Tampilkan postingan dengan label IPA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IPA. Tampilkan semua postingan

Urgensi Kurikulum 2013


Pemerintah berkukuh melaksanakan Kurikulum 2013 pada Juli mendatang seolah ada keharusan yang mendesak. Padahal, ”barangnya” masih kontroversial, perangkat pelaksanaannya pun belumlah siap.

”Tidak bisa ditunda dan harus dimulai tahun ajaran ini. Jika kita menunda, taruhannya besar terhadap masa depan generasi bangsa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.

Implementasi Kurikulum 2013, menurut Mendikbud, penting dan genting terkait bonus demografi pada 2010-2035. Generasi muda Indonesia perlu disiapkan dalam kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Sikap pemerintah itu terasa berlebihan karena sejatinya pengaruh perubahan Kurikulum 2013 tidaklah sedahsyat yang dibayangkan. Asumsi-asumsi teoritisnya memang muluk, tetapi yang riil berubah dan mudah dilaksanakan hanya pengurangan jumlah mata pelajaran dan penambahan durasi pembelajaran di sekolah.

Sementara pendekatan tematik dan integratif bukanlah perkara baru, tetapi sekadar penegasan yang malah terkesan sebagai dalih ketiadaan IPA dan IPS dalam lis mata pelajaran SD. Gagasan tematik dan integratif tidak dirancang untuk pembaruan model pembelajaran siswa aktif (active learning) yang menyeluruh bagi semua mata pelajaran di setiap jenjang persekolahan seperti dikehendaki UU.

Penerapan Kurikulum 2013 pada Juli atau kapan pun dalam format yang ada tampaknya tidak menimbulkan efek kualitatif yang signifikan bagi kemajuan bangsa. Tak ada faktor yang mendukung perubahan ke arah itu, apalagi jika berbagai kerancuan kompetensi inti dan dasar dengan materi dibiarkan kabur, dan kurikulum dilaksanakan sebelum matang. Selain itu, posisi kurikulum dalam suatu sistem pendidikan berada pada level operasional yang jalannya ditentukan oleh fondasi, visi, dan substansi pendidikan, yang di negeri ini justru bermasalah.

Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa kita memang belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan yang dapat dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air (Kompas, 29 Agustus 2012). Dengan menyampingkan persoalan arah pendidikan, kiranya perubahan metode pembelajaran jauh lebih strategis dan urgen daripada kurikulum.

Pembaruan Metode

Meski kontroversial, tadinya Kurikulum 2013 diharapkan masih berkah terkait pendekatan pembelajaran tematik-integratif. Namun, setelah dicermati konsep dan rencana pelatihan guru yang kolosal dan kilat, semakin meyakinkan bahwa Kurikulum 2013 nantinya sekadar menghasilkan kesibukan—selain penerbitan buku—penataran kurikulum, bukan pelatihan metode baru yang sesungguhnya sangat dibutuhkan.

Pembaruan metode pembelajaran dibutuhkan dan seharusnya dilakukan sejak lama dalam pendidikan kita. Pertama, karena adanya ”revolusi Copernican” dalam definisi pendidikan dari pembelajaran berpusat pada guru (teacher-centered) seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid (student-centered) menurut UU No 20 Tahun 2003 sebagai revisi UU Sisdiknas.

Pembalikan paradigma ini bukan satu kelatahan, melainkan didasari pergeseran konsep interaksi belajar mengajar dari ”mengajar” (teaching) ke ”pembelajaran” (learning). Perkembangan ini selanjutnya menuntut perubahan cara pandang, pendekatan, dan metode pembelajaran yang lebih partisipatif dan dialogis. Pendekatan tematik-integratif sesungguhnya sesuai dengan paradigma baru ini, tetapi sayangnya tidak dielaborasi secara jelas hingga model pembelajaran.

Kedua, hasil riset Profesor Beeby tahun 1970-an (bukunya diterbitkan 1975) menyimpulkan bahwa persoalan kronis pendidikan kita di antaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-guru mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal sehingga aktivitas kelas seperti ritual. Sedikit sekali, kata Beeby, sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.

Ketiga, profesionalisme guru. UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah memberikan landasan kuantitatif bagi peningkatan mutu guru, yaitu kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan empat kompetensi: pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran dengan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Peningkatan profesionalisme guru seyogianya ditandai berbagai aktivitas pembaruan metode dan kinerja guru.

Keempat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2009 (saat membuka Temu Nasional) meminta Mohammad Nuh mengubah metodologi belajar mengajar. Pola yang sekarang, kata Presiden, tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan anak didik.

”Saya minta Menteri Pendidikan Nasional mengubah metodologi belajar mengajar yang ada selama ini. Sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah jangan hanya gurunya yang aktif, tetapi harus mampu membuat siswanya juga aktif,” kata Presiden (Kompas, 30 Oktober 2009). Presiden seharusnya mengaudit kinerja menterinya apakah gagasan bagus dalam pidato dikerjakan dengan benar atau hanya berlalu terbawa angin.

Perubahan Kesadaran

Metode pembelajaran melekat pada perilaku guru sehingga pembaruan metode inheren dengan pengembangan aspek kemanusiaan guru. Oleh sebab itu, pelatihan metode tak cukup dengan berceramah tentang pengetahuan dan teknik mengajar, tetapi juga harus sekaligus melibatkan guru dalam proses dinamis perubahan kesadaran dan motivasi profesi. Perbaikan metode akan berpengaruh lebih cepat dan luas terhadap kualitas pendidikan karena posisi dan peran strategis guru. Metode yang dipergunakan dan sikap guru juga sangat menentukan keberhasilan penanaman nilai-nilai dan pembentukan pola pikir dalam Pendidikan karakter.

Namun, tak seperti kurikulum—yang 10 kali diubah—metode kurang dianggap/tak diketahui penting sehingga upaya pembaruan hanya sekali sepanjang sejarah pendidikan kita, yakni ketika eksperimen Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) 1980-an yang tak berkesinambungan. Di samping itu, mengubah metode tak semudah mengembangkan kurikulum yang biasanya cukup menambah atau mengurangi jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran.

Era profesionalisme guru  ekarang ini seyogianya jadi momentum memperbarui ”praktik kelas” dengan prioritas pengembangan metode baru, bukan mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen.

Mohammad Abduhzen ; 
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 21 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Idealisme ala Eks RSBI


Amar putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi pada pembubaran rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Namun kita perlu melihat kilas balik tujuan awal penyelenggaraan model sekolah itu. Pemerintah membuat sekolah itu antara lain untuk menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing tinggi.

 Guna merealisasikan tujuan itu, Kemendikbud merancang serangkaian program. Semua itu berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sarana pendidikan, kualitas tenaga pendidik/kependidikan, termasuk pengembangan kurikulum. Konsekuensinya, alokasi dana untuk RSBI mengalami peningkatan signifikan ketimbang alokasi dana untuk sekolah bukan RSBI.

 Meski alokasi dana dari pemerintah sudah meningkat secara signifikan, program yang dibuat oleh RSBI tak mampu dipenuhi oleh pemerintah. Akhirnya, sekolah, melalui komite sekolah, membuka komunikasi guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan program itu.

 Alokasi pendanaan dari pemerintah pusat, provinsi, termasuk kabupaten/ kota, ditambah partisipasi dari masyarakat acap menimbulkan kecemburuan bagi sekolah non-RSBI, yang tidak memperoleh keistimewaan seperti halnya RSBI. Hingga akhirnya Kemendikbud menerbitkan Surat Edaran Nomor 017/MPK/ SE/2013 tanggal 30 Januari 2013 tentang kebijakan transisi RSBI.

 Surat edaran itu mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kelembagaan, proses belajar mengajar, pembiayaan, dan tanggung jawab pemerintah pusat/ provinsi/kabupaten atau kota. Kini, secara kelembagaan eks RSBI berstatus sekolah reguler, dan dibina oleh pemprov/pemkab/pemkot. Simbol/atribut kelembagaan berupa papan nama, kop surat, dan stempel sekolah bertuliskan RSBI tak boleh digunakan lagi dalam manajemen sekolah.

 Berkait dengan menjaga kesinambungan, proses kegiatan pembelajaran pada RSBI tetap berlangsung hingga akhir tahun ajaran 2012/ 2013, sesuai rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS), serta mengacu pada standar nasional pendidikan. Dari sisi pembiayaan Kemendikbud memerintah pemprov/pemkab/ pemkot menyediakan anggaran guna menjamin tetap terselenggaranya pendidikan bermutu pada sekolah eks RSBI.

Sumbangan Masyarakat

 Sebagai sekolah reguler maka eks RSBI wajib mematuhi ketentuan dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Artinya sekolah tak boleh lagi melakukan pungutan tapi diperbolehkan menerima partisipasi masyarakat dalam bentuk sumbangan.

Bagi sekolah eks RSBI, surat edaran ini ibarat angin surga. Program-program pembelajaran yang disusun untuk satu tahun pelajaran masih dapat dilanjutkan, sesuai dengan RKAS. Pasalnya bila  program yang sudah matang itu dibatalkan secara tiba-tiba pasti menimbulkan kerugian luar biasa, terutama terkait dengan peningkatan kompetensi peserta didik.

 Dari sisi pembiayaan surat edaran ini juga menimbulkan optimisme bagi sekolah. Pasalnya,  program yang dibuat sekolah, umumnya membutuhkan biaya relatif besar. Tidak  menutup kemungkinan sebagian perlu didukung oleh partisipasi masyarakat. Sekolah dan komite sekolah wajib menjalin komunikasi dengan masyarakat guna meningkatkan peran dan partisipasi mereka.

 Pemprov/ pemkab/ pemkot wajib melakukan upaya-upaya signifikan terkait dengan nasib eks RSBI. Bagaimanapun, investasi pada sekolah model itu harus tetap dijaga dari sisi kebermanfaatannya. Sarana pembelajaran berupa lab IPA, bahasa, dan TIK yang pada umumnya butuh biaya operasional besar, harus tetap mendapat perhatian serius.

Yang tak kalah penting adalah mempertahankan keberadaan tenaga pendidik/ kependidikan non-PNS yang direkrut guna menunjang program RSBI. Mahkamah Konstitusi bisa mengeliminasi RSBI tetapi idealisme dan semangat untuk mendirikan sekolah bermutu tidak boleh dibatalkan oleh siapapun karena masyarakat masih membutuhkan banyak sekolah bermutu, seperti  RSBI dulu.

Adi Prasetyo ; 
Ketua PGRI Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 07 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Integrative Science Kurikulum 2013



Pemerintah untuk kesekian kalinya melakukan perubahan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk menghadapi tuntutan zaman, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, misi jangka panjangnya adalah menyiapkan generasi emas 2045.
Pada beberapa tahun mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jika dapat mengelolanya dengan baik tentu jumlah penduduk yang melimpuh akan menyokong pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya jika buruk pengelolaannya, maka malah akan menjadi beban negara untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya.
Menurut data, kini komposisi penduduk menempatkan usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan lansia. Rinciannya, kelompok usia 0-9 tahun berjumlah 45,93 juta, 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta. Pada 2045, mereka yang berusia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan mereka yang berumur 10-19 tahun akan berusia 45-54 tahun.
Untuk memoles sumber daya manusia (SDM) yang melimpah ruah inilah dibutuhkan proses pendidikan yang baik. Inilah salah satu alasan mengapa kurikulum pendidikan nasional kini mengalami perubahan. Organ pendidikan yang menjadi pedoman adalah kurikulum. Sebab, kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Sebelum membuat perencanaan kurikulum baru perlu dilakukan evaluasi kurikulum.
Para ahli menjabarkan tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kurikulum di satuan pendidikan diperlukan evaluasi kurikulum. Menurut Oemar Hamalik (2006), evaluasi kurikulum adalah proses pembuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat keputusan mengenai suatu kurikulum.
Perspektif lainnya diungkapkan Mohamad Ali (1985), evaluasi kurikulum sebenarnya bukan hanya semata-mata dilakukan terhadap salah satu komponen saja, melainkan terhadap seluruh komponen, baik tujuan, bahan, organisasi, metode, maupun proses evaluasi itu sendiri.
Definisi berikutnya disampaikan Ralph Tyler (2005) bahwa evaluasi kurikulum adalah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Cronbach dan Stufflebeam (2005) menambahkan, evaluasi tidak sekadar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi juga digunakan untuk membuat keputusan, sehingga evaluasi kurikulum adalah mengukur sejauh mana ketercapaian kurikulum yang dibuat dengan data-data yang telah dikumpulkan. Ada beberapa isu krusial pada Kurikulum 2013 yang masih problematik. Salah satunya mengenai integratif science mata pelajaran IPA dan IPS.
Setelah mengkaji identifikasi masalah pada uji publik Kurikulum 2013 dan berdiskusi dengan beberapa tokoh dan pakar pendidikan, penulis mengkritisi dengan beberapa argumentasi untuk masukan.
Pertama, Pemerintah menawarkan 3 alternatif untuk struktur kurikulum SD. Alternatif pertama mata pelajaran IPA dan IPS ditiadakan sebagai disiplin ilmu (bahasa Pak Nuh diintegrasikan).
Sedangkan alternatif kedua dan ketiga masih diadakan. Pusaka Pendidikan bersikap, mata pelajaran IPA dan IPS tetap penting diberikan untuk siswa SD sebagai disiplin ilmu tersendiri bukan diintegrasikan. Kedua varian pengetahuan di atas penting sebagai pijakan bagi siswa untuk mengenal dan mempelajari fenomena alam sekitar dan mempelajari ilmu sosial serta humaniora sebagai bekal untuk mengetahui norma sosial, adat istiadat, dan interaksi sosial.
Secara teoritis anak SD kelas IV-VI sudah dapat menalar kedua mata pelajaran di muka. Menurut Jean Piaget, teori kognitif manusia dibagi menjadi empat: stadium sensori motorik (0-18 atau 24 bulan), stadium pra operasional (18/24 bulan - 7 tahun), stadium operasional konkrit (7-11 tahun), stadium operasional formal (11 tahun ke atas).
Stadium operasional formal berusia 11 tahun atau setara kelas IV-VI. Cara berfikirnya tidak terikat atau terlepas dari tempat dan waktu. Artinya, pada usia ini anak mampu berfikir konsep dan abstrak seperti yang terkandung dalam mapel IPA dan IPS. Jadi secara usia anak, mereka mampu menerima.
Selain itu, jika pemerintah tetap menghapus IPA dan IPS di jenjang SD, secara yuridis melanggar konstitusi Pasal 37 ayat 1 (e) dan (f) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat ...(e) ilmu pengetahuan alam dan (f) ilmu pengetahuan sosial." an PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bab III bagian kedua kerangka dasar dan struktur kurikulum pasal 6 ayat 1. Jika Kemendikbud bersikeras untuk menghapus, boleh jadi akan berpotensi digugat melalui judicial review.
Seyogianya mata pelajaran IPA dan IPS untuk jenjang SD-SMP tetap harus dijadikan disiplin ilmu tersendiri bukan tematik, integrative science, dan integrative social studies. Karena, paradigma keilmuannya dan standar kompetensinya berbeda sehingga membutuhkan pendalaman dengan sudut pandang belajar dengan mata pelajaran tersebut bukan mata pelajaran lain. Penggabungan ini berpotensi menggerus standar kompetensi mata pelajaran pasangannya, karena arah pengajarannya tidak fokus.
Di termin lain, disiplin ilmu IPA dan IPS di jenjang SMP dapat dijadikan fondasi untuk mengambil salah satu jurusan di SMA. Meskipun wacananya penjurusan di SMA akan dihapus, tetapi menurut penulis, penjurusan tersebut penting dan harus tetap ada sebagai pijakan keilmuan untuk mengambil konsentransi jurusan ketika di perguruan tinggi.
Bagaimanapun, kepakaran dan spesifikasi keilmuan sangat penting. Karena, ke depan peserta didik dituntut mempunyai kecerdasan sesuai dengan kepakaran, bakat, dan minatnya.

Vivit Nur Arista Putra ;  
Direktur Eksekutif Pusaka Pendidikan UNY
SUARA KARYA, 02 Februari 2013  


Selengkapnya.. »»  

Kurikulum 2013 dan Format Pendidikan Ideal


Keunggulan bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa-bangsa lain.

Rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah mata pelajaran bagi anak sekolah, sebagaimana disosialisasi dalam kurikulum 2013, menuai kontroversi. Ada yang mendukung, tapi ada juga yang menentang. Kalangan pertama beralasan, mata pelajaran bagi anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memang terlalu banyak, sehingga siswa tidak bisa menyerap semua mata pelajaran dengan maksimal. Siswa tidak fokus karena dituntut untuk menguasai beragam disiplin ilmu pengetahuan.

Sedangkan kalangan yang menolak beranggapan, dengan mata pelajaran yang ada saja masih banyak ilmu pengetahuan dasar yang tidak dikuasai siswa, lantas bagaimana jika masih dikurangi lagi? Kalangan ini juga bersikap apriori atas masterplan kurikulum yang menggabung mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan bahasa Indonesia.

Alasan mereka, diajarkan secara terpisah dan sistematis saja hasilnya tidak maksimal, apalagi digabung. Di tengah gancarnya gempuran bahasa gaul terhadap struktur bahasa Indonesia yang baku, besar kemungkinan di masa depan jumlah penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar akan berkurang drastis. Padahal bahasa Indonesia merupakan salah satu isi dalam Sumpah Pemuda yang memiliki nilai historis dan posisi strategis bagi kesatuan dan persatuan bangsa.

Kontroversi ini sebenarnya harus disikapi secara arif dan dicari jalan tengahnya, supaya tidak berimbas pada proses belajar-mengajar anak-anak sekolah. Yang terpenting dari semua itu adalah, semua praktisi dan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan harus mengacu pada semangat yang sama dalam menjalankan tugasnya.

Semangat tersebut tertuang rapi dalam definisi pendidikan yang diberikan oleh pakar-pakar pendidikan dan diamanahkan oleh undang-undang. Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Pemaknaan yang hampir senada dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Adapun UU Nomor 2 Tahun 1989 menyebutkan pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Hal ini dipertegas lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 yang mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Cara pandang terhadap pendidikan yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana terpapar dalam ragam definisi di atas, sejatinya mencerminkan betapa bangsa Indonesia memiliki pandangan yang lebih holistik dibanding bangsa-bangsa lain. Yunani, misalnya, kendati disebut-sebut sebagai bangsa pertama yang memulai tradisi menulis, pandangan mereka terhadap pendidikan ternyata sangat sederhana: sekadar ilmu menuntun anak, yang lazim mereka sebut dengan istilah pedagogik. Bangsa Romawi, yang terkenal berhasil membangun imperium besar, juga tidak jauh berbeda. Educare mereka artikan sebatas usaha untuk mengeluarkan, menuntun, serta mengaktualkan potensi anak yang dibawa saat dilahirkan ke dunia. Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Jerman. Istilah erzierhung mereka artikan sebagai usaha membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak.

Keunggulan bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa-bangsa lain. Namun apakah kenyataannya demikian? Menurut laporan Trend in International Mathematics and Science Study (TIMSS), per Desember 2012, kemampuan nalar siswa Indonesia menempati posisi ke-40 di antara 42 negara Asia.

Rapor merah yang dikeluarkan TIMSS ini masih diperparah dengan maraknya tawuran antarpelajar yang selama kurun 2012 saja sudah menelan 4 korban jiwa, aksi bullying (perundungan) yang masih terus terjadi, serta angka pengguna narkoba dan pelaku tindak kriminal di kalangan pelajar yang juga menunjukkan peningkatan.

Kenyataan yang memalukan sekaligus memilukan ini mengharuskan para pemangku kebijakan melakukan pembenahan yang lebih radikal terhadap dunia pendidikan. Tidak hanya sebatas kurikulum, tapi juga mencakup aspek yang lain, seperti sarana dan prasarana. Sebagai gambaran, saat ini 194 ribu ruang kelas SD dan SMP rusak parah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyebutkan, dari sekitar 1,48 juta guru SD, baru 22,6 persen yang bergelar sarjana. Adapun guru SMP 27 persen, dan guru SMA 81 persen yang menyelesaikan pendidikan S1.

Perbaikan sarana dan peningkatan kualitas guru juga tidak kalah penting dibanding perbaikan kurikulum. Sebab, mustahil siswa bisa belajar dengan baik jika ruang belajarnya tidak kondusif dan gurunya tidak memiliki kompetensi. Atas dasar itulah, supaya kurikulum 2013 bisa diterapkan efektif, pemerintah juga harus memperbaiki semua instrumen pendukungnya, termasuk sarana belajar dan guru pengajar.

AM Fatwa ; 
Anggota DPD RI
KORAN TEMPO, 25 Januari 2013


Selengkapnya.. »»  

Curriculum for adding meaning


When anything goes wrong in society, people promptly point the finger to education. Recurring social problems such as student clashes, interethnic or interfaith conflicts, corruption and moral decadence are assumed to be indicative of failure in the education system.

 Recently, some people, including government officials, enthusiastically proposed that anticorruption, character building, sustainable development, scouting, traditional martial arts, and even soccer should be included as school subjects. In brief, people want to put anything valuable into the curriculum.

 Granted, those additional subjects would have made the curriculum inflated and unmanageable. Parents complain that their kids are burdened by the number of school subjects and extended learning time. This brings us to the issue of school subjects versus education aims. Confusion begins when people mix them up.

 Education in general is aimed at making man more human, enabling him/her to understand human nature and the universe. Without a proper education, people become meaningless and they are bound to fail in life.

 As meaning is abstract and infinite and learning time and space are limited, the curriculum should be structured cost-effectively. Therefore, education should be conducted on the basis of knowledge about human nature, its actuality, potential and possibility within a particular culture.

 Philip H. Phenix in his book Realms of Meaning identifies six classes of meaning, indicating general kinds of understanding a person should have as a member of a civilized community. They are symbolic, empiric, esthetic, synnoetic, ethical and synoptic meaning. People should challenge the curriculum when it fails to inculcate the meaning. The meaning, not the subject, matters.

 Students develop meaning through school subjects or disciplines. Meaning is more or less fixed while school subjects are not always clearly assignable to a single class of meaning. Literary works, for example, can be used to teach multiple meanings — be it symbolic, empiric or esthetic meaning.

 Classification of meaning is important for facilitating student learning and for allocating school subjects. Practically speaking, meaning delivery is in the hand of teachers. The six categories of meaning are elaborated as follows.

 Students are taught empiric meaning through language and mathematics to enable them to use symbols meaningfully in communication. Literacy and numeracy are basic for human life. Therefore, language and mathematics, along with science, constitute core subjects in schools across the globe.

 Students are taught empiric meaning through the scientific enterprise, i.e. physical sciences, life sciences and social sciences to discover truth. While symbolics is based on form, empiric is based on observable facts. The teaching of sciences is to enable students to discover truth.

 At lower elementary levels, where play-based teaching is appropriate, there is no necessity to separate natural science (IPA) from social studies (IPS), as both are assignable to teach empiric meaning. The Education and Culture Ministry, commencing this year, is now redefining both subjects. From a pedagogical point of view, the focus should be on inculcating the empirical meaning rather than school subjects.

  Students are taught esthetics through music, visual arts, the arts of movement, literature, etc., to enable them to grasp esthetic meaning in life. Esthetics sharpens student feeling and sensitivity. The focus of teaching music is not to train students to be musicians but to develop musical sensitivity. The very end of teaching art is appreciation, not description of it.

 Synnoetic meaning is simply tacit knowledge as opposed to explicit knowledge. Different from symbolic meaning, which is abstract, synnoetic meaning, is personal meaning based on experience. Through literature, psychology and religion, teachers develop in students an existential meaning of their own life.

 Ethical meaning provides students with informed decisions to do things. It arises out of disinterested perception, while esthetic meaning arises from subjective perception. Students may have active personal commitment to a particular type of dancing at the cost of ethical meaning. In ethics, activities are done for purposes of public participation, as the public tends to share intersubjectivity on what is right or wrong.

 Through religious education, citizenship (PPKN) and Pancasila, teachers instill moral teaching on students. The outcome is not explicit student knowledge on the subject but rather putting moral values into practice. Physical education can also be used for teaching moral values such as fairness, sportsmanship, team work and a respect for rules.

 Synoptics, or synopsis of meaning, suggests an integrative function of all meanings elaborated above. History and religion are the major school subjects that promote synoptic meaning. Teaching history is not to memorize past events but to make sense of them in an integrated way. In the end, learning history is to improve the present and future.

 We have elaborated on the aim of general education — to provide students with six realms of meaning to make sense of themselves and the universe — however, we cannot put everything praiseworthy and desirable into the curriculum.

 The six meanings can be inculcated through multiple school subjects. Obviously elementary, secondary and tertiary students need different levels of understanding of the meaning. The curriculum should be designed accordingly.

 Which subjects propagate what meaning and at what level of education are vital curricular decisions to make. What matters most is the teacher who controls the class to inculcate the meanings.

A Chaedar Alwasilah ; 
A Professor
at the Indonesian Educational University (UPI) Bandung
JAKARTA POST, 19 Januari 2013


Selengkapnya.. »»  

Bahasa Indonesia Direndahkan dan Disepelekan


Sangat menarik tulisan Kurnia JR yang dimuat di rubrik Bahasa Kompas (21/9) dengan judul "Bahasa Lisan". Menurutnya, tidak banyak wartawan media elektronik, televisi dan radio, yang bahasa lisannya bagus atau memenuhi standar dan kaidah bahasa baku, efektif, dan ekonomis ketika menyampaikan laporan langsung. Dia menduga bahwa para wartawan itu hanya cacat dalam bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis mereka lebih baik. Penulis yang piawai dan indah dalam tulisan pun tidak niscaya sempurna dalam ragam lisan. Ini disebabkan oleh kemalasan melatih keselarasan lidah dengan pikiran.

Bila bahasa lisan yang memenuhi standar dan kaidah bahasa yang baku dianggap lebih sulit daripada bahasa tulis, tentu hal ini dapat dimaklumi. Dalam bahasa lisan, penutur atau penyiar dalam ucapan atau dialog spontan hanya memiliki sedikit waktu untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai dengan kaidah bahasa yang baku ketika membuat kalimat. Ini jelas berbeda dengan bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, kita memiliki banyak waktu untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai dengan kaidah bahasa yang baku dalam merangkai sebuah kalimat.

Untuk menguasai bahasa tulis, kita harus mempelajari tata bahasa yang baku. Sedangkan untuk menguasai bahasa lisan, kita harus menguasai dengan baik terlebih dulu bahasa tulis. Bila hanya sampai di sini, tentu ini tidak cukup. Selain belajar dari orang-orang yang piawai dalam berbahasa lisan, kita pun perlu mempraktikkannya setiap hari. Ini mungkin yang kurang atau sama sekali tidak kita lakukan.

Kita terlalu meremehkan bahasa kita, karena menganggap bahasa Indonesia sangat mudah. Kita menganggap bahwa dalam berbahasa untuk menyampaikan maksud hati kita kepada lawan bicara yang terpenting adalah dia mengerti kalimat yang kita ucapkan. Sementara kalimat yang amburadul atau tidak mengikuti kaidah bahasa yang ada tidaklah menjadi masalah. Yang penting, sekali lagi, lawan bicara kita memahami apa yang kita maksudkan.

Itu memang benar. Namun, dalam berbahasa kita harus senantiasa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sehingga kita menjadi piawai dan lawan bicara yang mendengarkan ucapan kita menjadi terbuai dan memotivasi dirinya untuk melakukan hal yang sama. Sehingga, berkeinginan menjadi salah satu anggota dari kelompok intelek dalam berbahasa Indonesia.

Namun, sangat mengejutkan ketika isteri penulis menceritakan pengalamannya terkait penggunaan bahasa itu, tepatnya Bahasa Indonesia. Saat itu seorang guru sebuah SMA terkenal di Manado hendak memfotokopi soal-soal untuk menyeleksi mereka yang mendaftarkan diri untuk menjadi murid di SMA tersebut. Karena sudah saling kenal, istri saya bertanya padanya.

"Soal-soal mata pelajaran apa saja yang hendak difotokopi?" Lantas dia menjawab, "Mata pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris." "Mengapa tidak ada ada soal Bahasa Indonesia?" tanya isteri penulis kembali. "Semua calon murid sudah bisa berbahasa Indonesia. Jadi, itu tidak perlu," sahutnya kembali.

Bukan main. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita benar-benar dianggap rendah dan disepelekan. Pengalaman yang menyedihkan itu terjadi setahun silam. Saat itu, penulis memberikan ujian mata kuliah Bahasa Indonesia pada mahasiswa sebuah sekolah tinggi teologi di Manado. Salah seorang mahasiswa yang ikut ujian berasal dari Filipina. Nilai Bahasa Indonesia yang tertinggi justru diraih oleh mahasiswa yang berasal dari Filipina itu.

Benar-benar mengecewakan bagi seorang guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia pula. Mahasiswa asing justru lebih baik nilainya daripada mahasiswa Indonesia dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Untuk belajar bahasa Indonesia dari buku, diperlukan sumber atau buku dengan teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila tidak, orang yang belajar langsung dari sumber itu akan senantiasa membuat kesalahan. Ini terjadi pada seorang pendeta yang berasal dari Filipina. Pendeta itu sudah lama tinggal di Indonesia. Ia telah mengikuti pendidikan teologi untuk S-2 dan S-3 di Indonesia. Bahasa Indonesianya sangat baik.

Namun, Pendeta itu sering menggunakan kata, "daripada" sedangkan seharusnya adalah kata, "dari". Ini sebenarnya bukan kesalahan Pendeta tersebut tetapi adalah sumbernya yang menjadi referensi bagi dirinya untuk belajar Bahasa Indonesia, yaitu teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Kesalahan penyakit "daripada" ini sangat mendominasi teks Alkitab.

Agar bahasa lisan Indonesia sama hebatnya dengan bahasa tulis, maka kita harus melatih dan mengasahnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, di kantor, dan di tempat-tempat lain-lain yang mendukung. Namun, faktanya, kita malu dan enggan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa "resmi" dalam percakapan di tempat-tempat tersebut.

Sebaliknya, kita sangat memuji setinggi langit mereka yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa percakapan di dalam keluarganya, di kantor, dan lain-lain. Lalu, siapa yang akan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik? Pelajaran sangat berharga itu harus menjadi cambuk untuk membenahi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di kalangan anak bangsa. Kalau bukan kita yang bangga terhadap bahasa nasional kita, siapa lagi?

R Tuwoliu Mangangue ; 
Pengajar pada Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano, tinggal di Manado
SUARA KARYA, 19 Januari 2013

Selengkapnya.. »»  

Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah


Berkali-kali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (juga stafnya) tampak kurang memahami keberatan mereka yang mengkritik ”apa yang disebut Kurikulum 2013”. Kesenjangan itu sangat tampak setiap kali ’yang bersangkutan’ diwawancarai di televisi/media.

Berkali-kali ia katakan bahwa keberatan itu kebanyakan hanya mengenai implementasi; maka dapat diatasi. Andai kata keberatan-keberatan tersebut hanya tentang implementasi, tetap harus diperhatikan. Sebab, peristiwa UU Sistem Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa implementasi itu justru yang langsung berkaitan dengan praksis sekolah. Dan, sekolah bukan pertama-tama soal teori manajemen birokrasi dan sistem persekolahan, melainkan praksis mendidik di sekolah. Apalagi, pendidikan persekolahan dilaksanakan tidak di Senayan (Kantor Kementerian dan Kebudayaan/Kemdikbud) dan dalam ruang ”uji publik yang direkayasa”, tetapi dalam ”interaksi antara murid dengan guru di kelas”.

Selain itu, implementasi yang di-”entengkan” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu tidaklah sedemikian sepele. Hal ini terutama apabila mengingat bahwa penataran guru yang harus memadukan beberapa ilmu tidaklah cukup dengan beberapa minggu. Padahal, kita semua mafhum, sebentar lagi pemilihan umum akan segera disiapkan; sehingga tidak terbayangkan bagaimana para guru dan sekolah akan terombang-ambing dalam mewujudkan teori kurikulum yang dipaksakan itu ketika kementerian akan diperebutkan oleh partai-partai.

Lebih jauh lagi, implementasi yang dipandang rendah itu mencakup kemampuan guru dan manajemen kelas dan sekolah, yang sangat menentukan pelaksanaan praksis didik di kelas. Ini satu hal yang bagi orangtua murid dan para murid sendiri menjadi keprihatinan harian langsung (bukan yang diteropong dari jauh dari kantor Kemdikbud di Senayan).

Padahal, lebih mendalam lagi, kebanyakan orang yang mengkritik ”rencana pembaruan kurikulum” itu lebih menunjuk bukan sekadar implementasi dari ”apa yang disebut pemaduan mata-ajar”, tetapi pada pengertian dasar yang dipakai oleh Kemdikbud untuk memahami ”ilmu” dan ”pewarisan budaya” serta ”pendidikan budi pekerti atas dasar iman”. Ketiganya mencakup kredibilitas Mendikbud dan para pembantu terdekatnya, yang dalam rapat-rapat persiapan perubahan kurikulum tidak semua diikutsertakan.

Ilmu
Baik dalam rancangan kebijakan di sekolah dasar maupun di sekolah tinggi sangat menonjol bahwa Mendikbud dan pembantunya punya paham ilmu yang terbatas sekali. Pada awal rapat-rapat pembaruan kurikulum ditekankan bagaimana dicari struktur kurikulum yang mendorong keterpaduan bangsa. Dalam praktiknya, kurikulum ini menyerapkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain, yang justru menyiapkan perpecahan.

Padahal, IPA dan IPS adalah ilmu-ilmu yang menegaskan bahwa dari sudut suku dan agama apa pun, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial menghendaki cara pandang sama. Mempelajari IPA dan IPS secara jernih dapat menguatkan persatuan lintas suku, lintas agama, dan lintas bangsa. Dengan demikian, murid-murid kita dipersiapkan untuk pergaulan dan persaingan internasional secara jernih.

Cara yang dipilih Mendikbud saat ini justru mengajarkan perpecahan bangsa sejak anak usia muda, di samping tidak sesuai dengan pengertian ilmu yang jernih. Menteri mempersiapkan sektarianisme sejak taman bermain/TK dan SD: hal itu akan menghancurkan kesatuan Indonesia. Di dalamnya, meremehkan perbedaan ilmu pasti, ilmu alam, dan ilmu sosial, yang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai; sekarang akan disuruh dikuasai guru hanya dalam beberapa minggu.

Kedangkalan pemahaman Mendikbud dan pembantunya yang terdekat ini tidak hanya kelihatan dari pencampuran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia di pendidikan dasar, tetapi juga mencolok dalam kebijakan di tingkat tinggi. Mirip pengertian serupa, kementerian ini mempunyai paham ilmu yang mengecoh keilmuan jernih ketika mengumpulkan filsafat dan teologi dalam ”ilmu agama”. Tampak sekali bagaimana Mendikbud, dan pembantu terdekatnya yang tersangkut, mempersempit paham ilmu filsafat dan ilmu teologi menjadi sekadar alat untuk menjelaskan pokok-pokok dangkal agama. Itu pun kerap dipersempit hanya mengenai hal-hal sekitar ritus dan ritual.

Pemahaman tentang etika dan moral orang beriman dikudungi menjadi sekadar rangkaian rumus dan slogan, tanpa murid diajak mendalami argumentasinya yang mendalam. Padahal, baik filsafat maupun teologi—sudah sejak zaman Ibn Sina—tak mau berhenti pada praktik agama harian belaka, tetapi mau sampai ke sejumlah pengandaian dalam mengolah pemikiran dan pengertian bakti kepada Tuhan dengan diperkuat oleh argumentasi nonsektarian. Tujuannya justru agar para pemeluk agama, dari agama apa pun, dapat mempertanggungjawabkan keimanannya secara lintas budaya dan lintas agama.

Memenjarakan filsafat dan teologi dalam ilmu agama dan praktik ritual hanyalah aksi dari sementara orang yang mau mengerdilkan agama sebagai rangkaian pepatah-petitih yang harus dihafalkan sehingga menjadi keyakinan yang sulit dipertanggungjawabkan akal budi. Tentu saja agama berkaitan dengan perwahyuan yang harus diimani. Namun, iman melampaui akal budi, bukannya bertentangan dengan akal budi. Maka, hal itu tidaklah mau mengatakan bahwa agama tak dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi walau tak mau membatasi diri hanya pada akal budi belaka. Karena itu, murid perlu dibimbing untuk mampu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sebagai orang beriman. Hal itulah yang diolah dalam berfilsafat dan berteologi.

Dengan demikian, jelas, bahwa di balik usaha dalam pembaruan kurikulum SD ataupun dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 terdapat satu semangat yang sama, yakni ”sikap anti-akal budi” dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bangsa ini sejak usia dini.

Prinsip Dasar Pendidikan
Gagasan pembaruan Kurikulum 2013 ataupun UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi masih menunjukkan kekeliruan berpikir dari sudut ilmu mendidik. Apa yang disebut ”Kurikulum 2013” merebut dari tangan dan pangkuan umat dan orangtua: hak dan kewajiban mendidik kerohanian anaknya. Kalau sekolah mau tetap dalam kewajiban kenegaraan sejati, tidak tepatlah menugasi sekolah masuk dalam ranah religiositas dini.

Perlu diingat, pada usia dini sampai selesainya SD, murid butuh pendidikan holistik, yang memadukan religiositas dengan seluruh kehidupan pribadinya; baru kemudian segi akal budi dapat secara khusus dikembangkan; dan hal itu tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah. Tidak tepatlah argumen ”bahwa orangtua tidak mampu mendidik agama anak-anaknya”: argumen itu melecehkan religiositas orangtua dan merebut dari lembaga keagamaan dari kewenangannya. Tidak seyogianya pemerintah dan kaki tangannya merebut hal itu. Selain itu, justru karena kita semua berpendapat bahwa pendidikan religius adalah penting, maka integrasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga mutlak perlu; tidak seyogianya direbut sekolah (apalagi oleh kementerian dan siapa pun).

Hal serupa dapat mencolok dalam UU No 12/2012 yang memisahkan teologi dari ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. Sebab, dengan demikian, Kemdikbud memenjarakan teologi khususnya, dan filsafat agama pada umumnya, sebagai suatu kesibukan manusia yang tidak sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian, Kemdikbud ini telah melecehkan teologi (dan filsafat agama) sebagai kesibukan yang tidak sebanding dengan ilmu-ilmu lain. Kecuali itu, pembagian dalam UU No 12/2012 mengandaikan bahwa pelayanan keilmuan kementerian-kementerian dianggap sama saja. Dengan demikian, sebenarnya tidak dipedulikan kompetensi keilmuan dalam pelayanan kenegaraan. Namun, dengan begitu dapat kita nilai kredibilitas keilmuan sejumlah petugas dalam Kemdikbud, yang berpretensi mengawal proses didik dan pengilmuan masyarakat.

Kesimpulan
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, rencana pembaruan Kurikulum 2013 untuk SD tidak layak dan masih harus dipertimbangkan sekali lagi. Sementara UU No 12/2012 perlu ditinjau kembali sehingga layak menjadi pegangan gerak akademis yang jelas kompetensinya. Apabila tidak, Kemdikbud merosotkan perannya menjadi tak kompeten karena kesempitan paham ilmiahnya dan tidak cukup memiliki kredibilitas yang diperlukan untuk mengarahkan proses pengilmuan masyarakat.

Bs Mardiatmadja ; 
Pendidik dan Rohaniwan
KOMPAS, 18 Januari 2013

Selengkapnya.. »»  

Kurikulum Baru tanpa Galau


KEGALAUAN, kekhawatiran, dan sejuta keresahan seolah menghadang datangnya hal-hal baru alias perubahan. Termasuk kurikulum 2013 yang segera tiba. Belum-belum sudah ada yang berkomentar seperti kurikulum 2013 melanggar UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mereka menggunakan dalil: UU Sisdiknas menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib, antara lain, memuat mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan sosial. Sementara itu, pada kurikulum 2013, di antara mata pelajaran tersebut, ada yang "dihapus".

 Selain mengomentari masalah muatan kurikulum di atas, ada pula yang mengaitkan polemik perubahan kurikulum ini dengan politis. Misalnya, ganti menteri ganti kurikulum. Masih ada pula yang menyoal masalah teknis. Misalnya, berkaitan dengan teknik uji kelayakan, kesiapan guru dalam mengimplementasikannya, diseminasi informasi, manajemen, sistem evaluasi, dan sebagainya.

 Mendikbud M. Nuh ketika diwawancarai berkaitan dengan perubahan kurikulum, 5 Desember yang lalu, menyatakan: "Apakah kita bisa membuat kurikulum yang tidak berubah 50 tahun? Tidak ada ceritanya. Tidak ada ceritanya kurikulum yang 50 tahun tidak berubah, bahkan yang 20 tahun tidak berubah itu tidak ada." Mendikbud juga menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan nasional tidak akan pernah sempurna. Sebab, perkembangan pendidikan harus menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Arah perubahan kurikulum sudah sangat jelas. Perubahan kurikulum dimaksudkan dapat meningkatkan dan menyeimbangkan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Tiga ranah itu harus dimiliki siswa. Yang sedang dirisaukan masyarakat sekarang adalah anak-anak kita hanya memiliki kognitif. Ini yang harus dijawab oleh kurikulum mendatang. Kompetensi nanti bukan berkaitan dengan kognitif saja, namun ada sikap dan keterampilan yang didasari tiga pilar utama, yakni kreatif, inovatif, dan produktif dengan jiwa keindonesiaan.

Kurikulum mendatang adalah kurikulum yang mencerdaskan. Kurikulum yang baru akan mengubah mindset pendidikan menjadi dua paradigma, yakni akademik dan karakter. Maksud cerdas akademik adalah kreativitas anak dipacu dengan cara anak diajari mengamati, memanfaatkan indrawi untuk melihat fenomena. Tidak hanya mengamati, tetapi anak juga didorong untuk bertanya. Dengan bertanya-tanya, anak akan sampai pada tingkat bernalar, mencoba, dan akhirnya sampai pada eksperimen. Sedangkan, untuk cerdas secara karakter dalam kurikulum baru nanti, karakter akan mendapatkan porsi yang lebih banyak, terutama di tingkat pendidikan dasar. Sebab, karakter merupakan fondasi pendidikan. Budaya asli bangsa, antara lain, budi pekerti, sopan santun, dan tata krama yang kini mulai luntur akan kembali diangkat dengan lebih menekankan pada pendidikan karakter.

Secara garis besar, karakteristik kurikulum 2013 bisa digambarkan seperti berikut ini. Kurikulum berbasis sains, pembelajaran bersifat tematik integratif. Mata pelajaran IPA dan IPS SD diintegrasikan. Kompetensi berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan di samping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan. Penilaian berbasis tes dan portofolio saling melengkapi. Alokasi waktu per jam pelajaran (JP) untuk SD = 35 menit, SMP = 40 menit, dan SMA = 45 menit. Jumlah jam pelajaran per minggu untuk SD: Kelas I = 30 JP, kelas II= 32 JP, kelas III=34 JP, kelas IV, V,VI=36 JP; SMP = 38 JP; dan SMA = 39 JP.

Gambaran karakteristik kurikulum 2013 di atas mengingatkan saya pada konsep "calistung", yaitu membaca, menulis, dan menghitung. Kurikulum mendatang menekankan pada tiga dasar pengetahuan (membaca, menulis, dan menghitung) sehingga pengintegrasian beberapa mata pelajaran bisa dilakukan untuk mengurangi beban belajar siswa.

Sebagai ilustrasi, sekarang memang banyak anak yang tidak bisa menulis walaupun bisa "SMS-an", Facebook-an, namun tulisannya seperti anak-anak "alay" saja. Begitu pula pelajaran matematika. Kebanyakan siswa hanya hafal rumus-rumus matematika, tetapi mereka tidak tahu gunanya.

Perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah tentunya sudah melalui proses evaluasi dan analisis konteks yang panjang. Pemerintah tentu tidak akan rela menggadaikan masa depan generasi bangsa dan negara hanya demi kepentingan sesaat. Masyarakat diharapkan tidak menjadi anti dengan perubahan. Pada dasarnya, tidak ada yang kekal abadi di dunia ini, kecuali hanya perubahan itu sendiri. Kita harus yakin bahwa dengan revisi kurikulum ini, pendidikan di Indonesia akan menghasilkan generasi yang jauh lebih baik dan siap menjawab tantangan zaman ke depan.

Suryadi ; 
Ketua Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Negeri Kab Mojokerto
JAWA POS,  11 Januari 2013


Selengkapnya.. »»  

Tahun Baru Kurikulum Baru


DUNIA pendidikan mendapat kado istimewa pada 2013. Telah disusun kurikulum 2013 untuk menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Kendati belum dilaksanakan secara menyeluruh di wilayah Indonesia--baru diujicobakan di beberapa kota tertentu--itu tak ayal telah cukup membuat wacana perubahan kurikulum menjadi buah bibir di masyarakat.

Pada intinya, konsep dan tujuan kurikulum 2013 tidak berbeda banyak dengan kurikulum sebelumnya, masih menekankan integrasi pencapaian aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Bukankah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 dan KTSP juga demikian?

Akan tetapi, anekdot `ganti menteri, ganti kurikulum' belum juga lenyap dari birokrasi pendidikan di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memang seperti mengejar target, terutama ketika institusi itu kembali terintegrasi dengan kebudayaan.

Tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada transfer pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga meliputi pembudayaan dan pemberadaban masyarakat yang diterjemahkan ke dalam pendidikan karakter. Dengan mengacu ke hal tersebut, pendidikan semakin sarat dengan tuntutan yang bersifat holistis. Output (hasil) pendidikan mencakup penyiapan mental dan keteram pilan untuk dapat mengarungi lautan kehidupan.

Bagi yang optimistis dengan kurikulum 2013, harapan muncul karena di kurikulum tersebut ada penggabungan mata pelajaran di tingkat dasar.

Harapan itu membuncah ketika fenomena siswa di sekolah dasar yang terlalu dipenuhi beban pelajaran tidak akan ditemui lagi. Untuk mereka yang skeptis, kurikulum 2013 akan sama nasibnya dengan kurikulum sebelumnya, yang secara konsep bagus tetapi rapuh di tataran praksisnya. Itu disebabkan kurikulum yang berubah, dengan penekanan pada aspek afektif dan psikomotorik, tidak diimbangi kemampuan guru yang dapat mengaplikasikan kurikulum dengan baik. Guru menjadi `kambing hitam' dari permasalahan pendidikan yang kian runyam.

Perubahan Elementer

Perubahan paling elementer pada kurikulum 2013 ialah pelajaran yang sebelumnya berjumlah 10 akan dikurangi menjadi 6 di SD. IPA akan dimasukkan ke pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dll. Pelajaran IPS akan dimasukkan ke pelajaran PPKn, bahasa Indonesia, dll. Masalah muncul karena mindset kita dipengaruhi paradigma `ilmu yang terfaksionalisasi' bahwa IPA merupakan bagian dari ilmu eksak dan IPS bagian dari ilmu sosial-humaniora. Lalu meluas saat penjurusan di SMA, pandangan sarkastis muncul dengan menganggap anak jurusan IPA lebih pintar dari pada anak IPS yang dicap d jurusan r anakanak buangan.

Pada poin keenam dalam draf bahan uji kurikulum 2013, terdapat kalimat yang jika dipahami secara saksama, muncul ambiguitas. Pertama, menempatkan IPA dan IPS... bukan disiplin ilmu, melainkan untuk membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dengan alam secara bertanggung jawab. Kesannya justru yang kedua (membentuk sikap ilmuwan) bertolak belakang dengan yang pertama (bukan disiplin ilmu). Bagaimana bisa sesuatu yang kognitif (bukan disiplin ilmu) diarahkan untuk mempunyai kompetensi afeksi dan psikomotorik secara bersamaan? Padahal, untuk sampai pada afeksi dan psikomotorik, butuh proses yang cukup panjang.

Ketika IPA dan IPS dimasukkan ke bahasa Indonesia, misalnya, bagaimana menyampaikannya? Bisa jadi bahasa Indonesia akan dikorbankan karena materinya berisi masalah-masalah IPA dan IPS. Padahal, bahasa Indonesia sangat penting untuk mendidik siswa agar memiliki keterampilan berbahasa yang baik, utamanya menulis. Jika IPA yang dikorbankan, itu dapat membuat IPA hanya menjadi pelajaran kognitif. IPA bukan hanya tipikal pelajaran yang bersifat kognitif. IPA diharapkan mendorong anak didik untuk mencintai alam, memahami makhluk hidup, mengamati organ-organ makhluk hidup bekerja, misalnya. Lalu dari mencintai IPA, anak didik akan tertarik untuk meneliti fenomena alam.

Sementara itu, dalam elemen perubahan proses pembelajaran, sebagai manifestasi dari perwujudan keteram pilan, anak didik di SD, SMP, SMA, dan SMK diarahkan untuk mencipta (kreasi). Proses itu memunculkan pertanyaan mendasar, apa yang mesti dicipta anak didik? Dalam pelajaran ilmu eksak, menciptakan benda yang konkret bisa saja dilakukan. Atau dalam bahasa Indonesia, siswa bisa diarahkan agar berhasil membuat karya sastra (puisi, cerpen, novelet, esai) atau makalah sebagai elemen penilaian. Untuk penciptaan mata pelajaran rumpun sosial dan humaniora, hal itu akan menjadi rumit karena berkaitan dengan sesuatu yang abstrak.

Restorasi Pendidikan

Kurikulum memang mesti terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Menihilkan peran kurikulum sama saja dengan membiarkan pendidikan nasional berjalan tanpa arah. Namun, mengubah kurikulum tanpa upaya membudayakan peserta didik untuk senang belajar akan sama saja hasilnya: nihil. Membudayakan peserta didik merupakan proyek pendidikan karakter, yakni bagaimana pendidikan dapat membentuk anak yang jujur, kreatif, bertanggung jawab, percaya diri, cinta tanah air, dan memiliki sikap-sikap positif lainnya. Sikap-sikap itulah yang oleh kalangan idealis pendidikan diyakini sebagai tujuan utama pendidikan.

Harus diakui, masih banyak anak didik seperti tidak memiliki semangat belajar. Selain rendahnya minat baca sebagai sumber pengetahuan, siswa seperti enggan belajar karena mereka belajar sesuatu yang tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu, seperti doktrin jurnalisme berita, akan berpotensi dibaca jika pembaca memiliki kedekatan (geografis, psikologis, dan minat) pada berita. Pun dengan pendidikan, anak lebih mungkin tertarik jika mereka belajar apa yang dekat pada mereka.

Ada diktum yang menarik, seseorang akan senang belajar jika suatu pelajaran disampaikan dengan menyenangkan. Menyenangkan ialah frasa yang bersifat abstrak dan relatif. Namun, indikatornya jelas bisa diamati, contohnya siswa memperhatikan penjelasan guru, tidak mengantuk di kelas, dan rajin bertanya untuk lebih tahu tentang materi pelajaran. Jika sesuatu berlangsung menyenangkan, pencapaian tujuan pendidikan akan lebih mudah.

Mayling Oey-Gardiner (Kompas, 28/11) menulis artikel tentang liberal arts sebagai roh pendidikan di Amerika Serikat. Liberal arts merupakan model pendidikan dengan bekal dan fondasi luas pada berbagai ilmu dasar diberikan secara baik. Harapannya ialah untuk membentuk lulusan yang menguasai berbagai bidang ilmu dengan sama baiknya. Itu sebetulnya sudah muncul ratusan tahun lalu ketika banyak filsuf sekaligus ahli ilmu pasti. Ibnu Sina ialah dokter sekaligus filsuf. Rene Descartes dikenal sebagai matematikawan yang juga filsuf. Penggabungan IPA dan IPS ke pelajaran lainnya ditakutkan justru mendang kalkan siswa. Restorasi pendidikan meru pakan upaya untuk mene mukan kem bali semangat belajar siswa dan guru se kaligus. Kuri kulum baru diharapkan dapat men dorong siswa untuk menjadi manusia yang EBET sempurna. Paradigma bahwa guru kini lebih dipahami sebagai profesi murni yang tak berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan akibat kompensasi ekonomi yang menggiurkan laik dikikis untuk mengembalikan tugas guru yang berperan mendidik.

Implementasi

Banyak guru gagap membaca panduan kurikulum sehingga berdampak pada metode mengajar yang masih sama. Model ceramah di kelas masih menjadi favorit para guru karena tidak perlu repotrepot menyiapkan bahan ajar dan alat pendukung pengajaran. Jika itu dilaksanakan di luar kelas, guru akan lebih sulit mengendalikan perilaku anak didik yang perhatiannya rawan terbelah oleh hal lain.

Di masa mendatang, anak didik akan menghadapi problem hidup yang kian kompleks. Tantangan ke dalam, bagaimana manusia Indonesia tetap memiliki karakter yang khas Indonesia sebagai bagian pengembangan soft skill. Identitas keindonesiaan menjadi sedemikian penting untuk ditampilkan sebagai nilai tawar dalam rangka perjuangan hidup, baik individu maupun sebagai bangsa. Adapun hard skill diperlukan lebih sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan.

Tantangan keluar ialah dengan menyiapkan anak didik untuk siap menghadapi percaturan internasional. Globalisasi yang menjadi narasi saat ini menuntut anak-anak Indonesia mampu berkiprah di dunia internasional. Selain penguasaan bahasa yang banyak dipakai di dunia (misalnya Inggris, Arab, dan Mandarin), penguasaan hard skill tertentu mutlak dimiliki siswa.

Sebetulnya yang menjadi titik tekan ialah bagaimana kita memiliki guru yang berkualitas, yang punya kecerdasan karakter, sekaligus guru yang terampil. Dalam bahan uji publik kurikulum 2013 ini, hal itu telah diantisipasi dengan pelatihan guru dan tenaga kependidikan. Alat yang dipakai untuk mengukur itu lagilagi masih memakai ukuran administratif, yang masih berjarak dengan kompetensi mengajar dan mendidik.

Maka, pelatihan (training) guru harus dimaksimalkan untuk mengarahkan guru agar dapat menangkap maksud kurikulum baru dan selanjutnya merumuskan tindakan apa yang tepat diberikan kepada siswa. Itu akan menjadi kunci sementara agar kurikulum 2013 dapat berjalan efektif dengan meminimalkan kegagalan. Pun dalam waktu jangka panjang, perbaikan kualitas pendidikan tidak bisa ditanggung kemendikbud saja. Ada tanggung jawab berjejaring yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah, stakeholder, ataupun masyarakat sipil.

Junaedi Abdul Munif ; 
Direktur Wahid Center Universitas Wahid Hasyim
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2013



Selengkapnya.. »»