Dalam draft Kurikulum Nasional SD
dan SMP 2013, bahasa daerah sudah tak tercantum lagi sebagai mata
pelajaran.Menurut Plt (Pelaksana Tugas) Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Kacung
Marijan, dalam acara Cangkrukan di TV (6/1/2013), bahasa daerah tidak dihapus
tapi diintegrasikan dalam mata pelajaran seni budaya. Tampaknya, sampai saat
ini belum ada alasan yang bisa diterima masyarakat mengapa bahasa daerah itu
tak lagi dijadikan sebagai mata pelajaran.
Selama ini, kondisi bahasa daerah
memang sudah amat memprihatinkan. Kondisi ini selalu diwacanakan dalam setiap
acara kebahasaan yang dilaksanakan Badan Bahasa Kemendikbud dan Balai Bahasa di
daerah-daerah di Indonesia. Bahasa daerah yang merupakan warisan budaya leluhur
secara turun-menurun secara lambat-laun, satu per satu mengalami kepunahan,
karena jumlah penuturnya yang makin hari makin berkurang.
Di samping itu, makin sedikit
pula masyarakat yang mau dan bisa berbahasa daerah. Kondisi lainnya, di beberapa
daerah seperti Bali, Jawa, Sunda, Madura, dan Minang, bahasa daerah masih tetap
eksis digunakan oleh masyarakat.
Dalam dunia pendidikan formal, SD
dan SMP, bahasa daerah juga mengalami kondisi yang kurang lebih sama. Bahasa
daerah dianggap sebagai mata pelajaran yang kurang menarik, sulit, dan asing di
mata siswa. Dan, untuk pelajaran bahasa daerah ini, kebanyakan anak mendapatkan
nilai yang kurang baik.
Ditambah lagi, kompetensi
guru-gurunya yang juga kurang mendukung dalam mengajarkan bahasa daerah dengan
baik. Tapi, benarkah semua kendala ini dijadikan alasan untuk menghapus bahasa
daerah sebagai mata pelajaran, yang justru harus kita pertahankan dan
berdayakan terus-menerus?
Rencana pemerintah menghapus
bahasa daerah sebagai mata pelajaran sebenarnya perlu dipikir ulang secara
matang, kendatipun konon diintegrasikan ke dalam seni budaya. Sebab, nasib
bahasa daerah dapat dipastikan akan semakin mengenaskan, karena pasti akan tak
dipelajari secara sistemik pada dunia pendidikan.
Sama halnya nasib mata pelajaran
Pancasila yang tak dijadikan sebagai mata pelajaran, membuat mata pelajaran ini
tak dikenal dan dihayati dengan baik oleh masyarakat. Dan, ketika tersadar
terjadi krisis multidimensi, kita baru merasa perlu kembali menjadikan
Pancasila sebagai mata pelajaran.
Dalam Kongres Internasional
Masyarakat Linguistik Indonesia di Bandung tahun 2011, saya pernah melontarkan
pemikiran tentang kesederajatan bahasa-bahasa di Indonesia. Bahasa daerah,
bahasa Indonesia, dan bahasa asing sebenarnya memiliki posisi dan derajat
kebahasaan yang sama, tak ada yang lebih prestis.
Ketiga bahasa itu memiliki peran
penting dan fungsi sendiri yang tak dapat saling menggantikan satu sama lain.
Apalagi, kalau mengaitkan dengan pandangan Foucault tentang bahasa yang tak
sekadar sebagai alat komunikasi tapi jauh lebih dari itu.
Bahasa daerah penting karena
bahasa ini sarat dengan nilai kedaerahan (lokalitas), sedangkan bahasa
Indonesia sarat dengan nilai nasionalisme dan bahasa asing nilai global.
Dengan demikian, bahasa daerah
menjadi bahasa yang sebenarnya harus dipelajari dengan baik, karena seorang
anak pertama kali harusnya juga menginternalisasi nilai kedaerahannya
(lokalitasnya) melalui bahasa daerah agar ia memiliki landasan kedaerahan yang
kuat.
Artinya, anak memiliki pijakan
akar budaya yang kuat namun sama sekali bukan berarti untuk menjadikan anak
bersikap primordial. Sebagai analogi, sebuah jembatan akan kokoh jika berpijak
di tanah.
Begitulah bahasa daerah
seharusnya sebagai bahasa yang paling pertama melandasi dan diinternalisasi
oleh seorang anak. Dengan begitu, anak akan menjadi amat cinta dengan daerah
dan tanah airnya, serta akan sejak dini merasa menjadi anak Indonesia.
Lalu, mengapa ada anggapan bahasa
daerah menjadi sesuatu yang asing dan sulit bagi anak? Jika dicermati ini
sebenarnya bukan masalah pada bahasa daerahnya, tapi karena kebijakan yang
kurang menaruh penghargaan pada bahasa daerahnya.
Contohnya, sejak PAUD (pendidikan
usia dini), play grup, TK kecil dan besar, bahasa apa yang diperkenalkan dan
diajari oleh gurunya? Anak pada usia dini bukannya diperkenalkan dan diajari
bahasa daerah, tapi bahasa asing. Ini yang membuat mengapa anak tak akrab
dengan bahasa daerahnya sendiri.
Pada masa usia anak-anak ini,
menurut sosiolog Berger, internalisasi primer (yang paling awal) sejak bayi
hingga mengenal sekolah merupakan sesuatu yang paling diingat dan melekat dalam
dirinya.
Oleh karena itu, pada masa
internalisasi primer ini adalah masa yang harus diperkenalkan dan diajari
tentang kedaerahan dan keindonesiaan, agar anak terbangun rasa cintanya pada
bumi pertiwinya.
Imej bahasa daerah sebagai bahasa
yang kurang menarik, kurang penting, dan sulit ini sebenarnya mungkin
diakibatkan oleh kesalahan strategi dalam memperkenalkan dan mempelajari bahasa
daerah sendiri yang selama ini kurang dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi
pembentukan kepribadian dan jatidiri anak. Padahal, kalau kita mau jujur,
bahasa daerah dan juga sastra daerahnya sangat kaya dengan nilai kearifan
lokal, budi pekerti, dan nilai-nilai humanitas lainnya yang amat dibutuhkan
oleh anak.
Meninggalkan bahasa daerah,
dengan tak mencantumkan pelajaran bahasa daerah dalam Kurikulum Nasional 2013,
amat disayangkan, karena nantinya siswa bisa tak menghargai budaya kita
sendiri.
Sebenarnya, persoalan bukan
terletak pada bahasa daerah itu sendiri, tapi pada cara kita yang kurang dapat
memperkenalkan dan mengajarkan bahasa daerah dengan baik kepada siswa. Termasuk
pengajaran bahasa daerah selama ini lebih berorientasi penghafalan (kognitif),
dan kurang banyak melakukan pembelajaran dengan membaca dan menulis (afektif,
psikomotorik).
Akibatnya, anak menjadi kurang
tertarik serta kurang mengetahui bahasa dan sastra daerahnya sendiri. Apalagi,
tidak adanya dukungan serius dari berbagai pihak untuk pemberdayaan dan
pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Putera
Manuaba ;
Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
SUARA
KARYA, 26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi