Tampilkan postingan dengan label PIRLS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PIRLS. Tampilkan semua postingan

Kurikulum 2013, Modal Anak Bangsa untuk Bersaing


Jika tidak ada aral, implementasi kurikulum 2013 di tingkat satuan pendidikan secara bertahap akan dilakukan pada awal tahun pelajaran Juli 2013.Kini berbagai persiapan sudah dilakukan.

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pengantar Sidang Kabinet, Senin, 18 Februari 2013, juga menyatakan perlunya sosialisasi kurikulum baru yang akan dilaksanakan pada tahun pelajaran 2013. Kata Presiden, sampaikan bahwa yang kita didik dan kita siapkan bukan hanya manusiamanusia Indonesia yang cerdas semata,tapi juga yang tangguh mentalnya, sehat jasmaninya, toleran, dan rukun terhadap saudaranya yang berbeda (SINDO,19/2).

 Sebelumnya Wakil Presiden Boediono, dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, meminta agar pelaksanaan kurikulum jangan ditunda. Jika pelaksanaannya telah,yang rugi adalah peserta didik, anak bangsa yang kelak akan memimpin negeri ini, saat Kemerdekaan Indonesia memasuki usia 100 tahun pada 2045. Memang secara substansial, baik guru, orang tua, maupun siswa tidak ada yang keberatan terhadap kurikulum 2013.

 Riak kecil ada perbedaan yang selama ini mengemuka diyakini, cepat atau lambat, akan selesai. Apalagi secara politis panitia kerja kurikulum di DPR, yang terdiri atas unsurunsur fraksi, sebagian besar telah menyatakan menerima kurikulum 2013. Dua organisasi besar penyelenggara pendidikan di tingkat swasta pun, Muhammadiyah dan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, tegas menyatakan siap mengimplementasikan kurikulum 2013.

Respons Positif

 Jika ada kurikulum yang disiapkan melalui uji publik dan melibatkan banyak pakar serta lintas direktorat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mungkin baru terjadi pada kurikulum 2013. Karena itu, wajar jika masyarakat merespons positif langkah itu.

 Masyarakat berharap kurikulum 2013 dapat benar-benar mendorong peserta didik untuk mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelajaran, sebagaimana tujuan awal perubahan kurikulum ini. Inilah yang disebut kurikulum dengan pendekatan scientific (ilmiah).

 Jika boleh menggambarkan suasana di lingkungan Kemendikbud, mereka yang terlibat di dalam penyiapan kurikulum 2013 pun mengakui bahwa baru kali ini sebuah kurikulum disiapkan dengan matang dan terstruktur, melibatkan bukan hanya banyak narasumber dan pakar, melainkan juga lintas direktorat.

Penyederhanaan

 Inti dari kurikulum 2013 ada pada upaya penyederhanaan dan tematik- integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu, kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan sebagai modal anak bangsa untuk bersaing.

 Kurikulum 2013 sedikit-banyak juga akan menjawab “kegelisahan” orang tua selama ini yang sering menyatakan bahwa para pelajar sekarang lebih berat bukunya ketimbang timbangan berat badannya. Itulah sebabnya, penyederhanaan menjadi salah satu kata kuncinya. Di jenjang sekolah dasar (SD), dari sepuluh mata pelajaran kini menjadi enam, disekolah menengah pertama (SMP) dari sebelumnya dua belas menjadi sepuluh, sedang di sekolah menengah atas (SMA) tidak lagi mengenal penjurusan.

 Tentu pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, melainkan juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), maupun hasil Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS).

 Terhadap hasil PISA misalnya, hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3, sementara negara lain banyak yang sampai level 4, 5, bahkan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama,interpretasi dari fakta ini hanya satu bahwa yang diajarkan siswa di Indonesia berbeda dengan tuntutan zaman.

 Kajian terhadap isi mata pelajaran pun dilakukan dan ditemukan fakta ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan dicerna peserta didik. Penyederhanaan jumlah mata pelajaran juga diikuti dengan penambahan jam pelajaran. Ini untuk peningkatan efektivitas pembelajaran.

 Penambahan jam pelajaran ini rasionalitasnya adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), memerlukan penambahan jam pelajaran. Di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhirakhir ini juga ada kecenderungan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negaranegara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat.

Peran Guru

 Ada pertanyaan bernada khawatir terkait dengan implementasi kurikulum 2013. Apakah sedemikian mendesak sehingga tahun pelajaran 2013 kurikulum itu sudah harus diterapkan? Menjawab kekhawatiran itu, sedikitnya ada tiga persiapan yang sudah masuk agenda kementerian untuk implementasi kurikulum 2013.

 Pertama, terkait dengan buku pegangan dan buku murid. Pemerintah kini sedang menyiapkan buku induk untuk pegangan guru dan murid yang tentu saja dua buku itu berbeda konten satu dan lainnya.

 Kedua, pelatihan guru. Karena implementasi kurikulum dilakukan secara bertahap, pelatihan kepada guru pun dilakukan bertahap pula. Jika implementasi dimulai untuk kelas satu dan empat di jenjang SD dengan 30% dari populasi SD,dan kelas tujuh di SMP,serta kelas sepuluh di SMA/SMK, tentu guru yang akan diikutkan pelatihan pun tidak seluruhnya.

 Ketiga, tata kelola.Kementerian sudah pula memikirkan terhadap tata kelola di tingkat satuan pendidikan. Dengan kurikulum 2013, tata kelola pun akan berubah. Sebagai misal administrasi buku rapor. Karena empat standar dalam kurikulum 2013 mengalami perubahan, buku rapor pun harus berubah.

 Persoalannya,jangan sekalikali persoalan implementasi kurikulum dihadapkan pada stigma persoalan yang kemungkinan akan menjerat kita untuk tidak mau melakukan perubahan. Padahal kita sepakat, perubahan itu sesuatu yang niscaya harus dihadapi mana kala kita ingin terus maju dan berkembang. Bukankah melalui perubahan kurikulum ini sesungguhnya kita ingin membeli masa depan anak didik kita dengan harga sekarang.

 Pada titik ini pulalah, peran guru menjadi sangat-sangat penting. Guru dan kurikulum dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Satu saja tidak ada, tidak memiliki nilai apa-apa. Pada diri guru sedikitnya ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013 yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik (keilmuan), kompetensi sosial, dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan.

 Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemungkinan terjadi perubahan. Itu sebabnya, guru ke depan dituntut tidak hanya cerdas, tapi juga adaptif terhadap perubahan. Semoga!


Sukemi ;  
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
SINDO, 22 Februari 2013


Selengkapnya.. »»  

Mendiagnosis Pendidikan di Tanah Air


HASIL the Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat.

Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Dalam TIMSS kali ini, Indonesia tidak mengikutsertakan siswa kelas empat. Sementara itu, hasil PIRLS menempatkan siswa kelas empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata 428. Namun, rata-rata dan peringkat saja tidak cukup. Banyak informasi berharga dapat digali dari hasil TIMSS dan PIRLS untuk membantu mendiagnosis kondisi pendidikan di Tanah Air.

Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa. Assessment kelas delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan), dan reasoning (bernalar).

PIRLS, yang diselenggarakan lima tahun sekali, didesain untuk menilai kemampuan siswa dalam membaca teks-teks baik yang bersifat rekreatif maupun informatif. Proses pemahaman atas teks yang dibaca dimulai dari yang terendah, yaitu mencari dan menemukan informasi yang telah dinyatakan secara eksplisit, hingga yang tertinggi, yaitu mengintegrasikan gagasan dan informasi dari beragam teks untuk menjelaskan dan menyampaikan pemikiran.

Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low international benchmark (400), intermediate benchmark (475), high international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625).

Terjadi Penurunan

Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang mencapai advanced international benchmark, 2% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark, yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada tahap menyelesaikan masalah-masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang telah biasa digunakan.

Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalah-masalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian.

Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan dasar ke dalam situasi nyata.

Advanced international benchmark, antara lain, menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.

Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Meskipun ada tren kenaikan, secara rata-rata, posisi siswa-siswa Indonesia tetap berada di peringkat bawah karena siswa-siswa di negara-negara lain pun mengalami peningkatan dalam membaca.

Faktor Berkontribusi

Laporan TIMSS dan PIRLS 2011 menyebutkan sikap positif terhadap matematika, sains, dan membaca, ketersediaan fasilitas pem belajaran di rumah misalnya buku-buku, pengenalan dini terhadap angka, fenomena alam, dan kegiatan membaca dengan cara menyenangkan seperti melalui permainan dan aktivitas keseharian, gizi dan tidur yang cukup, berkorelasi positif dengan pencapaian siswa. Fasilitas sekolah yang memadai, sekolah yang aman dan tidak memiliki banyak masalah terkait dengan disiplin, guru-guru dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi, lebih berpengalaman, dan merasa puas dengan profesi yang mereka jalani juga berkorelasi positif dengan pencapaian siswa.

Kajian TIMSS dan PIRLS 2011 juga semakin menegaskan temuan berbagai riset skala internasional yang pernah dilakukan sebelumnya tentang keterkaitan yang erat antara kondisi sosial-ekonomi dan pencapaian siswa. Siswa dengan orangtua berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi cenderung memiliki pencapaian yang tinggi pula. Sekolah dengan mayoritas siswa berasal dari kalangan dengan tingkat sosial ekonomi lebih tinggi memiliki pencapaian lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan sekolah dengan mayoritas siswa dari kalangan dengan tingkat sosial-ekonomi lebih rendah.

Permasalahan-permasalahan di dunia ini yang makin kompleks dari hari ke hari atau bahkan belum dikenal sebelumnya membutuhkan generasi yang mampu mencari, menggunakan, dan menginterpretasi informasi dan mengambil keputusan dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalah. Banjir informasi sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga menuntut generasi yang mampu memilah dan memilih informasi yang relevan, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hingga saat ini, sebagian besar siswa kita baru mencapai kemampuan-kemampuan berpikir tingkat rendah. Konsekuensinya, bila kondisi itu tidak segera diintervensi secara tepat, ke depan kita akan memiliki generasi yang gagap dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan masa depan.

Bila ditinjau dari aspek persekolahan, perlu dipastikan bahwa materi-materi yang diajarkan sekolah telah sesuai dengan kebutuhankebutuhan masyarakat di masa kini dan masa depan. Pengembangan penalaran sepatutnya menjadi prioritas dalam pembelajaran. Misalnya, ketika belajar matematika, siswa perlu dilatih untuk mampu menjelaskan alasan-alasan di balik langkah-langkah yang dia tempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah, termasuk mengaitkan dengan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam pelajaran sains, rasa ingin tahu siswa perlu dipupuk, misalnya dengan melakukan pengamatan-pengamatan ataupun kajian pustaka dan menyusun hasilnya dalam bentuk laporan kemudian mempresentasikannya di depan kelas. Untuk meningkatkan kemampuan membaca, siswa perlu diperkenalkan dengan beragam bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik ilmiah maupun populer, dan dilatih pula untuk menuliskan, misalnya tanggapan ataupun penilaian kritis atas bacaannya.

Penilaian yang dilakukan terhadap siswa selayaknya juga semakin difokuskan pada tujuan assessment for learning ataupun assessment as learning, dengan penilaian ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran ataupun sebagai pembelajaran itu sendiri. Selama ini, penilaian yang dilakukan masih cenderung didominasi kerangka assessment of learning, yaitu untuk menilai hasil belajar siswa. Penilaian dengan model pilihan ganda sebaiknya diminimalkan. Soal-soal pilihan ganda memang dapat didesain untuk mengukur higher-order thinking, tetapi dengan penilaian benar atau salah, guru tidak dapat melihat proses-proses berpikir yang dicapai siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

Penilaian model esai, kinerja (performance), ataupun portofolio tampaknya lebih akomodatif dalam memberi ruang pada assessment for learning ataupun assessment as learning, yang dipandang ahli-ahli di bidang penilaian pendidikan sebagai assessment yang dapat membekali siswa dengan pengalaman berharga sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Elin Driana ;  
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
MEDIA INDONESIA, 11 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Kualitas Pendidikan, Budaya, dan Uang


Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi Konfusian).

Pada 27 November 2012, lembaga penelitian Pearson mengumumkan hasil rangkuman analisis kuantitatif dan kualitatif yang ditulis oleh Economist Intelligence Unit tentang kemampuan para siswa serta kinerja lembaga-lembaga pendidikan di seluruh dunia, The Learning Curve. Mereka antara lain merujuk pada hasil beberapa tes internasional (OECD-PISA, TIMMS dan PIRLS) yang membuat peringkat kecerdasan para siswa aneka bangsa.

Kurva pembelajaran itu menampilkan peringkat yang menunjukkan bahwa Finlandia (populasi 5,3 juta jiwa) dan Korea Selatan (populasi 48 juta jiwa) kini merupakan dua negara "superpower pendidikan." Di belakangnya, yang masuk dalam lima besar adalah Hong Kong, Jepang, dan Singapura.

Lima peringkat berikutnya ditempati oleh Inggris, Belanda, Selandia Baru, Swiss, dan Kanada. Amerika Serikat berada di peringkat ke-17. Indonesia berada di mana? Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil berbagai uji kemampuan (sains, matematika, membaca, dan pemecahan masalah) dalam sepuluh tahun terakhir, kemampuan para siswa Indonesia selalu berada di dasar jurang (peringkat ke-40), di bawah Kolombia, Thailand, Meksiko, dan Brasil.

Bahagia Belajar
Mengapa Finlandia, negeri liliput di Eropa itu, selalu berada di puncak peringkat dunia? Itu karena, antara lain, sistem pendidikannya dibangun berdasarkan prinsip-prinsip: berkualitas, efisien, berkeadilan, berlangsung sepanjang hayat. Penyelenggaraannya bersifat santai dan fleksibel. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu untuk seluruh warga negara secara gratis. Para siswa tidak dibebani terlalu banyak mata pelajaran, jam belajar di sekolah sedikit (sesuai dengan kebutuhan siswa, dari dua sampai delapan jam sehari), dan mereka dibolehkan berbahagia belajar menekuni bidang yang diminatinya. Kuncinya adalah: guru yang bermutu-bermartabat, dan sistem pengajarannya efektif.

Seperti Finlandia, Korea Selatan juga melakukan reformasi pendidikan sejak awal 1990-an. Namun, berbeda dengan Finlandia, sistem pendidikan di Korea Selatan berlangsung lebih tegang dan rigid, dengan berbagai tes dan hafalan. Namun, seperti di Finlandia, Korea Selatan juga tanpa henti meningkatkan kualitas dan harkat para gurunya, serta menekankan bahwa semua langkah di bidang pendidikan memiliki nilai dan misi moral yang luhur.

Tiga Tahap
Ada tiga tahap yang ditetapkan pemerintah Korea Selatan dalam strategi pembangunan sumber daya manusianya. Untuk mendukung tekad pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi, dengan anggaran negara terbesar dialokasikan untuk jenjang SD dan SMP (86 persen), pada tahap pertama (tahun 1960-an), sekolah-sekolah diprogram menciptakan tenaga buruh kasar (lulusan SD) untuk kebutuhan industri padat karya dan manufaktur. Tahap kedua (tahun 1970-1980), seiring dengan kemajuan pesat ekonominya, sekolah-sekolah mempersiapkan tenaga kerja bagi industri berat dan kimia yang padat modal (lulusan SMA).

Tahap ketiga (1990 sampai sekarang), Kementerian Pendidikan berfokus pada penciptaan tenaga kerja berpendidikan tinggi untuk mendukung industri teknologi, elektronik, dan industri berbasis ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, sejak tahun 2000, seluruh sekolah dari SD hingga perguruan tinggi dilengkapi komputer dengan akses Internet berkecepatan tinggi.

Hasilnya? Hanya dalam waktu sekitar 25 tahun sejak reformasi pendidikan dimulai, Korea Selatan kini bertakhta di puncak kedua dunia. Itu melengkapi prestasinya di bidang industri elektronik dan koneksi Internetnya yang di peringkat satu. Kok bisa? Catatan sangat penting dalam analisis The Learning Curve adalah bahwa, untuk menghasilkan pendidikan berkualitas, uang memang penting, tetapi yang lebih penting daripada uang adalah besarnya dukungan kultur lingkungan terhadap pendidikan.

Untuk mengimbangi pembangunan domain kognisi yang sarat dengan hafalan dan ulangan, pemerintah Korea Selatan pun menggalakkan pelajaran seni dan olahraga bagi para siswa sejak SD. Itulah dasar-dasar bagi pembentukan jati diri bangsa dan karakter. Yang dibangun di sekolah bukan hanya kecerdasan otak, tapi juga seluruh tubuh, melalui berbagai macam olah seni dan olahraga yang, untuk itu pun, bangsa Korea Selatan mampu mencatatkan prestasi internasional: taekwondo, basket, bulu tangkis, bahkan tim sepak bolanya berhasil mencapai babak kualifikasi Piala Dunia selama delapan kali berturut-turut, dan itu merupakan rekor terbanyak di Asia.

Tradisi Konfusianisme
Konfusianisme Korea (Yugyo) merasuk ke dalam darah bangsa dan menjadi fondasi kebudayaan yang mengatur sistem moral, pola kehidupan, dan hubungan sosial antar-generasi serta dasar bagi banyak sistem hukum. Sebagaimana diketahui, spirit Konfusianisme mengajarkan bahwa, untuk menjadi sempurna, manusia harus menjalani pendidikan dan latihan yang keras dan terus-menerus. Kualitas itulah yang secara sosial akan menempatkan seseorang di puncak status (meritokrasi). Itulah yang mendorong para orang tua Korea berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Itulah semangat kebudayaan yang melahirkan "demam pendidikan" dan terbukti menempatkan Korea Selatan berada di puncak hierarki dunia. Adalah spirit Konfusianisme juga yang, sebagaimana ditunjukkan oleh The Learning Curve, menempatkan Hong Kong, Jepang, dan Singapura berada di lima besar.

Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia agar mampu mengangkat bangsanya dari dasar jurang? Uang memang penting, tapi budaya jauh lebih penting! Hentikan politik diskriminasi pendidikan yang membangun kasta-kasta sekolah unggulan dan bukan unggulan yang berbiaya mahal! Hentikan ujian nasional yang tidak hanya memboroskan dana, tenaga dan waktu, tapi juga lebih parah dari itu, hanya menjadi pemicu "kriminalitas pendidikan" dan memberikan ukuran menyesatkan tentang peringkat kecerdasan seseorang. Lebih tragis lagi, ujian nasional telah menghancurkan tujuan pendidikan: bukannya membangun karakter dan akhlak mulia, melainkan menjadikan para anak didik sebagai hamba angka, peringkat, dan ijazah!

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu, murah, dan adil serta bisa diikuti oleh seluruh warga negara. Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi Konfusian). Itulah makna dari lirik lagu kebangsaan kita: "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya."

Yudhistira ANM Massardi; 
Penulis Buku Pendidikan Karakter
dengan Metode Sentra, dan Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi
KORAN TEMPO, 26 Januari 2013

Selengkapnya.. »»  

RSBI and the politics of pedagogical choice


 The fierce debates over the international pilot project schools (RSBI) that once raged between education activists and the government have come to a halt with the Constitutional Court ruling that the establishment of the often-dubbed “elite” schools is not in line with the Constitution.

 In its verdict, the Constitutional Court said that the RSBIs had created dualism and discrimination in the national education system.

 Also, with their exclusive use of English as the medium of classroom instruction, the schools have been lambasted for eroding national identity.

 Yet, one day after the ruling the Education and Culture Ministry seemed adamant that it would not immediately dismiss RSBI.

 The government’s efforts to improve the system of national education and to pursue quality education ought to be commended.

 This is especially true given that most Indonesians have been casting doubts over local education and opting instead for overseas education.

 While we have to extend our full support to the government for its seriousness in boosting the country’s education, we need to call into question the blind adoption of the label “international standard” in the RSBIs, which is associated mainly with the mandatory use of English (as an international language), imported curriculum and assessment instruments and the idea of English native speaking.

 Perhaps this label is attributed among teachers, students and educational technocrats to pedagogical jargon like international standard competence, which has become the guiding principle in the curriculum design.

 Needless to say, the idea behind the establishment of the RSBIs is more political than pedagogical if contextualized in the global spread of the hegemonic forces of Western education.

 Thus, the often-voiced claim that the national education system needs to adjust itself to the rapid changes of the globalized world (through the establishment of RSBIs), so that local schools are poised to compete with schools overseas is certainly a political statement — a statement that cannot be perceived as neutral and innocent.

 Complicating this statement, we can raise critical question: From which perspective is the banal notion of globalization viewed?

 Clearly, in common knowledge the phrase “international Standard” is construed as designating globalization from the outside world, or what is often referred to as the Center World (the colonizing countries) as opposed to the Periphery World (the colonized countries).

 It is this understanding that the opponents of the RSBIs object to and harshly denounce.

 It is also because of this perception that they have accused the RSBIs of perpetuating liberalism and capitalism in education and also language imperialism.

 Describing the fetish of the dissemination of English through education, as has been the case in the RSBIs, linguist JE Joseph (2004) said: “When members of the ‘peripheral’ population are themselves the ones opting for education in the ‘center’ language or promoting it for their countrymen, this merely means they have been co-opted into linguicism; they are internal colonialists.”

 Interestingly, most education observers through their published writings in the media have unwittingly helped promote pedagogical imperialism by extolling the superiority of education of the center.

 They uncritically believe in the reports released by international associations such as Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) and the Programme for International Student Assessment (PISA) — reports that provide a statistical comparison of the quality of academic performance across different countries.

 Inferences on quality education are made based on these reports. Thus, if the reports show that other countries better Indonesia in terms of academic performance, the conclusion is often hastily drawn that the latter performs worse than its counterparts and is eventually condemned for not having competitive values.

 If these reports are used as a sole reference for improving the country’s education system through, say, the creation of the RSBIs, then we become engrossed in a pedagogical determinism without taking into consideration the fact that the geopolitics of every country differs considerably.

 After all, just as resorting to the RSBIs as the ostensible panacea of the country’s educational snag is a political choice, so too is the attempt to revive national-based education as a reaction against it.

 The reconsideration of the relevance of national identity, culture and ideology amid the suppression of Western hegemonic pedagogy also has a political overtone.

 To counter the spread of international schools in Indonesia, A. Chaedar Alwasilah, a professor in education, has recently proposed what he calls “ethnopedagogy” — a local genius-based pedagogy that tries to reinvigorate local languages, cultures and ideologies.

 This proposal certainly has a political nuance, suggesting therefore that all pedagogical choices are value-laden and political.

 In the face of globalization, educational policies certainly need to be altered in line with the needs and demands of the modern world.

 Yet, this shouldn’t always be done by upgrading the status of local schools with an “international” label.

 Instead, the revitalization of local wisdom in education can strengthen the foundation of national education and serve as a counter-politics to pedagogical determinism.

 It can also give teachers the confidence to face the unexpected challenges of the globalized world. Quality education should begin from such an effort.

Setiono Sugiharto ;
An Associate Professor at Atma Jaya Catholic University,
He is also chief editor of the Indonesian Journal of English Language Teaching
JAKARTA POST, 12 Januari 2013


Selengkapnya.. »»