Sebuah gedung dapat berdiri tegak
manakala dinding dan atapnya didirikan dengan bertumpu pada landasan yang
kokoh. Apabila landasannya rapuh, apalagi jika gedung itu tidak bertumpu pada
fondasi yang semestinya maka gedung tersebut akan rapuh dan mudah roboh.
Demikian pula pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan dengan landasan yang
kokoh, maka wujudnya pun akan mantap serta relatif tidak akan terjadi
kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan. Dengan begitu, diharapkan praktik
pendidikan menjadi efisien, efektif, dan relevan dengan kebutuhan individu
serta masyarakat.
Di samping harapan ideal akan
rencana-rencana pendidikan tersebut, ada hal terselubung yang sering tidak
disadari oleh kalangan dunia pendidikan. Yakni, mengenai suatu tindakan
eksploitasi dalam sebuah proses pendidikan, di mana para peserta didik dan para
pendidik sering kali menjadi korban.
Fenomena eksploitasi adalah
keadaan di mana sumber daya dipaksa untuk memenuhi target dan tujuan tertentu.
Dalam dunia pendidikan, sumber daya dimaksud tentu saja adalah seluruh potensi
yang mendukung terjadinya proses pembelajaran. Mulai dari murid, guru, gedung
sekolah, silabus, hingga tukang kebun sekolah, dan lain-lain.
Pemerintah sebagai pihak yang
paling berwenang dalam menyusun kebijakan-program pendidikan melalui peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat - sebagaimana dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan - dalam realitanya, pemerintah
kerap terlihat berlebihan. Pemerintah cenderung banyak menuntut para peserta
didik maupun para pendidik untuk mencapai target-target pendidikan tertentu.
Tuntutan itu acap kali tanpa
disertai dengan diselenggarakannya fasilitas pendidikan yang memadai. Paradigma
pendidikan yang mengedepankan target yang terlalu tinggi tanpa dibarengi dengan
perangkat dan infra-supra strukturnya, sebenarnya dapat dikatakan sebuah bentuk
eksploitasi pendidikan. Kesalahan paradigma itu tentu saja secara tidak
langsung sudah berlaku dan diterapkan selama ini.
Tujuan pendidikan, tidak lain
adalah sebagai sarana mengekspresikan jiwa kritis dan mengeksplorasi potensi
para peserta didik. Perlu diingat kembali, bahwa hal-hal penting dalam dunia
pendidikan adalah wahana pengembangan bakat dan minat dalam pembentukan jati
diri/karakter manusia. Seperti teori yang dilontarkan oleh ahli Psikologi
Pendidikan asal Amerika, Benyamin S Bloom yang menyatakan bahwa tujuan
pendidikan itu sesungguhnya akan mengarah pada pengembangan dan pembentukan
aspek-aspek: kognitif (pengetahuan), afektif (perasan, mental, sikap-perilaku)
dan psikomotorik (kemampuan fisik, ketrampilan motorik).
Bahwa setiap anak didik yang
meski memiliki umur yang rata-rata sama, tetapi sangat mungkin memiliki
kondisi-kesiapan yang berbeda dalam menerima dan mengembangkan bakat yang ada
di dalam dirinya.
Jadi, pada hakikatnya, seorang
peserta didik itu mempunyai potensi yang berbeda-beda, kemampuan yang khas, dan
karakteristik kepribadian yang tidak persis sama dengan peserta didik lainnya.
Sikap
Kooperatif
Perlu disadari, jika anak yang
mendapat stimulan yang berlebihan (overstimulasi), maka malah akan menjadikan
anak itu sulit atau tidak mampu bersikap kooperatif. Misalnya, anak akan
bersikap membangkang, melawan, dan sering menjadi pemberontak. Jadi menjadi
jelas, bahwa overstimulasi atau stimulasi yang berlebihan itu tidak baik bagi
anak karena akan mempengaruhi perkembangan anak.
Adanya pembedaan kelas
berdasarkan prestasi misalnya, meskipun dapat dikatakan itu baik untuk
perkembangan kemampuan motorik dan kognitifnya, namun perlu juga diperhatikan
dari segi emosi dan psiko-sosial (afektif).
Dipahami bahwa dari aspek
emosional, pembedaan-pembedaan itu cenderung akan memicu kesenjangan antar
anak. Anak akan berpikir bahwa dirinya diperlakukan berbeda terhadap anak yang
lain. Untuk itu, metode pembagian kelas dalam rangka pengembangan kognitif
peserta didik perlu diimbangi dan dikaitkan dengan analisa dan pertimbangan
emosional anak. Dengan begitu, perkembangan anak diharapkan seimbang.
Maka, menjadi jelas, bahwasanya
paradigma yang melahirkan metode-metode dalam proses mendidik adalah persoalan
yang perlu diwaspadai. Paradigma yang melihat anak didik sebegai objek
pendidikan saja perlu dikoreksi kembali. karena dengan paradigma tersebut telah
menimbulkan metode-metode yang tidak tepat dalam pencapaian perkembangan
peserta didik.
Seperti, dengan adanya
overstimulasi yang menimbulkan penyimpangan prilaku pada anak. Meningkatkan
kewaspadaan memang menjadi kebutuhan terus menerus, apalagi dalam dunia
pendidikan sebagai penentu akan kehidupan bangsa di masa depan.
Sumasno
Hadi ;
Master
Filsafat UGM,
Dosen
Sendratasik FKIP Unlam Banjarmasin
SUARA
KARYA, 26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi