Tampilkan postingan dengan label DPR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DPR. Tampilkan semua postingan

Kesadaran Hukum Kemendikbud


Setelah dihujani kritik tajam tentang kurikulum 2013, Kemendikbud dikritik lagi sebagai kementerian dengan kesadaran hukum paling rendah (Utomo Dananjaya, Kompas, 1/2, dalam opininya, ”Pendidikan dan Konstitusi”).

Wajar bila kementerian atau lembaga yang banyak bersinggungan dengan urusan masyarakat luas mendapat sorotan, kritik, bahkan tuntutan hukum. Kemendikbud akhir-akhir ini sering menjadi obyek kritik, tetapi tak berarti ia paling buruk atau lemah kesadaran hukumnya.

Kemendikbud mengurus hal yang bersinggungan hampir dengan setiap orang atau keluarga. Kita tahu banyak kementerian yang jarang diberitakan dan dibicarakan, bahkan kita tak tahu apa yang mereka lakukan. Berapakah dari kita tahu yang dilakukan Kementerian Koperasi atau Kementerian Sosial?

Begitu juga personel menteri yang paling banyak melakukan perubahan (meski kadang tak berhasil), pasti dia paling sering dihujani komentar dan kritik. Mau aman dari kritik? Duduk manis. Namun, bukan itu yang dibutuhkan negara ini. Lebih baik berbuat sesuatu yang diyakini benar meski banyak dikritik.

Tidak Tepat

Ketika Utomo menyatakan Kemendikbud adalah kementerian yang paling lemah kesadaran hukumnya, kita tahu pernyataan itu tidak tepat. Kita bisa membandingkannya dengan kementerian lain yang tidak mendapat tuntutan hukum dari masyarakat atau kementerian lain yang tak kedengaran kabar apa yang ia lakukan. Mungkin di sana pelanggaran hukum lebih besar.

Mestinya, fakta-fakta dari lembaga setingkat harus dilihat lebih akurat. Kasus yang disampaikan dalam tulisan itu sebagai bukti kerendahan kesadaran hukum pun tak tepat. Pertama, pemerintah (mungkin juga DPR) tak melaksanakan amanat konstitusi, tak mengalokasikan 20 persen APBN untuk dana pendidikan. Jelas, ini domain pemerintah pusat, bukan Kemendikbud. Mengapa Kemendikbud yang disalahkan? Kedua, kasus pembubaran pelaksanaan ujian nasional (UN) yang sudah sampai ke tingkat kasasi. Kalau MA menolak adanya UN, apakah di sekolah tak akan dilakukan evaluasi untuk menentukan kelulusan? Lalu, bagaimana bentuk jaminan mutu pendidikan di sekolah?

Tentu Kemendikbud punya banyak alasan melakukan itu. Tak semua siswa atau masyarakat menolak UN. Fakta bahwa UN punya kelemahan, itu harus diakui dan akan terjadi jika diganti dengan sistem lain. Ketika Kemendikbud punya ide UN dibuat beda untuk Jawa dan luar Jawa, buru-buru satu daerah dari Indonesia timur protes bahwa mereka tidak mau dikelasduakan.

Dalam hal RSBI, mestinya harus dipilah antara UU dan pelaksanaan. Dalam pelaksanaan, banyak sekolah berkategori RSBI memungut biaya mahal, mestinya bukan UU-nya yang disalahkan. Benarkah pemerintah memberi dana dan mengistimewakan RSBI? Mungkin benar, tetapi rasanya wajar sekolah bagus mendapat dana lebih karena memang dana diberikan berdasarkan kriteria mutu.

Itu juga terjadi dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Universitas bermutu akan cenderung dapat bantuan lebih besar, baik melalui penelitian maupun sumbangan khusus untuk, misalnya, dapat akreditasi internasional. Kenapa tak semua perguruan tinggi negeri mendapatkannya? Tak benar RSBI membatasi rakyat miskin sekolah di sana. Semua siswa bisa masuk asal memenuhi syarat akademis. Kalau di RSBI Jakarta terjadi pungutan besar, di Surabaya itu tak terjadi. Ini jelas bukan soal UU, tetapi implementasi. Yang dituntut mestinya bukan UU-nya.

Untuk kasus lain bisa juga diberikan argumentasi akademik. Kita perlu melengkapi kerangka berpikir kita bahwa pengadilan tak selalu mengambil keputusan cukup obyektif. Pengadilan tidak sedang mengadili kasus pidana atau perdata yang lebih jelas hitam putihnya. Mengadili kebijakan dan aturan tentu sangat bergantung pada kondisi persidangan, misalnya saksi ahli yang diundang. Jika saksi yang didatangkan tak obyektif, putusan yang diambil bisa tak obyektif. Masyarakat juga perlu menimbang apakah suatu kebijakan perlu diajukan ke pengadilan dari sisi kemanfaatan dan kerugiannya bagi masyarakat luas.

Budi Santosa ; 
Ketua Jurusan Teknik Industri ITS
KOMPAS, 23 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Kurikulum 2013, Modal Anak Bangsa untuk Bersaing


Jika tidak ada aral, implementasi kurikulum 2013 di tingkat satuan pendidikan secara bertahap akan dilakukan pada awal tahun pelajaran Juli 2013.Kini berbagai persiapan sudah dilakukan.

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pengantar Sidang Kabinet, Senin, 18 Februari 2013, juga menyatakan perlunya sosialisasi kurikulum baru yang akan dilaksanakan pada tahun pelajaran 2013. Kata Presiden, sampaikan bahwa yang kita didik dan kita siapkan bukan hanya manusiamanusia Indonesia yang cerdas semata,tapi juga yang tangguh mentalnya, sehat jasmaninya, toleran, dan rukun terhadap saudaranya yang berbeda (SINDO,19/2).

 Sebelumnya Wakil Presiden Boediono, dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, meminta agar pelaksanaan kurikulum jangan ditunda. Jika pelaksanaannya telah,yang rugi adalah peserta didik, anak bangsa yang kelak akan memimpin negeri ini, saat Kemerdekaan Indonesia memasuki usia 100 tahun pada 2045. Memang secara substansial, baik guru, orang tua, maupun siswa tidak ada yang keberatan terhadap kurikulum 2013.

 Riak kecil ada perbedaan yang selama ini mengemuka diyakini, cepat atau lambat, akan selesai. Apalagi secara politis panitia kerja kurikulum di DPR, yang terdiri atas unsurunsur fraksi, sebagian besar telah menyatakan menerima kurikulum 2013. Dua organisasi besar penyelenggara pendidikan di tingkat swasta pun, Muhammadiyah dan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, tegas menyatakan siap mengimplementasikan kurikulum 2013.

Respons Positif

 Jika ada kurikulum yang disiapkan melalui uji publik dan melibatkan banyak pakar serta lintas direktorat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mungkin baru terjadi pada kurikulum 2013. Karena itu, wajar jika masyarakat merespons positif langkah itu.

 Masyarakat berharap kurikulum 2013 dapat benar-benar mendorong peserta didik untuk mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelajaran, sebagaimana tujuan awal perubahan kurikulum ini. Inilah yang disebut kurikulum dengan pendekatan scientific (ilmiah).

 Jika boleh menggambarkan suasana di lingkungan Kemendikbud, mereka yang terlibat di dalam penyiapan kurikulum 2013 pun mengakui bahwa baru kali ini sebuah kurikulum disiapkan dengan matang dan terstruktur, melibatkan bukan hanya banyak narasumber dan pakar, melainkan juga lintas direktorat.

Penyederhanaan

 Inti dari kurikulum 2013 ada pada upaya penyederhanaan dan tematik- integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu, kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan sebagai modal anak bangsa untuk bersaing.

 Kurikulum 2013 sedikit-banyak juga akan menjawab “kegelisahan” orang tua selama ini yang sering menyatakan bahwa para pelajar sekarang lebih berat bukunya ketimbang timbangan berat badannya. Itulah sebabnya, penyederhanaan menjadi salah satu kata kuncinya. Di jenjang sekolah dasar (SD), dari sepuluh mata pelajaran kini menjadi enam, disekolah menengah pertama (SMP) dari sebelumnya dua belas menjadi sepuluh, sedang di sekolah menengah atas (SMA) tidak lagi mengenal penjurusan.

 Tentu pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, melainkan juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), maupun hasil Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS).

 Terhadap hasil PISA misalnya, hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3, sementara negara lain banyak yang sampai level 4, 5, bahkan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama,interpretasi dari fakta ini hanya satu bahwa yang diajarkan siswa di Indonesia berbeda dengan tuntutan zaman.

 Kajian terhadap isi mata pelajaran pun dilakukan dan ditemukan fakta ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan dicerna peserta didik. Penyederhanaan jumlah mata pelajaran juga diikuti dengan penambahan jam pelajaran. Ini untuk peningkatan efektivitas pembelajaran.

 Penambahan jam pelajaran ini rasionalitasnya adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), memerlukan penambahan jam pelajaran. Di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhirakhir ini juga ada kecenderungan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negaranegara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat.

Peran Guru

 Ada pertanyaan bernada khawatir terkait dengan implementasi kurikulum 2013. Apakah sedemikian mendesak sehingga tahun pelajaran 2013 kurikulum itu sudah harus diterapkan? Menjawab kekhawatiran itu, sedikitnya ada tiga persiapan yang sudah masuk agenda kementerian untuk implementasi kurikulum 2013.

 Pertama, terkait dengan buku pegangan dan buku murid. Pemerintah kini sedang menyiapkan buku induk untuk pegangan guru dan murid yang tentu saja dua buku itu berbeda konten satu dan lainnya.

 Kedua, pelatihan guru. Karena implementasi kurikulum dilakukan secara bertahap, pelatihan kepada guru pun dilakukan bertahap pula. Jika implementasi dimulai untuk kelas satu dan empat di jenjang SD dengan 30% dari populasi SD,dan kelas tujuh di SMP,serta kelas sepuluh di SMA/SMK, tentu guru yang akan diikutkan pelatihan pun tidak seluruhnya.

 Ketiga, tata kelola.Kementerian sudah pula memikirkan terhadap tata kelola di tingkat satuan pendidikan. Dengan kurikulum 2013, tata kelola pun akan berubah. Sebagai misal administrasi buku rapor. Karena empat standar dalam kurikulum 2013 mengalami perubahan, buku rapor pun harus berubah.

 Persoalannya,jangan sekalikali persoalan implementasi kurikulum dihadapkan pada stigma persoalan yang kemungkinan akan menjerat kita untuk tidak mau melakukan perubahan. Padahal kita sepakat, perubahan itu sesuatu yang niscaya harus dihadapi mana kala kita ingin terus maju dan berkembang. Bukankah melalui perubahan kurikulum ini sesungguhnya kita ingin membeli masa depan anak didik kita dengan harga sekarang.

 Pada titik ini pulalah, peran guru menjadi sangat-sangat penting. Guru dan kurikulum dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Satu saja tidak ada, tidak memiliki nilai apa-apa. Pada diri guru sedikitnya ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013 yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik (keilmuan), kompetensi sosial, dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan.

 Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemungkinan terjadi perubahan. Itu sebabnya, guru ke depan dituntut tidak hanya cerdas, tapi juga adaptif terhadap perubahan. Semoga!


Sukemi ;  
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
SINDO, 22 Februari 2013


Selengkapnya.. »»  

Marifat Budi Pekerti Ki Hadjar


SOSIALISASI Kurikulum 2013 semakin gencar dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Model sosialisasinya pun beraneka ragam. Ada pimpinan Kemendikbud yang turun ke daerah dan ada pimpinan birokrasi pendidikan di daerah yang diundang ke Jakarta untuk diberi sosialisasi.

Wakil Presiden Boediono dikabarkan mendesak agar Kurikulum 2013 yang sarat dengan pendidikan karakter dan pendidikan budi pekerti itu segera diimplementasikan di sekolah (dan madrasah).

Mohammad Nuh sendiri selaku menteri pendidikan menyatakan bahwa Kemendikbud bertekad menjalankan Kurikulum 2013 seoptimal mungkin. Nanti para siswa diberi pemahaman agama dan budi pekerti yang baik. Jangan sampai kelak ada keluhan anak-anak yang dimasukkan ke sekolah justru bertambah nakal.

Konsep Ki Hadjar

Bicara budi pekerti tidak bisa dilepaskan dari Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Sejak Ki Hadjar mendirikan Tamansiswa pada 1922, budi pekerti menjadi ''educational mark'' Ki Hadjar.

Dalam majalah Poesara edisi Februari 1954, Ki Hadjar menyatakan bahwa budi pekerti wajib disampaikan kepada siswa oleh semua guru. ''Pengajaran budi pekerti sebaiknya diberikan secara spontan oleh sekalian pamong; jadi menurut adanya setiap kesempatan dan tidak harus menurut daftar pelajaran. Pendidikan budi pekerti harus diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik ia mengajarkan bahasa, sejarah, kebudayaan, maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan sebagainya,'' tulisnya. Untuk menjabarkan konsepnya, Ki Hadjar menyampaikan empat tingkat dalam menanamkan budi pekerti kepada anak didik. Yaitu, syari'at, hakikat, tarikat, dan makrifat.

Tingkat syari'at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK dan RA (raudhatul atfal). Adapun metodenya adalah membiasakan berperilaku baik menurut norma masyarakat. Anak TK dan RA tidak perlu diberi teori tentang budi pekerti, tapi langsung dibiasakan berperilaku yang baik menurut ukuran umum. Misalnya, mengucapkan salam ketika bertemu teman, menyatakan hormat ketika bertemu guru, dan mencium tangan kalau berhadapan dengan orang tua.

Tingkat hakikat cocok diberikan kepada anak berusia di atasnya, dalam hal ini murid SD dan MI. Anak tetap dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, tapi dalam waktu bersamaan mulai perlu diberi pengertian sederhana mengenai mengapa mereka harus berbuat demikian. Contohnya, selain dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka diberi pengertian tentang pentingnya mengucapkan salam itu. Misalnya, ucapan salam dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir batin antarteman.

Tingkat tarikat cocok diberikan kepada anak berusia di atasnya lagi, dalam hal ini siswa SMP dan MTs. Siswa tetap dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian mengenai pentingnya hal itu dilakukan, tapi pada waktu bersamaan disertai aktivitas pendukung yang cocok. Misalnya, bagaimana anak-anak SMP dan MTs itu berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastra ria sambil berolah budi. Contohnya, anak-anak SMP dan MTs dilatih menari ''halus'' sambil dijelaskan makna-makna gerakan di dalamnya untuk menanamkan budi pekerti.

Selanjutnya, tingkat makrifat cocok diberikan kepada anak berusia di atasnya lagi, yaitu siswa SMA, MA, dan SMK. Pemahaman dan kesadaran si anak disentuh sehingga berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan dan berpengertian, tapi berkesadaran di lubuk hati untuk melakukan hal itu. Dalam bahasa Tamansiswa, sampai tingkat ''Tringa''. Yaitu, ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan), dan nglakoni (menjalankan). Si anak mengerti maksud berperilaku baik dan perilakunya tersebut dijalankan berdasar kesadaran diri.

Mari Disempurnakan

Apakah Kurikulum 2013 yang sedang dikembangkan sudah mendasarkan, antara lain, pada konsep konkret dan layak diterapkan seperti rumusan Ki Hadjar tersebut? Entahlah. Tapi, setahu saya, tidak banyak tokoh Tamansiswa, yang didirikan Ki Hadjar, yang dilibatkan dalam pengembangannya.

Meski sosialisasi Kurikulum 2013 sudah dilakukan di mana-mana, penyempurnaannya masih dimungkinkan. Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah pernah menyatakan, Panja Kurikulum 2013 belum menerima dokumen resmi kurikulum dari Kemendikbud. Artinya, selama dokumen resmi kurikulum belum dikirim ke DPR, penyempurnaan masih terbuka untuk dilakukan.

Apakah konsep Ki Hadjar sudah diakomodasi dalam Kurikulum 2013 supaya penanaman budi pekerti di sekolah bisa dilakukan secara optimal? Entahlah! Apakah konsep Ki Hadjar sudah diakomodasi dalam Kurikulum 2013 untuk memajukan pendidikan di negara kita? Entahlah! Yang jelas, kita masih memiliki sedikit waktu untuk menyempurnakan konsep Kurikulum 2013 itu.

Ki Supriyoko ;  
Guru Besar, Wakil Ketua Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
JAWA POS, 15 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Quo Vadis Kurikulum 2013?


Dunia pendidikan nasional kembali digegerkan dengan rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk melaksanakan Kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014. Bahkan di media sosial seperti Twitter dan Facebook mulai ramai diperdebatkan dan sebagian masyarakat menentang kebijakan tersebut.

Tidak hanya itu. Kalangan lebaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti koalisi pendidikan, praktisi dan terakhir para guru besar se-Indonesia juga menyampaikan aspirasi dengan cara mengirim surat kepada Presiden SBY untuk mempertimbangkan kembali rencana Kemendikbud yang terkesan pemaksaan pelaksanaan kurikulum baru. Argumentasi yang disampaikan karena perubahan Kurikulum 2013 tidak memiliki visi dan latar belakang yang kuat, apalagi kurikulum lama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 belum dievaluasi.

Persoalannya apakah perubahan kurikulum baru ada jaminan kualitas pendidikan di Indonesia semakin membaik, biaya pendidikan semakin murah (gratis), dan setiap warga negara bisa mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 UUD 1945. Prakteknya, pendidikan di Indonesia tak pernah lepas dari faktor komersialisasi dan menjadi ladang subur koruptor di balik jubah dan toga pendidikan.

Mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Buktinya, hingga saat ini pemerintah belum mampu memberantas pungutan liar yang ada di sekolah-sekolah, begitu pula kebocoran setiap kali pelaksaan ujian nasional mulai dari jenjang pendidikan SD hingga SMU.

Apalagi saat ini, Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR yang membidangi pendidikan masih debatebel dan belum satu suara menyetujui atau tidak perubahan kurikulum 2013. Antara Panja dan pemerintah belum menyepakati poin-poin krusial dari draf kurikulum yang diajukan pemerintah. Yang lebih parah, Kemendikbud sudah mengklaim melakukan uji publik tentang kurikulum baru. Melanggar Konstitusi Sepanjang Indonesia merdeka sejak 1945, dunia pendidikan nasional sudah mengalami sembilan kali pergantian kurikulum. Itu dimulai sejak 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir 2006. Sayangnya, setiap kali terjadi pergantian kurikulum sama sekali tidak membawa perbaikan yang berarti dalam peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Tidak mengherankan setiap kali terjadi perubahan kurikulum tidak serta merta menjadikan sektor pendidikan mampu berkompetisi secara global, memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pergantian kurikulum justru menciptakan kasta-kasta dalam dunia pendidikan.

Pelaksanaan RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang belum lama ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, semakin memperjelas adanya kasta-kasta dan diskriminasi dalam dunia pendidikan yang bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Padahal, sektor pendidikan sesuai amanat UUD 1945 merupakan sektor strategis yang mendapat porsi 20 persen dari anggaran APBN. Yang lebih fantastis dari goncang-gancing kurikulum 2013 justru anggaran yang digunakan sangat besar yang semula hanya sekitar Rp 684,4 miliar, tapi secara mengejutkan membengkak menjadi Rp 1,457 triliun dengan rincian anggaran pencetakan buku sebesar Rp 1,03 triliun dan biaya pelatihan guru sebesar Rp 422 miliar. Kenaikan anggaran kurikulum 2013 tersebut seyogyanya perlu dicermati karena bukan saja berpotensi terjadi penyalahgunaan anggaran, tapi juga merugikan peserta didik jika pemerintah tetap memaksa menerapkan kebijakan tersebut.

Salah satu potensi penyalahgunaan anggaran adalah alokasi proyek buku panduan serta biaya pelatihan guru yang seringkali menggunakan modus mark up anggaran. Pasalnya, ada ruang yang sangat terbuka "permainan anggaran" sekalipun dengan dalih penyediaan paket buku disesuaikan dengan kebijakan baru dan menjadi kewajiban siswa untuk membeli sebagai salah satu sarana peningkatan kualitas pendidikan dan peserta didik di Indonesia.

Pada akhirnya pendidikan yang baik tergantung bagaimana peserta didik mampu mengikuti proses belajar mengajar serta kualitas guru yang memadai. Persoalannya, banyak sekolah-sekolah negeri masih memiliki guru-guru yang sudah tidak memadai bahkan hanya sekedar kegiatan rutinitas tanpa mampu melakukan kreasi dan memotivasi kreatifitas peserta didik untuk mampu berkompetisi. Dengan demikian dapat dipahami perbaikan mutu pendidikan di Indonesia sangat penting sebagai salah satu sarana pencerdasan anak-anak bangsa, termasuk perbaikan dan kualitas guru. Sebab, yang diperlukan sekarang ini bukanlah perubahan kurikulum, tapi perubahan budaya mengajar dan kualitas para guru.

Pemerintah juga perlu memberikan apresiasi kepada para guru untuk memotivasi semangat mengajar. Sehingga, motto pahlawan tanpa tanda jasa itu memiliki spirit dan motivasi untuk memberikan keteladanan kepada peserta didik. Bukan hanya sekedar formalitas semata. Mudah-mudahan saja tidak!

Rusmin Effendy ; 
Tenaga Ahli DPR RI
SUARA KARYA, 13 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Solusi Keuangan Pendidikan dan Riset


Pemberitaan di media akhir-akhir ini selalu menggambarkan mutu pendidikan dan riset yang rendah di Indonesia. Hasil pemeringkatan berbagai lembaga internasional selalu menunjukkan peringkat perguruan tinggi Indonesia jauh lebih rendah daripada negara tetangga di ASEAN, apalagi negara maju di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Hasil survei internasional, seperti PISA dan TIMSS, juga menunjukkan peringkat siswa-siswi kita secara keseluruhan dalam bidang sains sangat rendah. Ini menunjukkan peringkat melek sains anak-anak Indonesia sangat rendah saat ini.
Kita memang mengalami kemajuan dalam pendidikan dan riset, tetapi negara lain lebih cepat kemajuannya sehingga Indonesia tetap saja tertinggal, bahkan makin jauh tertinggal. Dalam bidang riset, kita pun tertinggal cukup jauh: peringkatnya rendah, terutama dalam publikasi ilmiah, jumlah perolehan paten, ataupun inovasi yang memberi terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Akibat pemberitaan yang demikian, semua pihak galau dengan masa depan Indonesia yang makin suram karena melemahnya kapasitas sumber daya manusia untuk bersaing di era global. Kegalauan itu terjadi di semua lini, terutama di kalangan pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan dan riset.
Masyarakat umumnya tak terlalu peduli dengan kondisi pendidikan dan riset kita yang masih lemah karena perhatian mereka habis disita kondisi ekonomi yang sangat berat. Di samping itu, mereka juga tak dapat berbuat apa-apa memperbaiki kondisi pendidikan dan riset di Indonesia. Mereka masih harus berusaha keras untuk sintas. Para pengambil kebijakan serta pelaku pendidikan dan riset, karena kegalauannya, kemudian mengungkapkan berbagai kendala yang mereka hadapi. Kendala utamanya selalu ketidakcukupan anggaran pendidikan dan riset. Mereka menyatakan, negara-negara maju sangat besar anggaran pendidikan dan risetnya sehingga dapat mencapai mutu pendidikan dan riset yang tinggi. Yang dijadikan kambing hitam adalah anggaran kurang.

Anggaran Tidak Cukup?
Seandainya benar penyebab rendahnya pendidikan dan riset adalah kurangnya anggaran, sebenarnya solusinya sangat sederhana, yakni tingkatkan anggaran, toh pemerintah punya cadangan dana yang tak kecil dan pemerintah punya hak memberi anggaran lebih besar bagi kegiatan pendidikan dan riset. Anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari anggaran nasional sesuai konstitusi, suatu peningkatan yang cukup signifikan. Namun, belum terlihat kemajuan berarti dalam peningkatan mutu pendidikan di semua lini. Mereka tetap mengeluh anggaran belum memadai karena mereka membandingkannya dengan negara maju yang anggaran pendidikannya per kapita sangat tinggi.
Untuk riset, memang anggaran pemerintah sangat terbatas saat ini, hanya sekitar 0,08 persen dari PDB. Padahal, ukuran negara maju sekitar 3 persen dari PDB. Pemerintah menargetkan anggaran riset dinaikkan menjadi 1 persen dari PDB dalam kurun lima tahun ke depan. Pendekatan yang dilakukan pengambil kebijakan dan juga pemahaman para pelaku pendidikan dan riset sangat pragmatis, yakni tambahkan anggaran, persoalannya akan selesai. Sesederhana itukah?
Kambing hitam berikutnya yang dianggap sebagai sumber rendahnya mutu pendidikan dan riset kita adalah budaya korupsi yang menggejala di semua lini. Para pengamat pendidikan menyampaikan bahwa budaya korupsi mengakibatkan kebocoran penggunaan anggaran sehingga anggaran tak mencukupi untuk penyelenggaraan pendidikan dan riset yang bermutu. Lagi-lagi anggaran kurang menjadi kambing hitam meski diakibatkan oleh korupsi. Seandainya korupsi hilang, apakah mutu pendidikan dan riset akan meningkat?

Tak Sesuai
Dari pembahasan di atas tampak jelas persoalan pendidikan dan riset bukan karena kurangnya anggaran, melainkan sistem keuangan negara yang berlaku di Indonesia tidak sesuai dengan sifat kegiatan pendidikan dan riset. Sistem yang ada saat ini tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset karena tidak ada keterkaitan langsung antara besarnya anggaran dan mutu pendidikan dan riset yang dihasilkan. Dengan sistem keuangan negara yang dianut saat ini, seberapa pun anggaran pendidikan dan riset tidak akan mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset secara signifikan. Malah, akan terjadi kebocoran dan korupsi yang lebih besar atau pemborosan karena pembelanjaan yang berlebihan bagi hal-hal tidak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dan riset.
Sistem yang dianut saat ini tidak berbasis kepada capaian kinerja. Artinya, tidak ada insentif atau disinsentif bagi institusi pelaku pendidikan dan riset apabila berhasil atau gagal menjalankan amanahnya meningkatkan mutu. Sistem yang ada saat ini menekankan pada penyerapan anggaran yang tertib administratif setiap tahun anggaran.
Anggaran disusun pemerintah bersama DPR untuk setiap tahun anggaran secara rinci dalam mata anggaran baku, yaitu anggaran rutin yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, lain-lain; dan anggaran pembangunan yang wujudnya adalah pembangunan fisik. Tahun anggaran secara resmi dimulai tanggal 1 Januari tahun berjalan, tetapi pada kenyataannya anggaran baru tersedia sekitar April karena harus melalui berbagai macam revisi akibat adanya perubahan asumsi dan sebagainya. Pada pertengahan Desember tahun berjalan, institusi harus menyelesaikan pertanggungjawaban keuangan beserta bukti-bukti administratif yang sah.
Pembakuan mata anggaran yang demikian dan mekanisme penganggaran seperti di atas hanya cocok untuk proyek pembangunan fisik yang jelas terukur volume, spesifikasi, standar, prosedur, penahapan, termin, dan lainnya. Pendidikan dan riset tidak dapat disamakan dengan pembangunan fisik karena pendidikan dan riset adalah investasi nonfisik jangka panjang yang tak dapat diukur kemajuannya secara fisik setiap tahun anggaran. Bahwa penggunaan anggaran pemerintah harus akuntabel, ini dapat dicapai dengan menggunakan pola penganggaran berbasis capaian kinerja, ketika mata anggaran tidak dibakukan dan penganggarannya dilakukan secara multitahun dalam bentuk blok.
Dengan penganggaran yang demikian, peningkatan mutu pendidikan dan riset akan tercapai meskipun anggarannya tidak terlalu besar karena akan terjadi efisiensi secara alamiah dan kemampuan inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan riset akan terbentuk.Reformasi sistem keuangan negara harus segera dilakukan, tidak lagi menggunakan pola mata anggaran baku tahunan yang hanya cocok untuk proyek pembangunan fisik, melainkan menggunakan pola penganggaran berbasis capaian kinerja multitahun sehingga setiap tahun anggaran diberikan dalam bentuk blok. Insentif diberikan apabila capaian kinerja melampaui target, dan sebaliknya disinsentif apabila capaian kinerja di bawah target. Untuk menjamin akuntabilitas publik, capaian kinerja beserta anggaran yang diberikan harus dapat diketahui masyarakat sehingga masyarakat pun dapat melakukan pengawasan. Perlu ditekankan lagi bahwasanya pendidikan dan riset adalah investasi nonfisik jangka panjang yang memerlukan sistem penganggaran yang tepat.

Satryo Soemantri Brodjonegoro ; 
Dirjen Dikti (1999-2007);
Guru Besar ITB; Anggota AIPI
KOMPAS, 02 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Momentum Mengintrospeksi RSBI


”Idealnya, berbagai ’’penyimpangan’’ terkait penyelenggaraan RSBI itu kita perbaiki tanpa harus membunuhnya"

SEPERTI nasib jabang Tetuka yang begitu lahir harus menghadapi perang dahsyat Bharatayuda. Dia cepat tumbuh dewasa karena digodok di Kawah Candradimuka. Dia memang sakti lantaran dukungan semua ajia mantra para leluhurnya. Tapi akhirnya dia mati muda dengan luka sekujur tubuh. Begitulah gambaran kelahiran rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yang harus mati muda penuh luka akibat godam palu Mahkamah Konstitusi (MK)

Ada tiga argumen yang menjadi basis perlunya mendirikan RSBI. Pertama; salah satu strategi mendorong percepatan peningkatan mutu pendidikan di aras sekolah. Ia diharapkan menjadi model sekolah di daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kedua; kelahirannya  berangkat dari keprihatinan tentang banyak anak Indonesia yang harus dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, yang tentu saja menguras devisa.

Ketiga; pada era global banyak perusahaan multinasional beroperasi di Indonesia, mengambil keuntungan dari sumber daya alam tapi anak-anak kita sulit mengakses untuk bisa berkarier pada perusahaan tersebut yang mensyaratkan standar kompetensi yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh lulusan pendidikan kita. 

Menilik tujuan awal itu, sejatinya tak ada yang salah dengan RSBI. Tujuan baik butuh metode pencapaian yang baik pula. Tapi ada dua hal yang bisa menjadi tilikan mengapa model sekolah itu harus mati. Pertama; meskipun bertujuan baik, landasan hukum kehadirannya kurang kokoh, bahkan bertabrakan dengan spirit undangundang di atasnya. Kedua; terjadi penyimpangan dalam manajemen operasional penyelenggaraan sehingga model sekolah itu berkesan kapitalistik dan liberal.

Kapitalistik-Liberal

Tujuan-tujuan baik yang menjadi spirit kehadirannya kurang ditopang analisis kuat untuk melahirkan rujukan perundang-undangan sebagai pijakan operasional. Padahal UUD 45 mengamanatkan pemerintah bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya layanan pendidikan bermutu bukan hanya untuk mereka yang berada  di RSBI tapi untuk semua siswa di seluruh sekolah. Argumen ini dikukuhkan palu MK.

Juga tentang penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar jelas bertabrakan dengan Pasal 36  UUD 45, kendati ruang publik kita saat ini penuh sesak dengan bahasa asing. Kemunculan kesan liberalistis dan kapitalis bermula dari pemberian kewenangan kepada pihak sekolah untuk menerima; memungut sumbangan dari orang tua siswa. Meskipun berulangkali dikatakan pemberian sumbangan tak dikaitkan dengan penerimaan peserta didik, nyatanya tak ada kontrol jelas.

Juga keleluasaan pihak sekolah menentukan besaran pungutan dan cara pemungutan telah menguatkan kesan kapitalis dan liberalistis. Celakanya, pemberian kewenangan melakukan pungutan kurang dibarengi dengan akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran. Fakta inilah yang menjadi salah satu amunisi ICW menggugat lewat MK. 

Saat sebagian besar sekolah masih terseok-seok kekurangan sarana dan prasarana, RSBI sudah tampil dengan gedung megah, ruangan ber-AC, perangkat komputer dan akses wifi. Ditambah dengan berseliwerannya mobil-mobil berstiker RSBI; jelas ini menimbulkan antipati. Itulah sebabnya saat MK mengetuk palu, mereka yang tak suka kepada RSBI langsung sujud syukur dan membuat tumpeng. Seburuk itukah citra RSBI sehingga layak dibenci dan disyukuri kematiannnya?

Pelajaran Menarik

Satu-satunya hal yang pantas diratapi adalah kesadaran kolektif kita atas perubahan. Kita ternyata termasuk orang yang memiliki alam bawah sadar kolektif mudah mendendam dan suka menghancurkan. Idealnya, berbagai ’’penyimpangan’’ terkait penyelenggaraan RSBI itu kita perbaiki tanpa harus membunuhnya.

Kita bisa memperbaiki atau menggati penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, meniru pola Pondok Gontor yang sudah puluhan tahun membekali santri dengan penguasaan Bahasa Inggris melalui strategi English Day? Kenapa kebencian itu membutakan kebaikan.

Bangga dan puas bila bisa menghancurkan bukanlah sifat baik, mestinya yang harus dikembangkan adalah sifat positif untuk selalu membangun dan menyempurnakan. 
Saat ini kualitas hampir 90% sekolah kita masih setara dengan standar pelayanan minimal (SPM) sehingga kekuatan pembiayaan dan pengerahan SDM pendidikan sangat tidak memadai untuk bisa secara serentak mendorong sekolah-sekolah tersebut mencapai peningkatan mutu yang signifikan.

Tapi keputusan MK memberikan sejumlah pelajaran menarik. Pertama; banyak regulasi yang menjadi pijakan penyelenggaraan RSBI, seolah-olah ditimpakan sepihak sebagai kesalahan pemerintah, dan itu tidak adil. Model sekolah itu adalah konsekuensi dari UU Sisdiknas yang disusun bersama dan disahkan oleh DPR. Bila sekarang banyak anggota parlemen berkomentar miring, tentu tidak etis;

Kedua; bagi manajer RSBI, hal ini bisa menjadi momentum introspeksi bahwa tiap amanah harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan. Ketiga; pemerhati pendidikan perlu terus mengkritisi kebijakan pendidikan, tidak dalam niatan menghancurkan tapi membangun dan menyempurnakan supaya menjadi lebih baik.

Nugroho ; 
Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 26 Januari 2013


Selengkapnya.. »»  

Anggaran dan Pelapukan Pendidikan


Nelson Mandela pernah menuturkan bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah wajah dunia.

Singapura, meski tak memiliki sumber kekayaan alam yang memadai—lebih kecil daripada Pulau Samosir di tengah Danau Toba, bahkan tak memiliki sumber air minum, menjadi negara yang termasuk paling sejahtera dan maju di dunia. Sebab, negara ini telah berhasil mengelola pendidikannya dengan baik.

Demikian pula Korea Selatan. Di awal 1970-an, pendapatan per kapita Korsel di bawah 100 dollar AS, sementara Filipina 700 dollar AS. Saat ini pendapatan per kapita Korsel sudah 28.900 dollar AS, sedangkan Filipina hanya 3.800 dollar AS (World Fact, 2011). Keberhasilan Korea memajukan pendidikan telah mengantarnya dari tujuh kali lebih miskin menjadi tujuh kali lebih sejahtera daripada Filipina dalam waktu yang relatif singkat.

Atas kesadaran pentingnya memajukan pendidikan, sejak 2002 Indonesia telah menetapkan anggaran pendidikannya minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Komitmen ini sungguh luar biasa karena diambil di tengah kekisruhan tatanan politik global sebagai dampak tragedi 11 September 2001.

Unicef (2002) melaporkan, pascatragedi 11 September, AS, Rusia, dan China hanya mengalokasikan 2 persen anggarannya untuk pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1 persen. Sementara anggaran untuk militer rata-rata mendekati 40 persen. Kecenderungan sama juga terjadi di negara-negara Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Eropa.

Proses Pelapukan
Luar biasa! Indonesia berani memilih jalan berbeda demi masa depan anak-anak bangsa. Hanya saja, sungguh patut disayangkan, meski anggaran pendidikan yang dialokasikan begitu besar, output-nya secara keseluruhan amat menyedihkan. Bahkan, jauh lebih baik ketika anggaran pendidikan belum sebesar saat ini. Kenyataan ini mengindikasikan adanya proses pelapukan pengelolaan pendidikan nasional. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir terlihat kecenderungan yang membahayakan.

Pertama, pendidikan nasional kelihatannya gagal berkontribusi bagi kemajuan keilmuan dan peradaban modern. Sejak 1985 hingga 2007, penetapan Hak atas Kekayaan Intelektual di seluruh perguruan tinggi Indonesia hanya 419. Padahal, jumlah pendidikan tinggi di Tanah Air, yang sangat berpotensi menghasilkan karya-karya ilmiah bagi pemajuan pembangunan bangsa dan peradaban modern umat manusia, mendekati 4.000.

Bandingkan Singapura yang hanya punya 5 perguruan tinggi negeri dan beberapa swasta, tetapi menyumbangkan sekitar 10.000 hak paten. Mereka tercatat penyumbang aplikasi hak paten di urutan ke-16 terbesar di dunia. Jepang di urutan pertama dengan sekitar 440.000 hak paten, disusul AS dengan sekitar 390.000 hak paten, lalu diikuti China, Korea, dan Jerman (World Patent Report, 2007). Indonesia belum tercatat dalam urutan tersebut karena belum memberi andil bagi perkembangan peradaban modern umat manusia.

Kedua, pengelolaan pendidikan nasional kelihatannya gagal melahirkan anak-anak bangsa yang jujur dan berakhlak mulia. Studi oleh The Political and Economic Risk Consultancy menunjukkan, pada awal reformasi (1999) Indonesia negara paling korup di Asia dengan skor 9,91 mengungguli India (9,1), China (9,0), dan Vietnam (8,5). Yang paling bersih adalah Singapura dengan skor 1,55, disusul Hongkong (4,06) dan Jepang (4,25). Dalam perjalanan panjang selama satu dekade lebih, potret suram itu tak banyak berubah. Bahkan, 2011 kembali lagi mencapai 9,25 mengungguli India dan Filipina, meski pada 2007 terjadi perbaikan dengan skor 7,98.

Lebih memprihatinkan, Indonesia Corruption Watch melaporkan, sektor pendidikan kini menempati urutan teratas angka korupsinya, disusul sektor keuangan daerah dan sektor sosial kemasyarakatan. Pada 2010, korupsi paling tinggi di sektor infrastruktur (85 kasus), disusul sektor keuangan daerah (82) dan pendidikan (47). Kelihatannya, publikasi kasus Hambalang yang begitu luas memberi efek psikologis para koruptor untuk mulai menghindar di sektor infrastruktur, dan beralih ke sektor pendidikan yang mungkin dinilai zona yang lebih aman.

 Ketiga, pendidikan nasional ternyata tak terlihat dampaknya pada peningkatan kualitas SDM bangsa. Laporan UNDP 1998, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di urutan ke-103. Dua tahun kemudian, posisi ini terus bergerak menurun ke-109. Sebaliknya, Singapura menanjak dari urutan ke-34 menjadi ke-24. Bahkan, Vietnam menanjak dari urutan ke-121 jadi ke-108 sehingga melampaui posisi Indonesia. Keadaan ini terus memburuk. Pada 2011 dan 2012, Indonesia di posisi ke-124 dari 187 negara di dunia, amat jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

 Keempat, pendidikan nasional kelihatannya gagal berperan sebagai perekat kohesi sosial masyarakat. Tanah Air kita yang dikenal keindahan alamnya bagai zamrud khatulistiwa, dikenal pula dengan kekayaan nilai-nilai warisan budayanya yang tinggi, tetapi lebih satu dekade terakhir ini justru sering kali dihiasi kerusuhan sosial, anarkisme, dan berbagai tindakan kejam lainnya. Konflik sosial telah terjadi di berbagai wilayah, bahkan akhir- akhir ini dunia kampus seakan tidak pernah berhenti bergolak dengan demonstrasi yang sering kali berakhir brutal. Perkelahian antarsiswa pun sudah realitas rutin di kota-kota besar, yang sering kali membawa korban.

Jalan Keluar
Bertolak dari realitas peningkatan anggaran dan proses pelapukan pendidikan tersebut, kelihatannya kementerian ini harus sungguh-sungguh bekerja dengan data yang akurat dan disterilkan dari transaksi politik praktis. Penyaluran bantuan operasional pendidikan, beasiswa, dan bantuan lain yang distribusinya dikendalikan kepentingan DPR, kepentingan politik pencitraan, atau pihak-pihak lainnya dinilai sebagai salah satu sumber pelapukan pengelolaan pendidikan.

Sekadar berbagi pengalaman, pada 1994, ketika bekerja sebagai konsultan internasional UNESCO, saya membantu memajukan pendidikan masyarakat miskin di China. Caranya sederhana, setiap bantuan disalurkan secara terbuka berdasarkan data akurat.

Di desa-desa miskin, rumah- rumah penduduk diberi tiga kategori warna. Jika di keluarga itu anaknya ada yang tidak sekolah, ayah-ibunya tak punya keahlian atau keterampilan dasar hidup dan masih ada anggota keluarga yang buta huruf, rumahnya diberi warna merah. Kalau salah satu di antaranya sudah terpenuhi, diberi warna kuning, dan jika ketiganya sudah terpenuhi, diberi warna hijau. Dengan kriteria seperti itu, dapat dihindari bantuan salah sasaran sekaligus dapat dipastikan tiap tahun sekian keluarga yang terbebas dari kemiskinan dan berapa anak sudah menikmati pendidikan.

Semoga dengan pengelolaan anggaran yang begitu besar dapat secepatnya terlihat dampaknya bagi pemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan kualitas SDM dan kualitas moral, serta penguatan kohesi sosial. Saat ini semua itu terlihat semakin memburuk, jauh lebih rendah dibanding ketika anggaran pendidikan masih relatif lebih kecil.

Hafid Abbas ; 
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 26 Januari 2013


Selengkapnya.. »»