Tak bisa
dimungkiri bahwa program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) telah
menciptakan diskriminasi dalam akses masyarakat terhadap pendidikan yang
berkualitas. Ini karena RSBI biasanya memilih dan menyeleksi calon siswa dari
kalangan tertentu sejak awal. Program RSBI lebih jauh dinilai sebagai program
yang telah menghabiskan anggaran pendidikan nasional secara tidak tepat
sasaran.
Pembubaran RSBI
menjadi tamparan tersendiri bagi pemerintah yang selama ini bertanggung jawab
sebagai pelaksana. Betapa tidak, program yang dulu dianggap "proyek
mercusuar" dan menjadi kebanggaan untuk sebagian kalangan ini harus
berakhir tragis di ketukan palu hakim MK.
Pascakeputusan
ini, pemerintah suka ataupun tidak suka tentu wajib mematuhi amar keputusan MK.
Jika ada pemerintah daerah yang membandel dengan keputusan ini atau masih ingin
mempertahankan eksistensi RSBI di daerahya maka Akil Mukhtar (salah seorang
hakim dan juru bicara MK) menegaskan bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan
melawan hukum.
Karenanya, semua
sekolah yang berlabel RSBI harus dikembalikan statusnya ke sekolah reguler.
Segala pungutan atas nama RSBI harus dihentikan. Segala bentuk administrasi
sekolah, bahkan plang nama sekolah yang ada tulisan RSBI-nya pun harus diganti.
Mentri
Kemendiknas M Nuh dalam beberapa kesempatan menyatakan legowo dan menghormati
keputusan MK ini. Pemerintah awalnya berharap bahwa penutupan itu tentu tidak
bisa serta-merta dilakukan karena tahun ajaran di sekolah sedang berjalan. M
Nuh bahkan mengatakan bahwa sampai akhir tahun ajaran selesai, RSBI masih
dibolehkan memungut SPP kepada orang tua murid (Republika, 11/01/2013).
Namun, keputusan
MK adalah tegas dan mengikat. Dengan sendirinya segala kegiatan yang terkait
RSBI harus dihentikan. Oleh karena itu, edaran Kemendiknas(?) terbaru kemudian
berubah dan menyatakan melarang semua sekolah berlabel RSBI memungut sumbangan
atau SPP pascakeputusan MK ini.
Masyarakat mesti
ikut mengawal dan mengawasi pelaksanaan amar keputusan MK ini karena ada kekhawatiran
sebagian masyarakat bahwa bisa saja RSBI hanya berganti nama atau label dengan
istilah non-RSBI. Beberapa pemerintah daerah bisa saja mengganti label RSBI
menjadi sekolah unggulan, sekolah mandiri, atau sekolah model, misalnya. Jika
keberadaan sekolah (negeri) ini secara substansi masih mempertahankan prinsip
diskriminatif, masyarakat wajib menolak.
Sekolah Tak Bubar
Tentu harus
ditegaskan bahwa keputusan MK bukanlah membubarkan keberadaan sebuah sekolah.
Yang dibatalkan MK adalah pelaksanaan program RSBI. Karenanya, segala proses
belajar mengajar di semua sekolah RSBI itu harus tetap berjalan sebagaimana
biasa.
Mungkin akan
terjadi sedikit culture shock setelah pembubaran program RSBI ini di kalangan
guru, siswa, kepala sekolah, ataupun mungkin pada sebagian orang tua.
Keterkejutan seperti itu sangat mungkin terjadi karena sebagian mereka bisa
saja sangat menikmati label RSBI. Bagi pihak pengelola sekolah, keterkejutan
bisa terjadi karena sekolah tidak bisa lagi menerima kucuran dana yang lumayan
besar seperti sebelumnya.
Namun, rasa ini
tentu tidak boleh men jadi alasan bagi semua pihak di sekolah untuk berhenti
berusaha menjadi yang terbaik. Pertama, karena memang sekolah itu sendiri masih
ada dan tidak ikut bubar bersama hilangnya program RSBI. Kedua, karena sekolah
mantan RSBI itu tentu memiliki banyak nilai lebih dan potensi yang bisa terus
dikembangkan. Di lain pihak, selain memperhatikan nasib semua sekolah mantan
RSBI ini agar terus berkembang dan berprestasi, pemerintah diharapkan terus mengembangkan
program peningkatan kualitas pendidikan yang menyentuh semua kalangan anak
bangsa.
Beberapa program
bagus di Kemendikbud yang sedang berjalan, seperti akreditasi sekolah,
sertifikasi guru dan pengawas sekolah, subsidi biaya pendidikan melalui program
BOS, dan pemberian block grant pembangunan fisik sekolah, pantas diteruskan,
tentu dengan terus dievaluasi dan diperbaiki sistem pelaksanaanya.
Pelaksanaan
hibah kompetitif yang di wacanakan pemerintah sebagai alternatif solusi
perbaikan mutu sekolah pascapenghapusan RSBI juga layak dilanjutkan. Tentu
dengan tetap mempertimbangkan fakta perbedaan yang masih tajam dalam banyak hal
antara sekolah tertentu di perkotaan dan sekolah di pelosok daerah. Harus
dipikirkan pula mekanisme dan persyaratan yang berbeda, bagaimana
sekolah-sekolah yang selama ini terpinggirkan juga memiliki peluang untuk
memenangkan dana hibah atas kompetisi tersebut.
Saya
berkeyakinan bahwa jika program yang saya sebut di atas bisa terus kita lakukan
dengan baik, dievaluasi, dan diperbaiki kelemahan sistemnya, perlahan tapi
pasti, insya Allah dunia pendidikan kita akan semakin baik. Bukankah pendidikan
adalah sebuah investasi jangka panjang? Karenanya, mari terus menanam usaha dan
kebaikan di dunia pendidikan kita. Insya Allah pendidikan kita akan jaya pada
waktunya walau tanpa embel-embel RSBI. Wallahua'lam.
Afrianto Daud ;
Kandidat PhD di Fakultas Pendidikan, Monash
University Australia
REPUBLIKA, 15 Januari 2013
Masyarakat perlu kritis dan menggali banyak informasi tentang semua program pendidikan. Hampir semua program yang dibuat Departemen Pendidikan jauh dari harapan. Wapres Budioni mengatakan tujuan pendidikan Abstract, tidak jelas, mau jadi apa lulusannya ? Pendidikan harus menghasilkan pemimpin, profesional dan entreprenuer yang menentukan negara maju atau mundur, bangkit atau hancur. Apa tujuan RSBI ? Kalau dibuat gantinya tanya dulu apa tujuannya? Masyarakat tidak biasa tanya tujuan dan manfaat, asal kulitnya bagus langsung beli, baru kaget setelah dalamnya busuk.
BalasHapus