Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa,
8 Januari 2013 telah mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Koalisi Pendidikan
ke MK. Putusan MK itu menghapus dasar hukum sekolah
negeri berlabel internasional (baca: Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional/RSBI). Dasar hukum yang terdapat dalam UU Nomor 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 50 ayat 3 itu lengkapnya
berbunyi: Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Dasar hukum itu pulalah yang kemudian
melahirkan Permendiknas Nomor 78/2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Bagi pemerintah,
dalam hal ini Kemdikbud, tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi dan menghormati
putusan MK tersebut, sebagai lembaga yang memang bertugas melakukan judicial
review terhadap undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UU Dasar 1945.
Itu sebabnya, Mendikbud Mohammad Nuh dalam kesempatan pertama menanggapi
putusan itu menyatakan, pihaknya akan patuh dan menghormati apa yang telah
diputuskan oleh MK.
Tentu dalam perjalanannya hormat dan kepatuhan
dalam menjalankan keputusan itu harus dipilah dan dipilih. Ini karena persoalan
pendidikan, memang bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan atau
mematikan sakelar listrik on-off. Itu sebabnya, MK pun sepakat jika keputusan
berkait dengan penghapusan RSBI dilakukan secara bertahap. Dalam ungkapan
lugas, Mendikbud menyatakan, RSBI tetap berjalan hingga berakhirnya semester
ini. Apalagi dalam kalimat lain dinyatakan, RSBI bukan ideologi terlarang, yang
harus sertamerta dienyahkan.
Tentu apa yang disampaikan Mendikbud bukan
dalam kapasitas pembangkangan, sebagaimana disampaikan segelintir orang. Tapi
lebih pada upaya memikirkan keberlangsungan sebuah proses pendidikan yang
memang tengah berjalan. Apalagi diyakini, RSBI adalah sebuah kebijakan, dia
tidak hadir dan berdiri sendiri. Sehingga Pemerintah harus mencarikan solusi
terbaik, tidak sekadar menutup.
Sebuah
Cita-Cita
Tentu tulisan ini tidak hendak melakukan
pembelaan atau menyebabkan dibatalkannya putusan MK tersebut, tapi lebih pada
ijtihad tentang RSBI. Berangkatnya dari pemikiran sederhana, bahwa orang boleh
memberi penafsiran terhadap lahirnya sebuah undang-undang, sama seperti ketika
ulama atau kiai memberi penafsiran terhadap sebuah firman Allah SWT.
Bisa jadi antara ulama atau kiai satu dengan
lainnya berbeda dalam memberi pemahaman. Dengan menggunakan cara pandang itulah
harus pula dipahami bahwa lahirnya UU Nomor 20/2003 yang di dalamnya memuat
sebuah cita-cita luhur agar bangsa ini memiliki lembaga pendidikan bertaraf
internasional, ditampung dalam Pasal 50 ayat 3. Dalam perjalanannya, karena
memerlukan proses dan tidak bisa sebuah keinginan luhur itu dicapai dalam waktu
singkat, maka dilakukanlah rintisan dalam bentuk RSBI.
Dapat dipahami terhadap keinginan itu, karena
dalam suasana awal-awal reformasi, bangsa ini berada di dalam keterpurukan yang
sangat, akibat dampak krisis global dan krisis multidimensi saat itu, sehingga
wajar jika muncul cita-cita itu, yang kemudian muncul dan dibahasakan dalam
sebuah ayat dalam UU Sisdiknas. Pertanyaannya, apakah tidak boleh bangsa ini
memiliki cita-cita luhur, di mana sekolahnya bertaraf internasional? Apakah
konstitusi kita melarang bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang
telah maju lebih dulu? Jawabnya tentu tidak.
Cita-cita kemerdekaan kita jelas dalam
konstitusi kita, untuk bisa maju bersama-sama bangsa lain, yang saat itu sudah
merdeka, sudah lebih maju, yang dalam UU Sisdiknas diidealisasikan sebagai
bentuk cita-cita bertaraf internasional. Lalu di mana salahnya RSBI? Tidak ada
yang salah jika pola pikirnya seperti itu, sehingga sebenarnya tidak
bertentangan dengan konstitusi. Tapi harus diakui, dalam praktiknyalah
kesalahan RSBI itu muncul, sehingga memunculkan diskriminasi; keterbatasan
masyarakat tidak mampu di dalam mengakses RSBI; melakukan pungutan; dan
lainnya.
Persoalannya jika praktiknya yang bermasalah,
mestinya praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma
undang-undang. Dalam bahasa Mendkibud, norma tidak bisa disandingkan dengan
praksis, sehingga putusan MK terhadap RSBI lebih menekankan undang-undang
sebagai realitas, padahal undang-undang harus ditempatkan sebagai idealitas.
Ijtihad
Itu pula lah mungkin “ijtihad” yang dijalankan
oleh Hakim MK, Achmad Sodiki, satu dari sembilan hakim di MK yang menyatakan
pendapat berbeda (dissenting opinion) ketika memutuskan perkara RSBI ini.
Konsistensi terhadap putusan MK selama inilah yang dipegang Sodiki, karena dia
“berijtihad” bahwa kesalahan dalam parktik tidak bisa dijadikan acuan untuk
mempermasalahkan norma undang-undang. Ada delapan putusan MK sejak 2009-2012
yang cara berpikirnya seperti itu.
Hakim Sodiki menilai, tidak ada kata-kata dalam
Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai bahwa pendidikan bertaraf
internasional, bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan
kehidupan bangsa, menimbulkan liberalisasi, diskriminasi dan kastanisasi
pendidikan, serta menghilangkan jati diri bangsa.
Apa yang dikemukakan sebagai keberatan oleh
para pemohon adalah gejala-gejala dalam dunia praktek pada sebagian
penyelenggaraan sekolah yang bertaraf internasional, bukan normanya yang
mengandung arti liberalisasi atau diskriminasi (Gatra, 23 Januari 2013). Pada
titik inilah hakim Sodiki—meminjam istilah Andi Irman Putra Sidin—sedang
mengingatkan MK untuk melihat undang-undang sebagai idealitas. Jika penerapan
di lapangan buruk, bukan berarti normanya juga buruk.
Taruhan
Kualitas
Tulisan ini tentu bukan sedang “menggugat”
keputusan delapan hakim MK. Tapi sebagai sebuah diskursus intelektual yang
dalam bahasa agama disebut sebagai ijtihad, yang jika salah sekalipun tetap
dapat pahala satu di hadapan Yang Maha Kuasa. Apalagi disadari sebagai manusia
kita tidak lepas dari sifat hilaf.
Ke depan kita berharap yang menjadi fokus dan
perhatian dari Kemdikbud adalah, bagaimana meski tanpa embel-embel RSBI atau
SBI, upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah dan lulusannya, menjadi taruhan.
Itu sebabnya, wacana memanfaatkan dana yang selama ini sudah diputuskan pada
APBN dalam DIPA RSBI untuk digunakan bagi peningkatan mutu sekolah melalui cara
hibah kompetisi, seperti selama ini dilakukan untuk perguruan tinggi, perlu
didukung.
Mekanismenya memang perlu disiapkan dan secara
transparan harus dikomunikasikan kepada semua satuan sekolah, sehingga tidak
ada lagi anggapan terjadi diskriminatif sebagaimana dalam praktek RSBI. Kita
juga berharap, upaya Kemdikbud untuk melakukan koordinasi, baik dengan DPR
maupun Kementerian Keuangan, berkait revisi penggunaan anggaran, dalam waktu
yang tidak terlalu lama, tidak menemukan kendala.
Karena ke depan, taruhan kualitas pada satuan
pendidikan di berbagai jenjang menjadi sebuah keniscayaan, mengingat salah satu
tolok ukur keberhasilan kita yang bisa dilihat dalam hasil Trends in
International Mathematics and Science Studies (TIMSS) tahun 2011, yang
diselenggarakan International Study Center, Lynch School of Education, Boston
College, AS. Dalam penilaian itu Indonesia berada di peringkat ke-40 untuk
bidang sains dan peringkat ke-38 untuk matematika dari 42 negara.
Fakta ini harus dijadikan sebagai salah satu
upaya untuk terus meningkatkan mutu dan kualitas dunia pendidikan kita,
sebagaimana dinyatakan Mendikbud, ada atau tidak ada RSBI/SBI, komitmen
Kemdikbud untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan pendidikan yang bermutu
pada semua satuan dan jenjang pendidikan. Semoga.
Sukemi
;
Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
SINDO,
22 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi