”Idealnya, berbagai ’’penyimpangan’’ terkait
penyelenggaraan RSBI itu kita perbaiki tanpa harus membunuhnya"
SEPERTI nasib jabang Tetuka yang begitu lahir
harus menghadapi perang dahsyat Bharatayuda. Dia cepat tumbuh dewasa karena
digodok di Kawah Candradimuka. Dia memang sakti lantaran dukungan semua ajia
mantra para leluhurnya. Tapi akhirnya dia mati muda dengan luka sekujur tubuh.
Begitulah gambaran kelahiran rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI)
yang harus mati muda penuh luka akibat godam palu Mahkamah Konstitusi (MK)
Ada tiga argumen yang menjadi basis perlunya
mendirikan RSBI. Pertama; salah satu strategi mendorong percepatan peningkatan
mutu pendidikan di aras sekolah. Ia diharapkan menjadi model sekolah di daerah
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kedua; kelahirannya berangkat dari keprihatinan tentang banyak
anak Indonesia yang harus dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih baik, yang tentu saja menguras devisa.
Ketiga; pada era global banyak perusahaan
multinasional beroperasi di Indonesia, mengambil keuntungan dari sumber daya
alam tapi anak-anak kita sulit mengakses untuk bisa berkarier pada perusahaan
tersebut yang mensyaratkan standar kompetensi yang tidak mungkin bisa dipenuhi
oleh lulusan pendidikan kita.
Menilik tujuan awal itu, sejatinya tak ada yang
salah dengan RSBI. Tujuan baik butuh metode pencapaian yang baik pula. Tapi ada
dua hal yang bisa menjadi tilikan mengapa model sekolah itu harus mati.
Pertama; meskipun bertujuan baik, landasan hukum kehadirannya kurang kokoh,
bahkan bertabrakan dengan spirit undangundang di atasnya. Kedua; terjadi
penyimpangan dalam manajemen operasional penyelenggaraan sehingga model sekolah
itu berkesan kapitalistik dan liberal.
Kapitalistik-Liberal
Tujuan-tujuan baik yang menjadi spirit
kehadirannya kurang ditopang analisis kuat untuk melahirkan rujukan
perundang-undangan sebagai pijakan operasional. Padahal UUD 45 mengamanatkan
pemerintah bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya layanan
pendidikan bermutu bukan hanya untuk mereka yang berada di RSBI tapi untuk semua siswa di seluruh sekolah.
Argumen ini dikukuhkan palu MK.
Juga tentang penggunaan Bahasa Inggris sebagai
pengantar jelas bertabrakan dengan Pasal 36
UUD 45, kendati ruang publik kita saat ini penuh sesak dengan bahasa
asing. Kemunculan kesan liberalistis dan kapitalis bermula dari pemberian
kewenangan kepada pihak sekolah untuk menerima; memungut sumbangan dari orang
tua siswa. Meskipun berulangkali dikatakan pemberian sumbangan tak dikaitkan
dengan penerimaan peserta didik, nyatanya tak ada kontrol jelas.
Juga keleluasaan pihak sekolah menentukan besaran
pungutan dan cara pemungutan telah menguatkan kesan kapitalis dan liberalistis.
Celakanya, pemberian kewenangan melakukan pungutan kurang dibarengi dengan
akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran. Fakta inilah yang menjadi
salah satu amunisi ICW menggugat lewat MK.
Saat sebagian besar sekolah masih terseok-seok
kekurangan sarana dan prasarana, RSBI sudah tampil dengan gedung megah, ruangan
ber-AC, perangkat komputer dan akses wifi. Ditambah dengan berseliwerannya
mobil-mobil berstiker RSBI; jelas ini menimbulkan antipati. Itulah sebabnya
saat MK mengetuk palu, mereka yang tak suka kepada RSBI langsung sujud syukur
dan membuat tumpeng. Seburuk itukah citra RSBI sehingga layak dibenci dan
disyukuri kematiannnya?
Pelajaran
Menarik
Satu-satunya hal yang pantas diratapi adalah
kesadaran kolektif kita atas perubahan. Kita ternyata termasuk orang yang
memiliki alam bawah sadar kolektif mudah mendendam dan suka menghancurkan.
Idealnya, berbagai ’’penyimpangan’’ terkait penyelenggaraan RSBI itu kita
perbaiki tanpa harus membunuhnya.
Kita bisa memperbaiki atau menggati penggunaan
Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, meniru pola Pondok Gontor yang sudah
puluhan tahun membekali santri dengan penguasaan Bahasa Inggris melalui
strategi English Day? Kenapa kebencian itu membutakan kebaikan.
Bangga dan puas bila bisa menghancurkan bukanlah
sifat baik, mestinya yang harus dikembangkan adalah sifat positif untuk selalu
membangun dan menyempurnakan.
Saat ini kualitas hampir 90% sekolah kita masih
setara dengan standar pelayanan minimal (SPM) sehingga kekuatan pembiayaan dan
pengerahan SDM pendidikan sangat tidak memadai untuk bisa secara serentak
mendorong sekolah-sekolah tersebut mencapai peningkatan mutu yang signifikan.
Tapi keputusan MK memberikan sejumlah pelajaran
menarik. Pertama; banyak regulasi yang menjadi pijakan penyelenggaraan RSBI,
seolah-olah ditimpakan sepihak sebagai kesalahan pemerintah, dan itu tidak
adil. Model sekolah itu adalah konsekuensi dari UU Sisdiknas yang disusun
bersama dan disahkan oleh DPR. Bila sekarang banyak anggota parlemen
berkomentar miring, tentu tidak etis;
Kedua; bagi manajer RSBI, hal ini bisa menjadi
momentum introspeksi bahwa tiap amanah harus dipertanggungjawabkan secara
akuntabel dan transparan. Ketiga; pemerhati pendidikan perlu terus mengkritisi
kebijakan pendidikan, tidak dalam niatan menghancurkan tapi membangun dan
menyempurnakan supaya menjadi lebih baik.
Nugroho
;
Dosen
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA
MERDEKA, 26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi