Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di
Finlandia) sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta
harus memperkuat jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada
anak dan para orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di
negara-bangsa bertradisi Konfusian).
Pada 27 November 2012, lembaga
penelitian Pearson mengumumkan hasil rangkuman analisis kuantitatif dan
kualitatif yang ditulis oleh Economist Intelligence Unit tentang kemampuan para
siswa serta kinerja lembaga-lembaga pendidikan di seluruh dunia, The Learning
Curve. Mereka antara lain merujuk pada hasil beberapa tes internasional
(OECD-PISA, TIMMS dan PIRLS) yang membuat peringkat kecerdasan para siswa aneka
bangsa.
Kurva pembelajaran itu
menampilkan peringkat yang menunjukkan bahwa Finlandia (populasi 5,3 juta jiwa)
dan Korea Selatan (populasi 48 juta jiwa) kini merupakan dua negara
"superpower pendidikan." Di belakangnya, yang masuk dalam lima besar
adalah Hong Kong, Jepang, dan Singapura.
Lima peringkat berikutnya
ditempati oleh Inggris, Belanda, Selandia Baru, Swiss, dan Kanada. Amerika
Serikat berada di peringkat ke-17. Indonesia berada di mana? Sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil berbagai uji kemampuan (sains, matematika, membaca, dan
pemecahan masalah) dalam sepuluh tahun terakhir, kemampuan para siswa Indonesia
selalu berada di dasar jurang (peringkat ke-40), di bawah Kolombia, Thailand,
Meksiko, dan Brasil.
Bahagia
Belajar
Mengapa Finlandia, negeri liliput
di Eropa itu, selalu berada di puncak peringkat dunia? Itu karena, antara lain,
sistem pendidikannya dibangun berdasarkan prinsip-prinsip: berkualitas,
efisien, berkeadilan, berlangsung sepanjang hayat. Penyelenggaraannya bersifat
santai dan fleksibel. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan
dasar sembilan tahun yang bermutu untuk seluruh warga negara secara gratis.
Para siswa tidak dibebani terlalu banyak mata pelajaran, jam belajar di sekolah
sedikit (sesuai dengan kebutuhan siswa, dari dua sampai delapan jam sehari),
dan mereka dibolehkan berbahagia belajar menekuni bidang yang diminatinya.
Kuncinya adalah: guru yang bermutu-bermartabat, dan sistem pengajarannya
efektif.
Seperti Finlandia, Korea Selatan
juga melakukan reformasi pendidikan sejak awal 1990-an. Namun, berbeda dengan
Finlandia, sistem pendidikan di Korea Selatan berlangsung lebih tegang dan
rigid, dengan berbagai tes dan hafalan. Namun, seperti di Finlandia, Korea
Selatan juga tanpa henti meningkatkan kualitas dan harkat para gurunya, serta
menekankan bahwa semua langkah di bidang pendidikan memiliki nilai dan misi
moral yang luhur.
Tiga
Tahap
Ada tiga tahap yang ditetapkan
pemerintah Korea Selatan dalam strategi pembangunan sumber daya manusianya.
Untuk mendukung tekad pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi, dengan
anggaran negara terbesar dialokasikan untuk jenjang SD dan SMP (86 persen),
pada tahap pertama (tahun 1960-an), sekolah-sekolah diprogram menciptakan
tenaga buruh kasar (lulusan SD) untuk kebutuhan industri padat karya dan
manufaktur. Tahap kedua (tahun 1970-1980), seiring dengan kemajuan pesat
ekonominya, sekolah-sekolah mempersiapkan tenaga kerja bagi industri berat dan
kimia yang padat modal (lulusan SMA).
Tahap ketiga (1990 sampai
sekarang), Kementerian Pendidikan berfokus pada penciptaan tenaga kerja
berpendidikan tinggi untuk mendukung industri teknologi, elektronik, dan
industri berbasis ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, sejak tahun 2000,
seluruh sekolah dari SD hingga perguruan tinggi dilengkapi komputer dengan
akses Internet berkecepatan tinggi.
Hasilnya? Hanya dalam waktu
sekitar 25 tahun sejak reformasi pendidikan dimulai, Korea Selatan kini
bertakhta di puncak kedua dunia. Itu melengkapi prestasinya di bidang industri
elektronik dan koneksi Internetnya yang di peringkat satu. Kok bisa? Catatan
sangat penting dalam analisis The Learning Curve adalah bahwa, untuk
menghasilkan pendidikan berkualitas, uang memang penting, tetapi yang lebih
penting daripada uang adalah besarnya dukungan kultur lingkungan terhadap
pendidikan.
Untuk mengimbangi pembangunan
domain kognisi yang sarat dengan hafalan dan ulangan, pemerintah Korea Selatan
pun menggalakkan pelajaran seni dan olahraga bagi para siswa sejak SD. Itulah
dasar-dasar bagi pembentukan jati diri bangsa dan karakter. Yang dibangun di
sekolah bukan hanya kecerdasan otak, tapi juga seluruh tubuh, melalui berbagai
macam olah seni dan olahraga yang, untuk itu pun, bangsa Korea Selatan mampu
mencatatkan prestasi internasional: taekwondo, basket, bulu tangkis, bahkan tim
sepak bolanya berhasil mencapai babak kualifikasi Piala Dunia selama delapan
kali berturut-turut, dan itu merupakan rekor terbanyak di Asia.
Tradisi
Konfusianisme
Konfusianisme Korea (Yugyo)
merasuk ke dalam darah bangsa dan menjadi fondasi kebudayaan yang mengatur
sistem moral, pola kehidupan, dan hubungan sosial antar-generasi serta dasar bagi
banyak sistem hukum. Sebagaimana diketahui, spirit Konfusianisme mengajarkan
bahwa, untuk menjadi sempurna, manusia harus menjalani pendidikan dan latihan
yang keras dan terus-menerus. Kualitas itulah yang secara sosial akan
menempatkan seseorang di puncak status (meritokrasi). Itulah yang mendorong
para orang tua Korea berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan
tinggi. Itulah semangat kebudayaan yang melahirkan "demam pendidikan"
dan terbukti menempatkan Korea Selatan berada di puncak hierarki dunia. Adalah
spirit Konfusianisme juga yang, sebagaimana ditunjukkan oleh The Learning
Curve, menempatkan Hong Kong, Jepang, dan Singapura berada di lima besar.
Lalu, apa yang harus dilakukan
pemerintah Indonesia agar mampu mengangkat bangsanya dari dasar jurang? Uang
memang penting, tapi budaya jauh lebih penting! Hentikan politik diskriminasi
pendidikan yang membangun kasta-kasta sekolah unggulan dan bukan unggulan yang
berbiaya mahal! Hentikan ujian nasional yang tidak hanya memboroskan dana, tenaga
dan waktu, tapi juga lebih parah dari itu, hanya menjadi pemicu
"kriminalitas pendidikan" dan memberikan ukuran menyesatkan tentang
peringkat kecerdasan seseorang. Lebih tragis lagi, ujian nasional telah
menghancurkan tujuan pendidikan: bukannya membangun karakter dan akhlak mulia,
melainkan menjadikan para anak didik sebagai hamba angka, peringkat, dan
ijazah!
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan harus mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu,
murah, dan adil serta bisa diikuti oleh seluruh warga negara. Metode
pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus
harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati
diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang tua
untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi
Konfusian). Itulah makna dari lirik lagu kebangsaan kita: "Bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya."
Yudhistira
ANM Massardi;
Penulis
Buku Pendidikan Karakter
dengan
Metode Sentra, dan Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi
KORAN
TEMPO, 26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi