Rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI) yang tujuannya untuk menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI)
akhirnya dibubarkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan atas
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ketua MK Mahfud MD menjelaskan bahwa dalam UU
Sisdiknas tidak dijelaskan mengenai bentuk pendidikan bertaraf internasional
sehingga akhirnya MK memutuskan Pasal 50 ayat 3 ini dibatalkan. Apa sebenarnya
yang mendasari lahirnya SBI sehingga pemerintah melakukan inisiatif
pengembangan sekolah bertaraf internasional?
Dasar pemikirannya barangkali sebagai upaya
merespons terhadap globalisasidalamhal benchmarking dan mengakomodasi tuntutan
masyarakat terhadap mutu pendidikan yang kompetitif. Selain itu juga dalam
melaksanakan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal
50 ayat (3) yang mengamanatkan agar pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional di mana akhirnya pasal
tersebut yang dibatalkan.
Dasar hukum yang mendasari SBI adalah UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat (3),PP No 19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 61 Ayat (1), PP No 38/2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, PP No 48/2008 tentang Pendanaan
Pendidikan, PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,
Permendiknas No 63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, serta
Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Berdasarkan landasan hukum tersebut kemudian
dirumuskan bahwa pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan setelah memenuhi standar nasional pendidikan (standar) dan
diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. Hasil akhir dari SBI adalah
meningkatkan kualitas dan daya saing baik di tingkat regional maupun
internasional serta dalam upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.
Harus diakui, dalam perencanaan, pemerintah
memang hebat sebagaimana perencanaan- perencanaan bidang pendidikan sebelumnya.
Hanya, pemerintah selalu kedodoran ketika rencana yang dibuatnya
diimplementasikan di lapangan. Keinginan pemerintah untuk menjadikan peserta
didik menjadi berkualitas sebenarnya bagus dan harus didukung. Kendati
demikian, apakah RSBI merupakan sebuah solusi untuk mencapai tujuan tersebut?
Realitas pendidikan tidak berada di gedung-gedung ber-AC di mana kebijakan ini
dibuat atau menjadi milik peserta didik yang ada di kotakota besar.
Pendidikan yang sebenarnya berada di pegunungan,
di pantai, di pedalaman, dan di daerah-daerah yang selama ini tidak mampu
mengakses informasi sebagaimana dilakukan oleh mereka yang tinggal di kota-kota
besar. Meminjam istilah Joseph Stiglitz, kebijakan yang disusun di Jakarta
tersebut seperti sebuah bom yang dijatuhkan dari ketinggian 5000 kaki di mana
Kemendikbud yang berkedudukan di Jakarta seringkali abai atau berpura-pura
tidak tahu dengan kondisi di lapangan saat kebijakan itu diimplementasikan.
Cacat
Bawaan
RSBI sudah sejak kelahirannya memiliki banyak
persoalan. Pertama, RSBI tidak memiliki dasar filosofis dan strategi
kebudayaan. Tidak ada kejelasan ke arah mana sebenarnya peserta didik ini mau
dibawa. Pejabat-pejabat terkait sering memberikan jawaban yang sifatnya
normatif, sebagai akibatnya program ini hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek
dan bersifat pragmatis atau yang lebih ekstrem, memenuhi keinginan kelompok
tertentu yang memiliki kewenangan dalam pembuatan kebijakan.
Kedua, RSBI merupakan upaya untuk
mengomersialisasikan pendidikan karena RSBI yang nanti berhasil menjadi SBI tak
ada bedanya dengan sekolah swasta. Jika sudah menjadi sekolah SBI, mereka tidak
lagi mendapat bantuan dari pemerintah dan memiliki kebebasan untuk memungut
biaya dari masyarakat, dan yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan dan
hal ini terlihat bahwa secara sistematis pemerintah akan membawa pendidikan
pada mekanisme pasar.
Ketiga, pemerintah tidak menyadari bahwa saat
ini yang terjadi di dunia pendidikan adalah krisis di dalam kelas, di mana
terlalu banyak hal yang tidak pernah dipertanyakan dan diuji kebenarannya
karena siswa,apa pun model pendidikannya, hanya disuruh menghafal sebagaimana
terjadi pada masa lalu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Persoalannya terletak
pada kualitas guru yang tidak pernah dibekali filosofi pendidikan tertentu juga
pelatihan yang memadai ketika menjadi guru.
Dampak yang ditimbulkan dari kondisi yang
semacam ini adalah sekolah-sekolah menjadi, apa yang disebut oleh Raymond
Callahan (1962),“sekte pemujaan administrasi.” Keyakinan keyakinan akan
pendidikan dengan mudah dikorbankan pada “altar”kelancaran pencapaian target
administratif. Kepala sekolah dan wakil-wakilnya sibuk mengurusi akreditasi dan
berjuang dengan segala cara agar sekolahnya mencapai atau mempertahankan
peringkat “A”.
Mereka berusaha matimatian agar banyak peserta
didiknya yang lulus dan untuk itusekolah-sekolah “membuang” murid–murid yang
sekiranya pada saat ujian nasional (UN) nanti tidak akan lulus atau mendapatkan
nilai buruk melalui kesediaan orang tua untuk menarik anaknya dari sekolah dan
meminta untuk memindahkannya ke sekolah lain. Kalaupun terpaksa murid-murid
tersebut naik kelas,pada saat UN dengan tanpa berdosa guru-guru tersebut
membiarkan murid-muridnya menyontek atau bahkan memberikan kunci jawaban.
Pada sisi lain guru-guru sibuk mengurusi
persyaratan sertifikasi guru bahkan dengan berbagai macam cara agar mendapatkan
sertifikat seminar atau meminta orang lain menuliskan karya-karya ilmiah demi
persyaratan mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Dalam kondisi seperti ini,
kehadiran RSBI tentu justru akan memperparah kondisi pendidikan karena semua
dilakukan bagi kepentingan administrasi,
bukan pada substansi pendidikan itu sendiri
yakni mengangkat harkat derajat manusia setinggi-tingginya yang tentunya
dilakukan tanpa ada unsur diskriminasi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Keempat, RSBI jangan-jangan merupakan salah satu upaya untuk menghabiskan
anggaran 20% APBN karena pemerintah tidak memiliki strategi pendidikan yang jelas
dan cara termudah untuk menyerap anggaran melalui kegiatan yang bersifat
pemberian bantuan tunai.
Filosofi
Pendidikan
Kalau kita mau jujur dan rendah hati untuk
mempelajari dan bergumul dengan dunia pendidikan, kita dapat menengok Ki Hajar
Dewantara yang sebenarnya telah mewariskan filosofi pendidikan yang pas bagi
bangsa ini, ing ngarso sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi
teladan atau contoh tindakan yang baik), ing madya mangunkarsa (di tengah atau
di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan tut wuri
handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan
arahan).
Pendidikan tidak semata-mata masalah
kesejahteraan. Banyak guru-guru yang sudah memiliki pendapatan yang cukup tidak
menginvestasikan uangnya untuk memutakhirkan pemikirannya melalui pembelian
buku-buku misalnya, tapi malah sibuk membeli barang-barang konsumtif atau
menginvestasi dalam bentuk lain yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan.
Itulah mengapa kemudian RSBI menjadi “Separuh Aku (RSBI), Separuh Rancu”.
Fajar
S Roekmanto ;
Dosen
Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia
SINDO,
19 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi