"Mendikbud akan mencabut gelar profesi yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi atau prodi yang tidak terakreditasi"
PENGELOLA perguruan tinggi, dan juga pemerintah,
harus menyikapi dan menindaklanjuti terkait dengan implikasi setelah pemerintah
menetapkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Penyikapan
dan tindak lanjut itu menyangkut berbagai aspek, dari manajemen pendidikan,
praktik good and clean university governance, penetapan biaya yang tidak
memberatkan mahasiswa, hingga aspek yang langsung berimplikasi hukum.
Tulisan ini fokus pada tema mengapa ijazah bisa
(dianggap) ilegal, tidak sah, melanggar hukum, dan adanya sanksi pidana tanpa
delik aduan. Selain itu, membahas bagaimana ijazah, termasuk sertifikat, yang
ditetapkan oleh perguruan tinggi merupakan output, yang bisa saja dianggap
ilegal.
Pasal 28 (3) UU PT menyatakan bahwa gelar akademik
dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Mendibdud bila
dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/ atau prodi yang tidak terakreditasi;
perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak
mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi. Ayat 4 regulasi itu menyebutkan bahwa gelar
profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Mendikbud bila dikeluarkan oleh
perguruan tinggi dan/ atau prodi yang tidak terakreditasi; perseorangan,
organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan gelar akademik
dan gelar vokasi adalah ijazah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 42 Ayat (1)
UU PT. Pasal itu menyebutkan bahwa
ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi
sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/ atau penyelesaian suatu prodi
terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pasal itu makin
memperjelas bahwa ijazah yang ditetapkan/ dikeluarkan oleh perguruan tinggi
dinyatakan tidak sah bila perguruan tinggi dan prodi tersebut tidak berstatus
akreditasi.
Seandainya hanya salah satu yang tidak berstatus
terakreditasi, apakah itu perguruan tinggi atau hanya prodi maka ijazah itu
dianggap tetap tidak sah (ilegal). Dengan demikian, publik bisa menyimpulkan
bahwa suatu perguruan tinggi, universitas, institut, sekolah tinggi, akademi,
atau bentuk yang lain, baik institusi maupun prodinya, wajib berstatus
akreditasi.
BAN PT
dan LAM
Bagaimana memperoleh status akreditasi? Pasal 55
Ayat (4) UU PT menyebutkan akreditasi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN PT).
Ayat (5) regulasi yang sama menyebutkan akreditasi
prodi adalah bentuk akuntabilitas publik oleh lembaga akreditasi mandiri (LAM).
Hingga saat ini akreditasi perguruan tinggi
ataupun prodi dilakukan oleh BAN PT. Sesuai dengan ketentuan peralihan dalam UU
PT, Pasal 95 menyatakan bahwa sebelum terbentuk lembaga akreditasi mandiri,
akreditasi prodi tetap dilakukan oleh BAN PT. Hingga saat ini memang belum ada
satu pun lembaga akreditasi mandiri.
Lantas bagaimana ''mendirikan'' lembaga akreditasi
mandiri (LAM)? Pasal 55 Ayat (6) UU PT menyatakan LAM merupakan bentukan pemerintah atau masyarakat
yang diakui oleh pemerintah atas rekomendasi BAN PT. Lembaga akreditasi mandiri
itu dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/ atau cabang ilmu, serta bisa
berdasarkan kewilayahan.
Berdasarkan dua ayat itu, publik bisa menyimpulkan
pada masa mendatang ada banyak lembaga akreditasi mandiri, dan berjumlah
sebanyak rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu sesuai dengan isi Pasal 10 UU PT.
Pemerintah bisa mengakui atau menetapkan sebuah LAM berdasar wilayah, atau
menganggap belum saatnya membentuk/ mengakui lembaga itu berdasar wilayah pula.
Lembaga akreditasi mandiri belum bisa terwujud
menunggu sampai ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) yang mengatur tiga hal pokok, yaitu tentang akreditasi, BAN PT,
dan LAM. Ini sesuai dengan isi UU tentang Perguruan Tinggi, lebih spesifik lagi
bila merujuk Pasal 55 Ayat (8).
Implikasi penting yang lain dari UU PT ini adalah
adanya sanksi pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 93. Hal ini perlu
penyikapan dari pengelola perguruan tinggi, universitas, institut, sekolah tinggi,
akademi, dan sebagainya. Pasalnya, regulasi itu menyebut bahwa perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang melanggar Pasal 28 Ayat
(6) atau Ayat (7), Pasal 42 Ayat (4), Pasal 43 Ayat (3), Pasal 44 Ayat (4),
Pasal 60 Ayat (2), dan Pasal 90 Ayat (4) bisa dipidana dengan hukuman penjara
paling lama 10 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Khusus sanksi yang berkaitan dengan Pasal 42 Ayat
(4), Pasal 43 Ayat (3). dan Pasal 44 Ayat (4) langsung berhubungan dengan
perguruan tinggi dalam kapasitas sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.
Sanksi ini bukan delik aduan sehingga jika objek hukum tidak dapat memenuhi
regulasi tersebut maka sanksi bisa langsung dikenakan kepadanya.
Implikasi lain yakni kewajiban kepada perguruan
tinggi dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun harus segera menyesuaikan diri
dengan semua ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Muchamad
Syafruddin ;
Anggota
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), dosen Fakultas Ekonomika
dan Bisnis Undip
SUARA
MERDEKA, 22 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi