Keunggulan
bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya
membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam
menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih
unggul dibanding bangsa-bangsa lain.
Rencana
pemerintah untuk mengurangi jumlah mata pelajaran bagi anak sekolah,
sebagaimana disosialisasi dalam kurikulum 2013, menuai kontroversi. Ada yang
mendukung, tapi ada juga yang menentang. Kalangan pertama beralasan, mata
pelajaran bagi anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memang terlalu
banyak, sehingga siswa tidak bisa menyerap semua mata pelajaran dengan
maksimal. Siswa tidak fokus karena dituntut untuk menguasai beragam disiplin
ilmu pengetahuan.
Sedangkan
kalangan yang menolak beranggapan, dengan mata pelajaran yang ada saja masih
banyak ilmu pengetahuan dasar yang tidak dikuasai siswa, lantas bagaimana jika
masih dikurangi lagi? Kalangan ini juga bersikap apriori atas masterplan
kurikulum yang menggabung mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan
bahasa Indonesia.
Alasan
mereka, diajarkan secara terpisah dan sistematis saja hasilnya tidak maksimal,
apalagi digabung. Di tengah gancarnya gempuran bahasa gaul terhadap struktur
bahasa Indonesia yang baku, besar kemungkinan di masa depan jumlah penutur
bahasa Indonesia yang baik dan benar akan berkurang drastis. Padahal bahasa
Indonesia merupakan salah satu isi dalam Sumpah Pemuda yang memiliki nilai
historis dan posisi strategis bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Kontroversi
ini sebenarnya harus disikapi secara arif dan dicari jalan tengahnya, supaya
tidak berimbas pada proses belajar-mengajar anak-anak sekolah. Yang terpenting
dari semua itu adalah, semua praktisi dan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan
harus mengacu pada semangat yang sama dalam menjalankan tugasnya.
Semangat
tersebut tertuang rapi dalam definisi pendidikan yang diberikan oleh
pakar-pakar pendidikan dan diamanahkan oleh undang-undang. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, misalnya, mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pemaknaan
yang hampir senada dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang mengartikan pendidikan
sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak,
agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Adapun
UU Nomor 2 Tahun 1989 menyebutkan pendidikan sebagai usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Hal ini dipertegas lagi dalam
UU Nomor 20 Tahun 2003 yang mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Cara
pandang terhadap pendidikan yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia,
sebagaimana terpapar dalam ragam definisi di atas, sejatinya mencerminkan
betapa bangsa Indonesia memiliki pandangan yang lebih holistik dibanding
bangsa-bangsa lain. Yunani, misalnya, kendati disebut-sebut sebagai bangsa
pertama yang memulai tradisi menulis, pandangan mereka terhadap pendidikan
ternyata sangat sederhana: sekadar ilmu menuntun anak, yang lazim mereka sebut dengan
istilah pedagogik. Bangsa Romawi, yang terkenal berhasil membangun imperium
besar, juga tidak jauh berbeda. Educare mereka artikan sebatas usaha untuk
mengeluarkan, menuntun, serta mengaktualkan potensi anak yang dibawa saat
dilahirkan ke dunia. Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Jerman. Istilah
erzierhung mereka artikan sebagai usaha membangkitkan kekuatan terpendam atau
mengaktifkan kekuatan atau potensi anak.
Keunggulan
bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya
membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam
menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih
unggul dibanding bangsa-bangsa lain. Namun apakah kenyataannya demikian?
Menurut laporan Trend in International Mathematics and Science Study (TIMSS),
per Desember 2012, kemampuan nalar siswa Indonesia menempati posisi ke-40 di
antara 42 negara Asia.
Rapor
merah yang dikeluarkan TIMSS ini masih diperparah dengan maraknya tawuran
antarpelajar yang selama kurun 2012 saja sudah menelan 4 korban jiwa, aksi
bullying (perundungan) yang masih terus terjadi, serta angka pengguna narkoba
dan pelaku tindak kriminal di kalangan pelajar yang juga menunjukkan
peningkatan.
Kenyataan
yang memalukan sekaligus memilukan ini mengharuskan para pemangku kebijakan
melakukan pembenahan yang lebih radikal terhadap dunia pendidikan. Tidak hanya
sebatas kurikulum, tapi juga mencakup aspek yang lain, seperti sarana dan
prasarana. Sebagai gambaran, saat ini 194 ribu ruang kelas SD dan SMP rusak
parah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyebutkan, dari
sekitar 1,48 juta guru SD, baru 22,6 persen yang bergelar sarjana. Adapun guru
SMP 27 persen, dan guru SMA 81 persen yang menyelesaikan pendidikan S1.
Perbaikan
sarana dan peningkatan kualitas guru juga tidak kalah penting dibanding
perbaikan kurikulum. Sebab, mustahil siswa bisa belajar dengan baik jika ruang
belajarnya tidak kondusif dan gurunya tidak memiliki kompetensi. Atas dasar
itulah, supaya kurikulum 2013 bisa diterapkan efektif, pemerintah juga harus
memperbaiki semua instrumen pendukungnya, termasuk sarana belajar dan guru
pengajar.
AM Fatwa ;
Anggota DPD RI
KORAN TEMPO, 25 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi