Nelson Mandela pernah menuturkan
bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang dapat digunakan untuk
mengubah wajah dunia.
Singapura, meski tak memiliki
sumber kekayaan alam yang memadai—lebih kecil daripada Pulau Samosir di tengah
Danau Toba, bahkan tak memiliki sumber air minum, menjadi negara yang termasuk
paling sejahtera dan maju di dunia. Sebab, negara ini telah berhasil mengelola
pendidikannya dengan baik.
Demikian pula Korea Selatan. Di
awal 1970-an, pendapatan per kapita Korsel di bawah 100 dollar AS, sementara
Filipina 700 dollar AS. Saat ini pendapatan per kapita Korsel sudah 28.900
dollar AS, sedangkan Filipina hanya 3.800 dollar AS (World Fact, 2011).
Keberhasilan Korea memajukan pendidikan telah mengantarnya dari tujuh kali
lebih miskin menjadi tujuh kali lebih sejahtera daripada Filipina dalam waktu
yang relatif singkat.
Atas kesadaran pentingnya
memajukan pendidikan, sejak 2002 Indonesia telah menetapkan anggaran
pendidikannya minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Komitmen ini sungguh luar
biasa karena diambil di tengah kekisruhan tatanan politik global sebagai dampak
tragedi 11 September 2001.
Unicef (2002) melaporkan,
pascatragedi 11 September, AS, Rusia, dan China hanya mengalokasikan 2 persen
anggarannya untuk pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1 persen. Sementara
anggaran untuk militer rata-rata mendekati 40 persen. Kecenderungan sama juga
terjadi di negara-negara Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Eropa.
Proses
Pelapukan
Luar biasa! Indonesia berani
memilih jalan berbeda demi masa depan anak-anak bangsa. Hanya saja, sungguh
patut disayangkan, meski anggaran pendidikan yang dialokasikan begitu besar,
output-nya secara keseluruhan amat menyedihkan. Bahkan, jauh lebih baik ketika
anggaran pendidikan belum sebesar saat ini. Kenyataan ini mengindikasikan
adanya proses pelapukan pengelolaan pendidikan nasional. Bahkan, sejak beberapa
tahun terakhir terlihat kecenderungan yang membahayakan.
Pertama, pendidikan nasional
kelihatannya gagal berkontribusi bagi kemajuan keilmuan dan peradaban modern.
Sejak 1985 hingga 2007, penetapan Hak atas Kekayaan Intelektual di seluruh
perguruan tinggi Indonesia hanya 419. Padahal, jumlah pendidikan tinggi di
Tanah Air, yang sangat berpotensi menghasilkan karya-karya ilmiah bagi pemajuan
pembangunan bangsa dan peradaban modern umat manusia, mendekati 4.000.
Bandingkan Singapura yang hanya
punya 5 perguruan tinggi negeri dan beberapa swasta, tetapi menyumbangkan
sekitar 10.000 hak paten. Mereka tercatat penyumbang aplikasi hak paten di
urutan ke-16 terbesar di dunia. Jepang di urutan pertama dengan sekitar 440.000
hak paten, disusul AS dengan sekitar 390.000 hak paten, lalu diikuti China,
Korea, dan Jerman (World Patent Report, 2007). Indonesia belum tercatat dalam
urutan tersebut karena belum memberi andil bagi perkembangan peradaban modern
umat manusia.
Kedua, pengelolaan pendidikan
nasional kelihatannya gagal melahirkan anak-anak bangsa yang jujur dan
berakhlak mulia. Studi oleh The Political and Economic Risk Consultancy
menunjukkan, pada awal reformasi (1999) Indonesia negara paling korup di Asia
dengan skor 9,91 mengungguli India (9,1), China (9,0), dan Vietnam (8,5). Yang
paling bersih adalah Singapura dengan skor 1,55, disusul Hongkong (4,06) dan
Jepang (4,25). Dalam perjalanan panjang selama satu dekade lebih, potret suram
itu tak banyak berubah. Bahkan, 2011 kembali lagi mencapai 9,25 mengungguli
India dan Filipina, meski pada 2007 terjadi perbaikan dengan skor 7,98.
Lebih memprihatinkan, Indonesia
Corruption Watch melaporkan, sektor pendidikan kini menempati urutan teratas
angka korupsinya, disusul sektor keuangan daerah dan sektor sosial
kemasyarakatan. Pada 2010, korupsi paling tinggi di sektor infrastruktur (85
kasus), disusul sektor keuangan daerah (82) dan pendidikan (47). Kelihatannya,
publikasi kasus Hambalang yang begitu luas memberi efek psikologis para
koruptor untuk mulai menghindar di sektor infrastruktur, dan beralih ke sektor
pendidikan yang mungkin dinilai zona yang lebih aman.
Ketiga, pendidikan nasional ternyata tak
terlihat dampaknya pada peningkatan kualitas SDM bangsa. Laporan UNDP 1998,
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di urutan ke-103. Dua tahun kemudian,
posisi ini terus bergerak menurun ke-109. Sebaliknya, Singapura menanjak dari
urutan ke-34 menjadi ke-24. Bahkan, Vietnam menanjak dari urutan ke-121 jadi
ke-108 sehingga melampaui posisi Indonesia. Keadaan ini terus memburuk. Pada
2011 dan 2012, Indonesia di posisi ke-124 dari 187 negara di dunia, amat jauh
tertinggal dari negara-negara tetangga.
Keempat, pendidikan nasional kelihatannya
gagal berperan sebagai perekat kohesi sosial masyarakat. Tanah Air kita yang
dikenal keindahan alamnya bagai zamrud khatulistiwa, dikenal pula dengan
kekayaan nilai-nilai warisan budayanya yang tinggi, tetapi lebih satu dekade
terakhir ini justru sering kali dihiasi kerusuhan sosial, anarkisme, dan
berbagai tindakan kejam lainnya. Konflik sosial telah terjadi di berbagai
wilayah, bahkan akhir- akhir ini dunia kampus seakan tidak pernah berhenti
bergolak dengan demonstrasi yang sering kali berakhir brutal. Perkelahian
antarsiswa pun sudah realitas rutin di kota-kota besar, yang sering kali
membawa korban.
Jalan
Keluar
Bertolak dari realitas
peningkatan anggaran dan proses pelapukan pendidikan tersebut, kelihatannya
kementerian ini harus sungguh-sungguh bekerja dengan data yang akurat dan
disterilkan dari transaksi politik praktis. Penyaluran bantuan operasional
pendidikan, beasiswa, dan bantuan lain yang distribusinya dikendalikan
kepentingan DPR, kepentingan politik pencitraan, atau pihak-pihak lainnya
dinilai sebagai salah satu sumber pelapukan pengelolaan pendidikan.
Sekadar berbagi pengalaman, pada
1994, ketika bekerja sebagai konsultan internasional UNESCO, saya membantu
memajukan pendidikan masyarakat miskin di China. Caranya sederhana, setiap
bantuan disalurkan secara terbuka berdasarkan data akurat.
Di desa-desa miskin, rumah- rumah
penduduk diberi tiga kategori warna. Jika di keluarga itu anaknya ada yang
tidak sekolah, ayah-ibunya tak punya keahlian atau keterampilan dasar hidup dan
masih ada anggota keluarga yang buta huruf, rumahnya diberi warna merah. Kalau
salah satu di antaranya sudah terpenuhi, diberi warna kuning, dan jika
ketiganya sudah terpenuhi, diberi warna hijau. Dengan kriteria seperti itu,
dapat dihindari bantuan salah sasaran sekaligus dapat dipastikan tiap tahun
sekian keluarga yang terbebas dari kemiskinan dan berapa anak sudah menikmati
pendidikan.
Semoga dengan pengelolaan
anggaran yang begitu besar dapat secepatnya terlihat dampaknya bagi pemajuan
ilmu pengetahuan, peningkatan kualitas SDM dan kualitas moral, serta penguatan
kohesi sosial. Saat ini semua itu terlihat semakin memburuk, jauh lebih rendah
dibanding ketika anggaran pendidikan masih relatif lebih kecil.
Hafid
Abbas ;
Guru
Besar Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS,
26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi