Setelah beberapa lama debat pro-kontra
kurikulum 2013 berlangsung secara intensif di berbagai forum dan di media
massa, Kamis, 28 Maret lalu, dalam sebuah forum sosialisasi di Jakarta,
Mendikbud M Nuh mengeluarkan pernyataan, “Sudah bukan saatnya lagi mendebat
kurikulum 2013.“ Dalam acara yang sama, Mendikbud juga mengatakan, “Kurikulum
2013 adalah soal akademik, bukan politik.“
Sebenarnya, di berbagai kampus seperti ITB,
Unpad, dan UI, telah dilakukan diskusi akademik untuk mengkaji kurikulum 2013
dari berbagai perspektif, mulai sains, bahasa, filsafat, sampai ke strategi
implementasinya. Mendikbud mungkin terlewat mengetahui kajian akademik semacam
itu karena sedang sibuk sosialisasi kurikulum 2013 ke berbagai ormas, pemimpin
daerah, dan ke partai politik. Ia bahkan berkunjung ke rumah ketua partai
seperti diceritakan salah seorang ketua umum partai politik. Tentu safari
seperti itu lebih bisa kita sebut sebagai safari politik daripada safari
akademik.
Mendikbud juga menyatakan ia terbuka pada
segala kritik asal disertai solusi. Lagilagi, solusi sebenarnya juga disuarakan
para `pengkritik'. Diskusi akademik yang diadakan Majelis Guru Besar ITB,
misalnya, mengeluarkan rekomendasi terkait dengan penyusunan dan penerapan
kurikulum baru. Namun memang, ada tawaran solusi serupa yang disuarakan
sebagian besar mereka yang mengkritisi kurikulum 2013, yaitu penundaan
implementasi kurikulum baru agar penyusunan dan persiapannya bisa lebih
dimatangkan. Sayangnya, penundaan tidak
ada dalam kamus Kemendik bud. Sejak awal kita sudah dihadapkan pada pernyataan
bahwa kurikulum 2013 ialah sesuatu yang penting dan genting sehingga
pelaksanaan tahun ini juga harga mati.
Terakhir, Mendikbud mengatakan para pengkritik
kurikulum 2013 bukanlah pemain inti. Maksudnya, para pengkritik bukan termasuk
pemilik dan pengelola sekolah yang berkepentingan langsung terhadap kurikulum
sehingga kritik mereka tidak dipandang signifikan. Itu merupakan perubahan
sikap yang signifikan jika dibandingkan dengan saat awal meluncurkan `uji publik'
kurikulum 2013 yang bersemangat `mencari masukan dari berbagai lapisan
masyarakat'.
Focusing
Illusion
Hiruk-pikuk kurikulum 2013 sebenarnya
menggambarkan betapa focusing illusion sudah memengaruhi cara kita memandang
permasalahan pendidikan. Focusing illusion ialah bias berpikir yang kita alami
saat kita terlalu menganggap penting satu aspek sehingga kita salah memprediksi
dampak dari aspek tersebut terhadap hasil secara keseluruhan.
Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, memberi
contoh tentang focusing illusion itu. Ia meneliti, apabila seluruh orang di
dunia ini memiliki tingkat persekolahan yang sama, kesenjangan pendapatan di
dunia ini ternyata hanya akan berkurang 10%. Tingkat persekolahan memang
berpengaruh terhadap kesenjangan tingkat pendapatan. Namun karena begitu banyak
faktor lain jarang dibahas, kita salah mengasumsikan pengaruh faktor
persekolahan terhadap pendapatan menjadi lebih besar daripada yang se benarnya.
Para pemasar dan politikus sangat andal dalam
memanfaatkan focusing illusion. Contohnya, jangankan kurikulum, kita bahkan
bisa dibuat percaya bahwa seragam sekolah akan sangat memengaruhi arah dan
kualitas pendidikan bangsa. Tentu seragam sekolah bisa saja memengaruhi
kualitas pendidikan, tapi perbedaannya akan jauh lebih kecil daripada yang kita
kira apabila kita dipaksa berfokus memandang satu aspek itu saja.
Lalu bagaimana dengan kurikulum baru yang
`penting dan genting' itu? John Hattie, profesor pendidikan dari Selandia Baru,
melakukan metaanalisis terhadap lebih dari 800 faktor yang memengaruhi kualitas
pendidikan. Hasilnya? Faktor-faktor puncak dipenuhi faktor yang terkait dengan
guru. Kualitas guru, misalnya, memiliki
nilai dampak dua kali lipat faktor kurikulum integratif. Berbagai penelitian
lain juga mendukung apa yang sering kali diteriakkan pakar dan praktisi
pendidikan di Indonesia bahwa yang penting dan genting diperbaiki saat ini
ialah kualitas guru.
Pendewaan
terhadap Persekolahan
Selain asumsi bahwa kurikulum baru ialah obat
dewa bagi berbagai permasalahan pendidikan dan bangsa, sesungguhnya ada
focusing illusion yang lebih kronis diderita masyarakat kita. Yaitu, menganggap
sekolah formal sebagai satu-satunya cara untuk menjadi terdidik. Lebih parah
lagi, sebegitu pentingnya sekolah formal se suai de ngan model dan standar
pemerintah da lam persepsi masyarakat, sampai masyarakat perlu memasrahkan
segala urusan pendidikan anak kepada pemerintah dengan berbagai kebijakannya.
Paul Goodman, pemikir sosial dari Amerika,
telah sejak 1960-an menyuarakan kekhawatirannya tentang dominasi sekolah publik
dalam pendidikan. Ia mengatakan memfasilitasi tumbuh kembang anak melalui
metode dan kurikulum yang kaku, seragam, dan penuh asumsi akan menyia-nyiakan
kemampuan terbaik manusia untuk belajar dan menjadi mandiri. Sekolah, menurutnya, tidak menyiapkan anak
untuk kontribusi nyata. Menurutnya, pendidikan terbaik ialah pendidikan
insidental di dalam masyarakat, yaitu saat anak terlibat aktif dalam aktivitas
kehidupan harian masyarakat dan belajar darinya. Tugas pendidik ialah menemukan
kesempatan dan menjembatani pendidikan insidental itu dalam aktivitas-aktivitas
yang ada di masyarakat.
Sayangnya, peringatan Paul Goodman itu
cenderung terabaikan. Sejak era Paul Goodman, persekolahan formal berparadigma
sistem industri dan ban berjalan malah semakin mendominasi dunia pendidikan.
Namun saat ini, paradigma itu mulai goyah. Banyak pakar dan praktisi dari
berbagai bidang menyuarakan kembali pentingnya reformasi, bahkan revolusi,
pendidikan. Sugata Mitra, profesor penggagas
self-organized learning environment, menyatakan, “Sistem pendidikan tidak
cacat. Ia bekerja sebagaimana ia dirancang. Namun, saat ini kita tidak
memerlukannya lagi. Sistem pendidikan saat ini sudah kuno.“
Lantas bagaimana kita harus mempersiapkan anak
agar menjadi bagian dari masyarakat abad ke-21 yang sudah berubah, ketika kita
justru mengurung mereka lebih lama di sekolah dan memisahkan persekolahan dari
masyarakat? Salah satu kunci pendidikan abad ke-21 ialah integrasi persekolahan
dengan masyarakat. Masyarakat perlu mengambil kembali peran dalam mengkritisi
dan berkontribusi pada persekolahan formal serta ikut pula menyediakan berbagai
model pendidikan bagi anak-anak bangsa. Mungkin karena sistem persekolahan
formal kita selama ini bersifat sentralistis, kaku, dan resisten terhadap
inovasi dari masyarakat, saat ini telah bermunculan berbagai gerakan dan
inovasi pendidikan alternatif dari akar rumput sebagai bentuk perlawanan atau
kekecewaan.
Menggeliatnya komunitas sekolah rumah,
munculnya jejaring belajar dengan model pendidikan alternatif, sampai
berkembangnya fasilitas pembelajaran daring (online) adalah contohnya.
Inisiatif semacam itu mungkin masih dianggap sebagai `shadow education' yang
muncul akibat ketidakpercayaan pada sistem persekolahan. Namun seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangannya yang pesat, model-model pendidikan alternatif
itu sangat berpotensi menjadi pilihan yang setara di mata orangtua bagi pendidikan
anaknya.
Keluarga
sebagai Pendidik Utama
Ketika sekolah mendominasi proses pendidikan,
bu kan hanya masyarakat yang perannya terambil. Yang lebih menyedihkan justru
terambilalihnya peran keluarga. Ki Hadjar Dewantara menyatakan keluarga ialah tempat
pendidikan yang sifat dan wujudnya lebih sempurna daripada tempat pendidikan
lainnya, utamanya dalam hal pendidikan budi pekerti. Menurutnya pula, alam
keluarga pun ialah sebaik-baiknya tempat melakukan pendidikan sosial.
Ki Hadjar Dewantara memperingatkan, apabila
rumah pengajaran masih bersifat `sekolahan', yang hanya mendidik kecerdasan dan
mencari pengetahuan, tak perlu heran apabila tujuan pendidikan sosial terdesak
dan terhambat. Sangat memprihatinkan apabila keluarga membiarkan sekolah mengambil
alih pendidikan moral-karakter dan pendidikan sosial kemasyarakatan karena alam
keluarga merupakan alam pendidikan yang pertama dan paling utama.
Dalam sebuah diskusi terkait dengan kurikulum
2013, Prof Daniel Rosyid membuat perumpamaan bahwa kurikulum 2013 ialah resep
makan siang cepat saji dari Jakarta untuk seluruh anak Indonesia. Sungguh
celaka apabila makan siang seperti itu dibiarkan menjadi satu-satunya makanan
yang didapat anak sepanjang hari. Sungguh celaka pula apabila keluarga tak
melibatkan diri dan hanya melimpahkan sepenuh-penuhnya urusan pendidikan anak
kepada sistem persekolahan yang dikelola pemerintah, lebih-lebih dengan tata
kelola seperti yang kita saksikan saat ini. Sudah saatnya keluarga dan
masyarakat melepaskan diri dari berbagai jebakan focusing illusion, serta
menyadari peran mereka sebagai pemain inti dalam pendidikan Indonesia.
Kreshna
Aditya ;
Inisiator
Bincang Edukasi
MEDIA
INDONESIA, 08 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi