Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan
naif. Kali ini keputusan naif MK dijatuhkan pada Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Keputusan MK
membubarkan RSBI dan SBI ibarat ada seorang siswa yang kaki kanannya dilatih
terus untuk menendang bola. Akibatnya kaki kanannya lebih padat dan indah daripada
kaki kirinya. Melihat hal ini maka MK memutuskan untuk memotong kaki kanan
tersebut.
Di mana kenaifan keputusan MK itu? Pertama, alasan
MK membubarkan RSBI dan SBI yang dibacakan oleh hakim Anwar Usman tentang biaya
sekolah yang cenderung mahal. Harus diakui sebagian besar SBI/RSBI cenderung
memungut biaya tambahan besar. Kira-kira, hanya Surabaya yang menggratiskan
seluruh biaya RSBI/SBI. Saya setuju dan sependapat dengan MK agar pungutan
mahal dihapuskan. Mestinya sekolah di RSBI/SBI harus gratis seperti di sekolah
negeri standar lainnya. MK dan pemerintah harus memaksa pemerintah daerah dan
pusat untuk membiayai SBI/RSBI seperti sekolah lainnya.
Hanya, perlu dicatat, yang cenderung tidak bisa
belajar di SBI/RSBI tidak hanya anak orang miskin, tetapi anak orang kaya
(sebenarnya menengah atas dan atau menengah) pun tidak bisa. Anak orang kaya
sekali biasanya sekolah di sekolah swasta yang mahal dan di luar negeri. Jika
anak orang kaya nilai UN- nya jelek atau di bawah persyaratan RSBI/SBI maka
otomatis dia tidak bisa masuk SBI/RSBI.
Anak yang sekolah di RSBI/SBI ditentukan oleh
nilai UN dan tes masuk RSBI/SBI. Ini artinya siswa yang diterima di RSBI/SBI
ditentukan oleh kemampuan akademiknya dan bukan semata-mata karena faktor kaya
dan miskin. Kalau ternyata realitasnya berdampak banyak yang masuk adalah anak
orang kaya maka anak orang miskin yang nilai UN-nya bagus dan hasil tes masuk
RSBI/SBI bagus (harusnya) bisa dibiayai negara.
Kalau dasar masuk sekolah negeri, apa pun
programnya, atas dasar kaya dan miskin maka MK yang diskriminatif. Saya
khawatir cara berpikir MK ini akan mengarah bahwa anak orang kaya itu penyakit.
Anak pintar itu penyakit. Mereka harus dilorot ke belakang untuk bersama-sama
anak orang miskin, anak yang dianggap kurang cerdas, dan dianggap kurang mampu
secara akademik. Padahal, realitasnya tidak seperti itu.
Kedua, MK menilai, siswa RSBI/SBI yang banyak
menggunakan bahasa Inggris itu berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa
dan budaya nasional Indonesia. Keunggulan peserta didik yang tolak ukurnya
kemampuan berbahasa asing dinilai tidak tepat. Saya sangat setuju negara
memperkuat siswa Indonesia berbahasa Indonesia.
Salah satu tujuan pembaharuan kurikulum nasional
adalah memperkuat kemampuan dan kebanggaan bahasa dan budaya Indonesia. Seratus
persen setuju untuk itu. Tetapi, kemampuan bahasa asing harus juga diperkuat.
Jika anak-anak Indonesia menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing maka dia
bisa mengikuti dan
menentukan pergaulan dunia.
Hakim MK harus tahu, secara kultural, anak
Indonesia-selain bagian dari budaya Indonesia-juga bagian dari budaya dunia.
Satu contoh, pada 1980-an, Mahatir Muhamad membuat kebijakan besar tentang
etnis Melayu di Malaysia. Etnis Melayu sering kali kalah dengan etnis Cina
dalam hal perdagangan, studi ke Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan
sebagainya. Hal itu disebabkan etnis Melayu ku rang menguasai bahasa Inggris.
Karena itu, Mahatir memutuskan untuk memberlakukan bahasa Inggris (asing)
menjadi bahasa kuliah dan sekolah.
Saat ini, banyak siswa dan mahasiswa Malaysia
etnis Melayu mahir berbahasa Inggris. Banyak orang Melayu yang studi ke
Australia, Inggris, dan negara Eropa atau Amerika Serikat. Pertanyaannya adalah
apakah mereka terkikis rasa kebangsaan dan kebanggaannya sebagai bangsa
Malaysia? Hal itu dilakukan pula oleh Pemerintah Brunei Darussalam. Sampai hari
ini ternyata bangsa Malaysia dan Brunei Darussalam tidak terkikis
nasionalismenya. Bahkan, dunia pendidikan Malaysia dan Brunei Darussalam
berkembang pesat sekali.
Amin Rais studi lama di Amerika Serikat, begitu
balik ke Indonesia sangat kritis terhadap AS. Mohamad Hatta kuliah di Belanda,
setelah pulang menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan. BJ Habibie perilakunya
sangat Jerman Barat (Eropa atau Barat). Begitu pulang ke Indonesia, ia
mati-matian membuat pesawat terbang untuk kebanggaan bangsa yang dirancang,
dibuat, dan dibiayai oleh bangsa Indonesia. Celakanya karya besar pesawat
terbang itu diporakporandakan oleh para politisi.
Ketiga, RSBI/SBI dianggap hakim MK seperti
penyakit tumor: harus diamputasi! Sistem pendidikan yang bagus dan terukur itu
dibubarkan dan sistemnya harus mengikuti sekolah negeri standar lainnya. Yang
sudah jalan jauh tiba-tiba ditarik kembali ke belakang. Bukan yang belakang
yang harus didorong ke depan dan yang di depan harus diperbaiki sehingga
gerbongnya bisa diisi semua lapisan masyarakat yang berkualitas (bukan oleh
ukuran kaya dan miskin). Bahkan, hakim MK Akil Muchtar dengan sombongnya
menyatakan tidak ada masa transisi. Harus langsung dilaksanakan keputusan MK.
Untung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan cepat "melobi" MK agar diberi
masa transisi.
Menurut saya, keputusan MK ini justru menimbulkan
ketimpangan luar biasa bagi anak-anak bangsa di kemudian hari. Anak-anak orang
kaya banyak sekolah di sekolah swasta mahal dan berkualitas. Bahkan, banyak
yang disekolahkan ke Singapura, Australia, Merika, Inggris, Kanada, dan
sebagainya. Mereka sudah berkiprah di dunia internasional: mulai bidang
perdagangan, hukum, teknologi, pendidikan, dan perbankan. Sementara itu,
anak-anak negeri yang banyak itu ditahan oleh para hakim MK agar tetap
bersama-sama, guyup, dan riuh rendah di "belakang". Mereka dipaksa
untuk menjaga "budaya nasional dan bangsa" yang dibayangkan sangat
subjektif dan sempit oleh para hakim MK.
Justru keputusan MK akan berdampak menimbulkan
diskriminasi bangsa pada kemudian hari. Mereka mentang-mentang mempunyai
kekuasaan besar, keputusannya final dan mengikat. Dalam pemikiran ini,
keputusan MK tentang RSBI/SBI sangat naif dan mengerikan.
Aribowo
;
Dekan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
REPUBLIKA,
26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi