformasi ilmu pengetahuan nyaris tak ada yang diantarkan dalam bahasa
daerah. Pendidikan bahasa lokal kerap dimarjinalkan dan tidak begitu menentukan
dalam mengindikasi keberhasilan pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pergaulan,
telekomunikasi, dan media seolah mendorong penggunaan bahasa Indonesia dan
bahasa asing sebagai bagian dari gaya hidup. Maka, bagi sebagian generasi muda,
berbahasa daerah dianggap kampungan, tak diperlukan, tak menarik, dan bahkan
anakronis, tak sesuai perkembangan zaman. Memang, bahasa Indonesia benar-benar
sudah jadi bahasa persatuan. Namun, ini seharusnya tak membuat bahasa daerah
jadi punah.
Tak semua etnis di Indonesia punya lembaga yang
konsisten menjaga warisan budayanya, seperti keraton di Yogyakarta atau Solo.
Namun, itu tak seharusnya jadi kendala. Masih banyak bentuk kreativitas untuk
mengawal bahasa daerah. Cara terbaik, membiasakan penggunaannya. Sekolah,
kampus, dan lembaga keagamaan mestinya peduli pelestarian bahasa daerah,
dibarengi dukungan pemda lewat perda, misalnya penggunaan di kawasan kantor
atau sekolah.
Banyak kearifan lokal dan nilai luhur tradisional yang
hanya tepat ditransformasikan lewat bahasa ibu. Karena itu, banyak kearifan
lokal yang sirna bersamaan dengan pudarnya minat bertutur dalam bahasa daerah.
Saut Poltak
Tambunan ;
Novelis
KOMPAS, 21
Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi