Sangat menarik tulisan
Kurnia JR yang dimuat di rubrik Bahasa Kompas (21/9) dengan judul "Bahasa
Lisan". Menurutnya, tidak banyak wartawan media elektronik, televisi dan
radio, yang bahasa lisannya bagus atau memenuhi standar dan kaidah bahasa baku,
efektif, dan ekonomis ketika menyampaikan laporan langsung. Dia menduga bahwa
para wartawan itu hanya cacat dalam bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis mereka
lebih baik. Penulis yang piawai dan indah dalam tulisan pun tidak niscaya
sempurna dalam ragam lisan. Ini disebabkan oleh kemalasan melatih keselarasan
lidah dengan pikiran.
Bila bahasa lisan yang
memenuhi standar dan kaidah bahasa yang baku dianggap lebih sulit daripada
bahasa tulis, tentu hal ini dapat dimaklumi. Dalam bahasa lisan, penutur atau
penyiar dalam ucapan atau dialog spontan hanya memiliki sedikit waktu untuk
berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai
dengan kaidah bahasa yang baku ketika membuat kalimat. Ini jelas berbeda dengan
bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, kita memiliki banyak waktu untuk berpikir dan
memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai dengan kaidah
bahasa yang baku dalam merangkai sebuah kalimat.
Untuk menguasai bahasa
tulis, kita harus mempelajari tata bahasa yang baku. Sedangkan untuk menguasai
bahasa lisan, kita harus menguasai dengan baik terlebih dulu bahasa tulis. Bila
hanya sampai di sini, tentu ini tidak cukup. Selain belajar dari orang-orang
yang piawai dalam berbahasa lisan, kita pun perlu mempraktikkannya setiap hari.
Ini mungkin yang kurang atau sama sekali tidak kita lakukan.
Kita terlalu meremehkan
bahasa kita, karena menganggap bahasa Indonesia sangat mudah. Kita menganggap
bahwa dalam berbahasa untuk menyampaikan maksud hati kita kepada lawan bicara
yang terpenting adalah dia mengerti kalimat yang kita ucapkan. Sementara
kalimat yang amburadul atau tidak mengikuti kaidah bahasa yang ada tidaklah
menjadi masalah. Yang penting, sekali lagi, lawan bicara kita memahami apa yang
kita maksudkan.
Itu memang benar.
Namun, dalam berbahasa kita harus senantiasa memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukan sehingga kita menjadi piawai dan lawan bicara yang
mendengarkan ucapan kita menjadi terbuai dan memotivasi dirinya untuk melakukan
hal yang sama. Sehingga, berkeinginan menjadi salah satu anggota dari kelompok
intelek dalam berbahasa Indonesia.
Namun, sangat
mengejutkan ketika isteri penulis menceritakan pengalamannya terkait penggunaan
bahasa itu, tepatnya Bahasa Indonesia. Saat itu seorang guru sebuah SMA
terkenal di Manado hendak memfotokopi soal-soal untuk menyeleksi mereka yang
mendaftarkan diri untuk menjadi murid di SMA tersebut. Karena sudah saling
kenal, istri saya bertanya padanya.
"Soal-soal mata
pelajaran apa saja yang hendak difotokopi?" Lantas dia menjawab, "Mata
pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris." "Mengapa tidak ada ada soal
Bahasa Indonesia?" tanya isteri penulis kembali. "Semua calon murid
sudah bisa berbahasa Indonesia. Jadi, itu tidak perlu," sahutnya kembali.
Bukan main. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional kita benar-benar dianggap rendah dan
disepelekan. Pengalaman yang menyedihkan itu terjadi setahun silam. Saat itu,
penulis memberikan ujian mata kuliah Bahasa Indonesia pada mahasiswa sebuah
sekolah tinggi teologi di Manado. Salah seorang mahasiswa yang ikut ujian
berasal dari Filipina. Nilai Bahasa Indonesia yang tertinggi justru diraih oleh
mahasiswa yang berasal dari Filipina itu.
Benar-benar
mengecewakan bagi seorang guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia pula.
Mahasiswa asing justru lebih baik nilainya daripada mahasiswa Indonesia dalam
mata kuliah Bahasa Indonesia. Untuk belajar bahasa Indonesia dari buku,
diperlukan sumber atau buku dengan teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Bila tidak, orang yang belajar langsung dari sumber itu
akan senantiasa membuat kesalahan. Ini terjadi pada seorang pendeta yang
berasal dari Filipina. Pendeta itu sudah lama tinggal di Indonesia. Ia telah
mengikuti pendidikan teologi untuk S-2 dan S-3 di Indonesia. Bahasa
Indonesianya sangat baik.
Namun, Pendeta itu
sering menggunakan kata, "daripada" sedangkan seharusnya adalah kata,
"dari". Ini sebenarnya bukan kesalahan Pendeta tersebut tetapi adalah
sumbernya yang menjadi referensi bagi dirinya untuk belajar Bahasa Indonesia,
yaitu teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Kesalahan penyakit
"daripada" ini sangat mendominasi teks Alkitab.
Agar bahasa lisan
Indonesia sama hebatnya dengan bahasa tulis, maka kita harus melatih dan
mengasahnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, di kantor, dan di
tempat-tempat lain-lain yang mendukung. Namun, faktanya, kita malu dan enggan
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa "resmi" dalam percakapan
di tempat-tempat tersebut.
Sebaliknya, kita sangat
memuji setinggi langit mereka yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa
percakapan di dalam keluarganya, di kantor, dan lain-lain. Lalu, siapa yang
akan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik? Pelajaran sangat berharga itu
harus menjadi cambuk untuk membenahi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar di kalangan anak bangsa. Kalau bukan kita yang bangga terhadap bahasa
nasional kita, siapa lagi?
R
Tuwoliu Mangangue ;
Pengajar
pada Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas
Negeri Manado (Unima) di Tondano, tinggal di Manado
SUARA
KARYA, 19 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi