Tepat pada tanggal 8 Januari 2013
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 kembali menunjukkan
semangat perlawanan terhadap kapitalisme yang menggerogoti bangsa ini. Dengan dibatalkannya Pasal 50 ayat (3)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait
pengaturan keberadaan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan
Sekolah Berstandar Internasional (SBI) semakin membuktikan bahwa pendidikan itu
untuk semua, bukan untuk kalangan tertentu semata.
Pelaksanaan RSBI dan SBI selama ini
diagung-agungkan oleh beberapa sekolah yang merasa berprestasi, telah berakhir. Sebab dengan adana predikat tersebut
memberikan hak previlage kepada sekolah berstatus RSBI dan SBI untuk mendapa
fasilitas atau sarana lainnya yang tidak didapatkan oleh sekolah Non–RSBI dan
SBI. Di samping itu sekolah RSBI dan SBI juga
diperbolehkan untuk melakukan pungutan-pungutan tertentu terhadap siswa dengan
alasan untuk peningkatan mutu sekolah, sehingga pembiayaan tersebut sangat
membebankan para orang tua siswa. Perbedaan tersebut akan semakin kentara di
sekolah-sekolah penganut dulisme sistem, yang memiliki beberapa lokal RSBI atau
masih ada kelas reguler.
Adanya pembedaan kelas tersebut memiliki
dampak negatif terhadap proses pendidikan, dimana siswa yang berada di kelas
RSBI merasa lebih hebat daripada siswa yang berada di kelas reguler. Tidak hanya siswa, perlakuan diskriminatif
juga terjadi dikalangan tenaga pendidik, dimana guru selalu membangga-banggakan
siswa kelas RSBI kepada siswa kelas reguler yang cenderung membandingkan kedua
kelas tersebut.
Perlakuan-perlakuan diskriminatif tersebut
memiliki dampak negatif terhadap para siswa, hal tersebut akan menjadikan siswa
yang berada dikelas reguler merasa rendah diri, sehingga akan akan menghambat
proses transformasi ilmu di sekolah, dan akan menghilangkan tujuan atau hakikat
pendidikan itu sendiri. Padahal belum tentu siswa di kelas RSBI lebih
hebat dibanding siswa Reguler, sebab untuk masuk kelas RSBI yang pertamakali
berbicara adalah uang, siapa yang memiliki uang maka dia diprioritaskan untuk
masuk kelas RSBI, sehingga mereka yang lebih berprestasi tapi tidak memiliki
cukup uang maka jangan harap untuk diprioritaskan masuk kelas RSBI.
Putusan
MK, Harapan Dunia Pendidikan
Ibaratkan tokoh fiksi Superman yang menolong
orang-orang yang terancam bahaya, MK dalam hal ini bisa dikatakan sebagai
pahlawan konsititusi. Kalau superman dianggap pahlawan ketika dia
berhasil menyelamatkan ribuan nyawa dari ancaman musuk, maka MK berhasil
menyelamatkan jutaan masyarakat Indonesia dari ancaman kapitalisme pendidikan. Keberadaan RSBI dan SBI menurut MK tidak tepat
atau inskonstitusional. Dalam putusannya MK mengabulkan permohonan para Pemohon
untuk keseluruhannya.
Berikut alasan para Pemohon menyatakan Pasal
50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, pertama,
satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan kewajiban negara
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tidak semata-mata mewajibkan negara
memfasilitasi tersedianya sarana dan sistem pendidikan yang menghasilkan
peserta didik yang memiliki kemampuan yang sama dengan negara-negara maju,
tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar
budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa
pengantar pada RSB dan SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya
dan jiwa bangsa Indonesia.
Kedua, satuan pendidikan bertaraf
internasional menimbulkan dualisme sistem pendidikan. Dengan adanya RSBI-SBI
menyebabkan terjadinya dualisme sistem pendidikan di Indonesia yaitu sistem
pendidikan nasional dan sistem pendidikan (bertaraf) internasional. Dalam pelaksanaannya sekolah bertaraf
internasional berorientasi kepada kurikulum internasional dan menggunakan
bahasa internasional dalam hal ini bahasa inggris sebagai bahasa pengantar. Sedangkan sekolah umum atau nasional
menggunakan kurikulum nasional dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar.
Ketiga, satuan pendidikan bertaraf
internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan. Jiwa dan semangat
RSBI dan SBI merupakan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan
membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar. Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor
utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Dengan konsep demikian, maka negara mereduksi
peran dan kewajibannya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat
mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara
tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.
Keempat, satuan pendidikan bertaraf
internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan.
Keberadaan RSBI dan SBI membuka potensi lahirnya diskriminasi. Dengan citra
RSBI-SBI di daerah-daerah menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah unggulan. Oleh karenanya dinilai wajar jika sekolah
selektif dalam menerima siswanya. Namun prateknya dasar seleksi yang dilakukan
pihak RSBI atau SBI tidak saja memperhatikan kemampuan intelektual dari
siswanya namun juga kemampuan finansial dari orang tua siswa. Disamping itu satuan pendidikan bertaraf
internasional melalui RSBI dan SBI juga menyebabkan terjadinya kastanisasi
(penggolongan) dalam bidang pendidikan. Hanya siswa dari keluarga kaya atau
mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI (sekolah kaya atau
elit). Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau
tidak mampu (miskin) hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum
(sekolah miskin). Selain itu muncul pula kasta dalam sekolah seperti yaitu SBI,
RSBI dan Sekolah Reguler. Bahkan dalam satu lingkungan sekolah juga
muncul kasta kelas RSBI maupun kasta kelas reguler. Kastanisasi mengingatkan
pada sistem kolonial yang membeda-bedakan antara pendidikan untuk bumi putera,
pendidikan untuk timur asing, dan pendidikan untuk kaum penjajah.
Kelima, satuan pendidikan bertaraf
internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang
berbahasa Indonesia. Proses pendidikan RSBI atau SBI ditekankan kepada mata
pelajaran bahasa inggris, matematika dan fisika serta penggunaan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar. Penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa
pengantar di sekolah yang dikelola pemerintah akan mengurangi makna bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 36 UUD 1945
yang menyebutkan "bahasa negara adalah bahasa indonesia".
Kelima hal di atas yang menjadi poin yang
menjadi alasan para Pemohon mengajukan permohonan untuk pembatalan Pasal 50
ayat (3) UU Sisdiknas, yang dalam hal ini dijadikan MK sebagai alasan
pertimbangan dalam putusannya. Jika mengutip pendapat Hywel Coleman konsultan
pendidikan dari British Council dan pengajar di Universitas Leeds, Inggris pada
tahun 2011 tentang RSBI pada intinya menyebutkan penggunaan bahasa Inggris
dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia dari
siswa. Mestinya Indonesia menyiapkan siswa berwawasan
internasional dengan bangga terhadap budaya bangsanya. Bukan dengan mengubah
cara penyampaian pelajaran menggunakan bahasa Inggris (Putusan MK No.
5/PUU-X/2012, hlm. 50).
Undang-Undang
Pendidikan Tinggi Menanti
Dikabulkannya permohonan Pembatalan terhadap
Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas menambah rentetan permohonan pembatalan
pasal-pasa pada undang-undang terkait pendidikan yang dibatalkan MK. Sebelumnya Undang-Undang No 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dibatalkan oleh MK keseluruhannya.
Pembatalan UU BHP juga tidak lepas dari adanya upaya internasionalisasi,
dikriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan, sebagaiman yang terjadi dalam UU
Sisdiknas. Pembatalan terhadap pasal-pasal pada
undang-undang terkait pendidikan itu, mencerminkan tidak adanya upaya
pemerintah untuk memajukan pendidikan sebagaimana yang di cita-citakan, yang
juga diamanatkan dalam Konstitusi negara ini.
Adapun upaya untuk memajukan pendidikan hanya
terjadi pada kalangan tertentu, serta menciptakan diskriminasi, dan memuaskan
kalangan-kalangan tertentu. Campur tangan MK dalam membendung upaya-upaya
liberalisasi, diskriminasi, kastanisasi, dan upaya-upaya lainnya terhadap dunia
pendidikan masih belum berakhir, mungkin tidak akan pernah berakhir.
Lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang diundangan 10 Agustus 2012 lalu,
memberikan tugas baru terhadap MK, sebab undang-undang yang baru lahir tersebut
tidak jauh beda dengan para pendahulunya terutama dengan UU BHP, adapun
perbedaan lebih kepada penamaan, dan gramatikal yang lebih diperhalus.
UU Dikti ini telah diajukan permohonan
Judicial Review oleh beberapa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi, secara
terpisah. Permohonan tersebut telah diajukan beberapa
bulan setelah undang-undang tersebut di sahkan, dan sedang proses di MK. Adapun
alasan pengajuan permohonan tidak jauh berbeda dengan alasan pada UU BHP dan UU
Sisdiknas, bedanya UU Dikti ini khusus untuk pendidikan tinggi.
Semoga pengajuan Judicial Review terhadap UU
Dikti tersebut, dapat berakhir seperti halnya permohonan terhadap UU BHP, dan
UU Sisdiknas yang telah dikabulkan MK. Sehingga upaya-upaya komersialisasi pendidikan
oleh pihak-pihak tertentu di negara ini tidak terjadi atau tidak terwujud.
Sehingga tujuan dan hakekat dari pendidikan tersebut dapat diwujudkan, demi
kemajuan bangsa ini.
Syahrul
Fitra ;
Pengabdi
Bantuan Hukum LBH Padang,
Anggota
Komnas Pendidikan
NEWS.DETIK.COM,
14 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi