Quo Vadis Kurikulum 2013?


Dunia pendidikan nasional kembali digegerkan dengan rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk melaksanakan Kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014. Bahkan di media sosial seperti Twitter dan Facebook mulai ramai diperdebatkan dan sebagian masyarakat menentang kebijakan tersebut.

Tidak hanya itu. Kalangan lebaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti koalisi pendidikan, praktisi dan terakhir para guru besar se-Indonesia juga menyampaikan aspirasi dengan cara mengirim surat kepada Presiden SBY untuk mempertimbangkan kembali rencana Kemendikbud yang terkesan pemaksaan pelaksanaan kurikulum baru. Argumentasi yang disampaikan karena perubahan Kurikulum 2013 tidak memiliki visi dan latar belakang yang kuat, apalagi kurikulum lama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 belum dievaluasi.

Persoalannya apakah perubahan kurikulum baru ada jaminan kualitas pendidikan di Indonesia semakin membaik, biaya pendidikan semakin murah (gratis), dan setiap warga negara bisa mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 UUD 1945. Prakteknya, pendidikan di Indonesia tak pernah lepas dari faktor komersialisasi dan menjadi ladang subur koruptor di balik jubah dan toga pendidikan.

Mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Buktinya, hingga saat ini pemerintah belum mampu memberantas pungutan liar yang ada di sekolah-sekolah, begitu pula kebocoran setiap kali pelaksaan ujian nasional mulai dari jenjang pendidikan SD hingga SMU.

Apalagi saat ini, Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR yang membidangi pendidikan masih debatebel dan belum satu suara menyetujui atau tidak perubahan kurikulum 2013. Antara Panja dan pemerintah belum menyepakati poin-poin krusial dari draf kurikulum yang diajukan pemerintah. Yang lebih parah, Kemendikbud sudah mengklaim melakukan uji publik tentang kurikulum baru. Melanggar Konstitusi Sepanjang Indonesia merdeka sejak 1945, dunia pendidikan nasional sudah mengalami sembilan kali pergantian kurikulum. Itu dimulai sejak 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir 2006. Sayangnya, setiap kali terjadi pergantian kurikulum sama sekali tidak membawa perbaikan yang berarti dalam peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Tidak mengherankan setiap kali terjadi perubahan kurikulum tidak serta merta menjadikan sektor pendidikan mampu berkompetisi secara global, memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pergantian kurikulum justru menciptakan kasta-kasta dalam dunia pendidikan.

Pelaksanaan RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang belum lama ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, semakin memperjelas adanya kasta-kasta dan diskriminasi dalam dunia pendidikan yang bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Padahal, sektor pendidikan sesuai amanat UUD 1945 merupakan sektor strategis yang mendapat porsi 20 persen dari anggaran APBN. Yang lebih fantastis dari goncang-gancing kurikulum 2013 justru anggaran yang digunakan sangat besar yang semula hanya sekitar Rp 684,4 miliar, tapi secara mengejutkan membengkak menjadi Rp 1,457 triliun dengan rincian anggaran pencetakan buku sebesar Rp 1,03 triliun dan biaya pelatihan guru sebesar Rp 422 miliar. Kenaikan anggaran kurikulum 2013 tersebut seyogyanya perlu dicermati karena bukan saja berpotensi terjadi penyalahgunaan anggaran, tapi juga merugikan peserta didik jika pemerintah tetap memaksa menerapkan kebijakan tersebut.

Salah satu potensi penyalahgunaan anggaran adalah alokasi proyek buku panduan serta biaya pelatihan guru yang seringkali menggunakan modus mark up anggaran. Pasalnya, ada ruang yang sangat terbuka "permainan anggaran" sekalipun dengan dalih penyediaan paket buku disesuaikan dengan kebijakan baru dan menjadi kewajiban siswa untuk membeli sebagai salah satu sarana peningkatan kualitas pendidikan dan peserta didik di Indonesia.

Pada akhirnya pendidikan yang baik tergantung bagaimana peserta didik mampu mengikuti proses belajar mengajar serta kualitas guru yang memadai. Persoalannya, banyak sekolah-sekolah negeri masih memiliki guru-guru yang sudah tidak memadai bahkan hanya sekedar kegiatan rutinitas tanpa mampu melakukan kreasi dan memotivasi kreatifitas peserta didik untuk mampu berkompetisi. Dengan demikian dapat dipahami perbaikan mutu pendidikan di Indonesia sangat penting sebagai salah satu sarana pencerdasan anak-anak bangsa, termasuk perbaikan dan kualitas guru. Sebab, yang diperlukan sekarang ini bukanlah perubahan kurikulum, tapi perubahan budaya mengajar dan kualitas para guru.

Pemerintah juga perlu memberikan apresiasi kepada para guru untuk memotivasi semangat mengajar. Sehingga, motto pahlawan tanpa tanda jasa itu memiliki spirit dan motivasi untuk memberikan keteladanan kepada peserta didik. Bukan hanya sekedar formalitas semata. Mudah-mudahan saja tidak!

Rusmin Effendy ; 
Tenaga Ahli DPR RI
SUARA KARYA, 13 Februari 2013

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi