KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK)
membubarkan sistem rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah
bertaraf internasional (SBI) menimbulkan berbagai reaksi. Kolom ini tidak
membicarakan benar-tidaknya keputusan atau sistem tersebut karena kita memang
sedang terus mencari formula yang tepat untuk mendidik anak bangsa yang
jumlahnya akan terus meningkat sesuai dengan ledakan penduduk.
Dilema yang umum dihadapi masyarakat
negara-negara berkembang ialah memilih sistem pendidikan yang bisa meningkatkan
taraf hidup untuk mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju. Masyarakat
Jepang, misalnya, memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan formal dan
nonformal. Sejak Restorasi Meiji lebih dari satu abad yang lalu (1852-1912),
Jepang mempunyai hasrat besar untuk mengatasi ketertinggalan mereka dari kemajuan
Barat. Mereka tidak henti-hentinya menerjemahkan buku-buku asing, khususnya
dari Amerika dan Eropa, ke dalam bahasa Jepang. Dari penduduk Jepang yang
seluruhnya berjumlah sekitar 130 juta jiwa, sekitar 127 juta jiwa tinggal di
Jepang. Lebih dari separuhnya bekerja di industri ilmu pengetahuan, yang
mencetak ribuan buku tiap tahunnya.
Profesor Ryokichi Hirono, ahli ekonomi
dari Universitas Teiko, pernah menyatakan bahwa Jepang bisa semaju sekarang
terutama berkat antusiasme mereka di bidang pendidikan. Korea Selatan juga
tumbuh pesat karena penggiatan pendidikan mereka sejak Perang Dunia II. China,
yang sudah mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika sejak dari sekolah dasar,
terbukti juga maju pesat. Mereka tidak khawatir anak-anak itu diresapi ideologi
Barat. Menurut pengalaman Jepang, banjir ilmu pengetahuan dari Barat toh tidak
mengikis kepribadian mereka sebagai orang Jepang.
Pendidikan
Sebagai Pupuk Kemajuan
Lebih dari seperempat abad yang lalu, 21
pakar pendidikan kita bertemu dan berembuk dengan diketuai Prof Dr Slamet Iman
Santosa (alm) dan Prof Sumitro Djojohadikusumo (alm) sebagai wakil. Kelompok
yang disebut Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional itu selama satu setengah
tahun berembuk menyusun konsep untuk mendidik para siswa supaya mampu memenuhi
tantangan zaman. Begitu hakikatnya. Agar tuntas, banyak pihak dimintai
pendapat. Hasilnya bak disertasi tingkat tinggi.
Soal pendidikan tidak hentihentinya
menjadi sorotan. Sejak dulu kita menyadari perubahan zaman menuntut perubahan
sikap dan perilaku kita semua, dari pemimpin sampai pekerja biasa. Jalan paling
cepat dan tepat melakukannya memang lewat pendidikan, lewat rekayasa sosial.
Yang terpenting menciptakan sistem politik, ekonomi, dan sosial yang memberi
jalan ke arah itu; dan bila perlu mengenakan sanksi-sanksi hukum terhadap
unsur-unsur yang merugikan gerakan menuju itu. Untuk sementara, itu bisa
mengatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyalahgunaan sistem pendidikan
agar tidak semata-mata mengeruk keuntungan.
Masalahnya, bidang pendidikan menawarkan
begitu banyak kesempatan untuk menjalankan bisnis di bidang itu. Ada
pilihan-pilihan yang terbuka antara sistem pendidikan yang membagi jatah
pendidikan dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Misalnya berbagai kursus
keterampilan dalam berbagai hal jumlahnya menjamur, yang memberikan keuntungan
besar bagi penyelenggaranya; antara lain salon kecantikan, kursus komputer dan
bahasa, dan berbagai kursus teknik. Di samping itu, ada lembaga-lembaga
pendidikan yang memang dijalankan untuk menjawab kebutuhan negara; termasuk
berbagai sekolah swasta dan semacamnya.
Tanpa pengaturan yang jelas, apakah bisa
disalahkan bila para orangtua menghendaki anak-anak mereka mengikuti pendidikan
di sekolah-sekolah yang menawarkan kurikulum terbaik? Pendidikan bermutu tentu
memakan biaya. Maka mana yang dipentingkan? Pemerataan pendidikan yang diatur
negara atau pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan keinginan masyarakat?
Kesulitan
Memeratakan Pendidikan
Bila kita menginginkan produk pendidikan
yang bisa dimanfaatkan secara efektif oleh masyarakat banyak, yang terbanyak
diperlukan sekarang ialah tenaga-tenaga kerja yang dididik untuk menangani
bidang pertanian dan industri kecil. Bidang-bidang yang menurut analisis para
ahli akan bisa membawa masyarakat lebih dekat ke pemerataan pendapatan asalkan
pemerintah memang mengambil kebijakan ke arah itu, hingga penanganannya dapat
lebih terencana. Untuk itu, yang terbanyak dibutuhkan bukan ahli-ahli
pertanian/ industri lulusan akademi atau universitas, melainkan tenaga-tenaga
kerja tingkat bawah dan menengah yang mendapat didikan praktis tentang
bagaimana cara menggarap tanah atau bidangnya.
Apakah itu yang kita inginkan? Sampai
saat ini, rasanya kita belum pasti langkah apa yang akan diambil mengingat
banyaknya faktor yang harus dipertimbangkan. Pertama, apakah kita menginginkan
pertumbuhan ekonomi yang pesat ataukah pemerataan pendapatan yang cepat? Kedua,
apakah pertimbangan politik memungkinkan kita menjatah pendidikan?
Dalam alam demokrasi, setiap warga
berhak mendapat kesempatan yang sama.
Masyarakat pun belum tentu siap mental
untuk mendapat pendidikan yang nantinya akan membagi-bagi mereka dalam kelompok
tani di bawah, kelompok industri/dagang di tengah, dan kelompok intelektual di
atas--sekadar sebagai contoh.
Lagi pula, sesuai dengan alam demokrasi,
wajar bila para orangtua bercita-cita membuat anak mereka menjadi sarjana
karena mereka yakin peningkatan pendidikan berarti peningkatan penghasilan dan
status sosial. Quo vadis pendidikan kita? Mungkin dibutuhkan rumusan yang
memberi harapan untuk semua pihak.
Toeti
Prahas Adhitama ;
Anggota
Dewan Redaksi Media Group
MEDIA
INDONESIA, 18 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi