”Teknologi canggih gagal memberi sekat pada
keragaman bahasa daerah untuk tetap terus digunakan"
Pemberitaan gencar tentang rencana penghapusan
bahasa daerah dari muatan lokal kurikulum 2013, dari tingkat dasar sampai
menengah, membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Penghapusan bahasa daerah
sebagai mata pelajaran mandiri dan meleburnya ke dalam Seni dan Budaya, akan
menyebabkan mapel itu makin marginal.
Bahasa daerah selama ini dikenal sebagai alat
utama komunikasi bagi hampir semua warga provinsi di negara kita. Sesuatu yang
mungkin tampak sepele bagi sebagian orang karena digunakan dalam keseharian
kehidupan sehingga terasa tak ada lagi yang istimewa. Inilah akar utama
permasalahan.
Teknologi canggih dalam bidang komunikasi pun
membuka kesempatan dan kemudahan bagi siapa pun, termasuk generasi muda,
mengakses berbagai informasi, termasuk nilai-nilai tentang tujuan hidup. Namun
seandainya hal ini tak ada pengimbangan pedoman dari akar budaya yang sudah
mengendap ratusan tahun, teknologi tersebut justru akan menjadi ancaman bagi
pengguna.
Apakah layak suatu bahasa sebagai alat komunikasi
budaya yang strategis secara tiba-tiba dikurangi keberadaannya dengan
menghapusnya dari kurikulum sekolah? Tengoklah hasil teknologi canggih yang
bernama facebook, yang kini dimanfaatkan masyarakat dunia sebagai sarana
komunikasi dan reuni.
Penggunaan bahasa daerah dalam jejaring sosial
tersebut terbukti mampu menautkan tali silaturahmi lebih erat, dan membawa
romantisme akan daerah asal, semisal kerinduan akan kampung halaman. Patut
dicatat, facebookers terbukti bisa berkomunikasi dengan teman dari daerah lain
melalui keragaman dialek masing-masing.
Bahkan saling bertukar kosakata, menghasilkan
bahasa gaul yang akrab dan lucu. Fenomena facebook membuktikan bahwa teknologi
canggih gagal memberi sekat pada keragaman bahasa daerah untuk tetap terus
digunakan. Sebaliknya fenomena facebook justru turut memberi ruang gerak yang
makin luas tak terbatas.
Kita perlu menyadari, bahasa daerah telah
memberikan ruang tersendiri bagi etika dan kesantunan, antara lain dengan
mengajarkan pakem dalam bertutur kata. Unggah-ungguh dalam bertutur yang mencerminkan
sopan santun ini tak hanya ada dalam Bahasa Jawa, tapi juga dijumpai pada
bahasa di daerah lain, semisal Sunda atau Madura.
Rubrik
Khusus
Adapun dialek Pekalongan dan masyarakat Badui di
Banten memiliki ciri khas lain, yakni egalitarianisme atau kesetaraan karena
tidak mengenal strata penggunanya. Di sini terbukti bahwa bahasa daerah sama sekali bukan produk budaya yang
sederhana atau sepele.
Lalu, apa yang terjadi bila bahasa daerah dihilangkan
atau dipinggirkan dari kurikulum sekolah?
Generasi yang akan datang, jangankan bisa
berbahasa daerahnya, mereka mungkin bahkan tidak bisa mengenali bahasa
daerahnya. Lebih jauh lagi, dikhawatirkan mereka tidak mengenal akar budaya
daerahnya.
Penulis berharap pemerintah mengurungkan rencana
menghapus bahasa daerah dari kurikulum
2013 dengan melihat semua akibat bila hal itu dilakukan. Penulis justru mengapresiasi Suara Merdeka
yang mewadahi ragam dialek daerah dengan memberi rubrik khusus, semisal
’’Warung Megono’’ untuk dialek Pekalongan besutan Iyeng Setiawati pada edisi
Suara Pantura, atau rubrik sejenis pada edisi Semarang Metro, Suara Muria, dan
Solo Metro.
Merupakan hal ironis manakala media cetak
berkomitmen untuk nguri-uri bahasa daerah namun pemerintah justru membuat
kebijakan sebaliknya. Penulis menaruh harapan besar kepada semua pihak atas
keyakinan pemerintah akan teguh melestarikan budaya nasional yang terdiri atas
kumpulan budaya daerah.
Kelak teknologi dunia bukannya tak mungkin memakai
istilah bahasa daerah dari Indonesia. Mungkin kita menjumpai nama tatag atau
canthas untuk nama program komputer, karya putra-putri bangsa kita. Juga
menaruh harapan besar, jangan sampai kelak generasi penerus belajar bahasa
daerah justru ke Negeri Belanda, Malaysia, Jerman, atau Australia.
Haslinda
Razalie ;
Pecinta
dan Pemerhati Budaya, Tinggal di Jakarta
SUARA
MERDEKA, 26 Januari 2013
Artikel Terkait:
Haslinda Razalie
Bahasa Daerah
Budaya
- Kementerian Budaya Belajar
- Keprihatinan di Hari Pendidikan
- Nasib Bahasa Daerah
- Kualitas Pendidikan, Budaya, dan Uang
- Kembalikan Sekolah Kami!
- Negara Adikuasa Pendidikan
- Perspektif Pembangunan Pendidikan Nasional
- Kampus tanpa Budaya Kampus
- Pendidikan Berbasis Budaya Literasi
- Memutus Rantai Tawuran Pelajar
- Tuntutan Budaya Mutu
- Pancasila (2): Perubahan Sejati oleh Rakyat Jelata
- Mengikis Budaya Korupsi
- Pancasila (1): Praksis Budaya dan Bangsa Bernama Indonesia
- Permasalahan Buku dan Pemihakan Pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi