SIDANG Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(8/1), telah mengabulkan gugatan yang diajukan Koalisi Pendidikan ke MK.
Putusan MK itu menghapus dasar hukum sekolah negeri berlabel internasional
(rintisan sekolah bertaraf internasional/RSBI).
Dasar hukum yang terdapat dalam UU No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 50 ayat 3,
secara lengkap berbunyi, `Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional'.
Dasar hukum itu pulalah yang kemudian
melahirkan Permendiknas No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah
Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Bagi pemerintah, dalam hal ini
Kemendikbud, tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi dan menghormati putusan MK
tersebut, sebagai lembaga yang memang bertugas melakukan judicial review
terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Itu sebabnya Mendikbud Mohammad
Nuh, dalam kesempatan pertama menanggapi putusan itu, menyatakan pihaknya akan
patuh dan menghormati apa yang telah diputuskan MK.
Tentu dalam perjalanannya, penghormatan
dan kepatuhan dalam menjalankan keputusan itu harus dipilah dan dipilih. Persoalan
pendidikan bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan atau
mematikan sakelar listrik on-off.
Itu sebabnya MK pun sepakat keputusan
terkait dengan penghapusan RSBI dilakukan secara bertahap. Dalam bahasa lugas
Mendikbud menyatakan RSBI tetap berjalan hingga berakhirnya semester ini.
Apalagi dalam kalimat lain dinyatakan, RSBI bukan ideologi terlarang yang harus
serta-merta dienyahkan.
Tentu apa yang disampaikan Mendikbud
bukan dalam kapasitas pembangkangan, sebagaimana disampaikan segelintir orang.
Itu lebih kepada upaya memikirkan keberlangsungan sebuah proses pendidikan yang
memang tengah berjalan. Apalagi diyakini, RSBI ialah sebuah kebijakan yang
tidak hadir dan berdiri sendiri sehingga pemerintah harus mencarikan solusi
terbaik dan tidak sekadar menutup.
Tulisan berikut ini ingin menyampaikan
duduk perkara terhadap pilihan kenapa pemerintah (Kemendikbud) mengambil
langkah transisi (bertahap) di dalam melaksanakan putusan MK.
Memang persoalannya sudah selesai ketika
Mendikbud dan Ketua MK menyampaikan pernyataan bersama tentang masa transisi
untuk menjalankan putusan MK itu. Itu artinya pemimpin MK pun memahami kondisi
riil di dunia pendidikan, utamanya di RSBI, yang telah diputuskan bertentangan
dengan konstitusi dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Sebuah
Cita-Cita
Tentu tulisan ini tidak hendak membela
atau menyebabkan pembatalan putusan MK tersebut, tapi lebih kepada ijtihad
tentang RSBI. Berangkatnya dari pemikiran sederhana bahwa orang boleh memberi
penafsiran terhadap lahirnya sebuah UU, sama seperti ketika ulama atau kiai
memberi penafsiran terhadap sebuah firman Allah SWT. Bisa jadi ulama atau kiai
satu dengan lainnya berbeda dalam memberi pemahaman.
Dengan menggunakan cara pandang itu,
harus pula dipahami bahwa lahirnya UU No 20 Tahun 2003, yang di dalamnya memuat
sebuah cita-cita luhur agar bangsa ini memiliki lembaga pendidikan bertaraf
internasional, ditampung dalam Pasal 50 ayat 3. Dalam perjalanannya, karena
memerlukan proses dan tidak bisa sebuah keinginan luhur itu dicapai dalam waktu
singkat, dilakukanlah rintisan dalam bentuk RSBI.
Keinginan itu dapat dipahami. Dalam
suasana awal-awal reformasi, bangsa ini berada dalam keterpurukan yang sangat
akibat dampak krisis global dan krisis multidimensional saat itu sehingga wajar
jika muncul cita-cita tersebut, yang kemudian muncul dan dibahasakan dalam
sebuah ayat pada UU Sisdiknas.
Pertanyaannya, apakah tidak boleh bangsa
ini memiliki cita-cita luhur, dengan sekolah nya yang bertaraf internasional?
Apa kah konstitusi kita EBET melarang bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa
lain yang telah maju lebih dahulu?
Jawabnya tentu tidak. Cita-cita
kemerdekaan kita jelas dalam konstitusi. Tekad kita agar bisa maju bersamasama
bangsa lain, yang saat itu sudah merdeka, sudah lebih maju, yang dalam UU
Sisdiknas diidealisasikan sebagai bentuk cita-cita bertaraf internasional.
Lalu di mana kesalahan RSBI? Tidak ada
yang salah jika pola pikirnya seperti itu sehingga sebenarnya tidak
bertentangan dengan konstitusi. Namun harus diakui, dalam praktiknyalah
kesalahan RSBI itu muncul sehingga memunculkan diskriminasi, keterbatasan
masyarakat tidak mampu dalam mengakses RSBI, pungutan, dan lainnya.
Persoalannya, jika praktiknya yang
bermasalah, mestinya praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan
norma UU. Dalam bahasa Mendkibud, norma tidak bisa disandingkan dengan praksis
sehingga putusan MK terhadap RSBI lebih menekankan UU sebagai realitas, padahal
UU harus ditempatkan sebagai idealitas.
Itu pulalah mungkin `ijtihad' yang
dijalankan hakim MK Achmad Sodiki, satu dari sembilan hakim di MK, yang
menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) ketika memutuskan perkara
RSBI.
Konsistensi terhadap putusan MK selama
inilah yang dipegang Sodiki, sebab ia
`berijtihad' bahwa kesalahan dalam
praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma UU. Ada delapan
putusan MK sejak 2009-2012 yang cara berpikirnya seperti itu.
Hakim Sodiki menilai tidak ada kata-kata
dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai bahwa pendidikan
bertaraf internasional bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara
mencerdaskan kehidupan bangsa, menimbulkan liberaisasi, diskriminasi, dan
kastanisasi pendidikan, serta menghilangkan jati diri bangsa. Apa yang
dikemukakan sebagai keberatan oleh para pemohon ialah gejala gejala dalam dunia
praktik pada sebagian penyelenggaraan sekolah yang bertaraf inter nasional, bu
kan normanya yang mengan dung arti libe ralisasi atau ralisasi atau diskrimi
nasi (Gatra, 23/1).
Pada titik itulah hakim Sodiki
--meminjam istilah Andi Irmanputra Sidin--sedang mengingatkan MK untuk melihat
UU sebagai idealitas. Jika penerapan di lapangan buruk, bukan berarti normanya
juga buruk.
Taruhan
Kualitas
Tulisan ini tentu bukan sedang
`menggugat' keputusan delapan hakim MK. Ini sebagai sebuah diskursus
intelektual yang dalam bahasa agama disebut sebagai ijtihad, yang jika salah
sekalipun tetap dapat pahala satu di hadapan Yang Mahakuasa. Apalagi disadari,
sebagai manusia kita tidak lepas dari sifat khilaf.
Ke depan kita berharap yang menjadi
fokus dan perhatian Kemendikbud ialah bagaimana caranya, meski tanpa
embel-embel RSBI atau SBI, upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah dan
lulusannya tetap berjalan karena kualitas bangsa menjadi taruhan.
Itu sebabnya wacana memanfaatkan dana
yang selama ini sudah diputuskan pada APBN dalam DIPA RSBI untuk digunakan bagi
peningkatan mutu sekolah melalui cara hibah kompetisi, seperti selama ini
dilakukan untuk perguruan tinggi, perlu didukung.
Mekanismenya memang perlu disiapkan dan
secara transparan harus dikomunikasikan kepada semua satuan sekolah sehingga
tidak ada lagi anggapan terjadi diskriminasi sebagaimana dalam praktik RSBI.
Kita juga berharap upaya Kemendikbud untuk dalam berkoordinasi, baik dengan DPR
maupun Kementerian Keuangan, terkait dengan revisi penggunaan anggaran, dalam
waktu yang tidak terlalu lama tidak menemukan kendala.
Ke depan, taruhan kualitas pada satuan
pendidikan di berbagai jenjang menjadi sebuah keniscayaan mengingat salah satu
tolok ukur keberhasilan kita yang bisa dilihat dalam hasil Trends In
International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011, yang
diselenggarakan International Study Center, Lynch School of Education, Boston
College, AS, berada di peringkat 40 untuk bidang sains dan peringkat 38 untuk
matematika dari 42 negara.
Fakta tersebut harus dijadikan sebagai
salah satu pemicu untuk berupaya terus meningkatkan mutu dan kualitas dunia
pendidikan kita. Sebagaimana dinyatakan Mendikbud, ada atau tidak ada RSBI/SBI,
komitmen Kemendikbud untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan pendidikan
yang bermutu pada semua satuan dan jenjang pendidikan. Semoga.
Sukemi
;
Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA
INDONESIA, 28 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi