MARI bertanya kepada orang bijak dan coba mencari
tahu apa kira-kira jawabannya jika kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini.
Pertama, faktor apakah yang paling dominan dalam memproduksi rasa dan nilai
superioritas seseorang secara intelektual? Jawabannya adalah sekolah. Jika
sekolah dipercayai sebagai tempat untuk menempa seseorang dalam mengembangkan
kapasitas intelektual, dengan ribuan teks dan buku yang diajarkan dan dibaca
secara reguler dan inspiratif melalui serangkaian proses belajar mengajar yang
baik, tak mengherankan apabila sampai saat ini masih banyak orang yang menaruh
harapan terhadap eksistensi sekolah.
Meskipun sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau
karantina yang mungkin saja membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling
society), hingga saat ini hanya lembaga itulah (sekolah) yang di luar
keluarga (family) masih memiliki kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap
perorangan maupun kelompok.
Hasil dari pendidikan di sekolah juga yang membuat
orang memiliki sistem dan skema nilai (value) seseorang secara material
berdasarkan tingkat pendidikannya. Siswa terus dinilai berdasarkan grades/
kelasnya, guru dinilai berdasarkan lama dan pengalaman bekerjanya, kurikulum
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pembiayaan
orangtua/komunitas tertentu, dan lain sebagainya.
Pendek kata, semua pendekatan yang berkaitan dengan
sekolah selalu memiliki nilai material lantaran semakin lebar letak
stratifikasi sosial terjadi, semakin besar pula tingkat perbedaan kualitas satu
sekolah dengan lainnya. Di zaman yang serbamaterial ini, tujuan sekolah gampang
dibentuk berdasarkan teori kapitalisme sederhana: supply and demand.
Semakin masyarakat menginginkan sebuah sekolah berkualitas, kebutuhan
pembiayaan sekolah pun meningkat.
Selain itu, menurut Prof Dr Komaruddin Hidayat
sistem pendidikan kita terlihat gamang dengan lamban dalam menghadapi dan
mengantisipasi realitas global. Beliau menyebut setidaknya ada 4 (empat)
tantangan global yang belum sepenuhnya menjadi policy dari otoritas pendidikan
kita.
Pertama adalah belum merata dan rendahnya
penguasaan IT di sekolah-sekolah kita, padahal arus informasi yang dibenamkan
TV makin tak bisa dikendalikan. Kedua adalah berkembangnya isu internasional
standar yang menjadi ciri dominan pendidikan global saat ini. Di kota-kota
besar di Indonesia bertumbuhan sekolah dengan karakteristik dan menamakan
dirinya sebagai sekolah internasional. Itu yang menyebabkan otoritas pendidikan
kita juga seperti latah ingin mengembangkan program serupa, tapi minim
assessment dan terkesan hanya upaya pemborosan dana.
Ketiga, menyangkut kondisi Indonesia yang secara
geograļ¬ amat luas sehingga disparitas di antara satu wilayah dan wilayah
lainnya juga amat luas. Hal ini bukan saja menyangkut isu disparitas mutu
pendidikan, melainkan juga kemampuan pendanaan wilayah yang juga berbeda.
Tantangan ketiga ini bahkan diperluas dengan penerapan sistem ujian nasional
yang tidak jarang menimbulkan masalah disparitas yang baru antardaerah,
antarsiswa, bahkan antarguru.
Adapun yang keempat, secara regional institusi
pendidikan tinggi kita juga lemah dengan salah satu indikator terjelasnya
adalah ketidakmampuan fakultas pendidikan dalam menghasilkan guru yang bermutu.
Belum lagi dengan sistem rekrutmen tenaga pendidikan yang buruk sehingga tak
mampu membenahi manajemen sekolah secara baik. Akibatnya, banyak sekolah tak
mampu dibenahi karena kemampuan leadership guru dalam menggalang dukungan
masyarakat sangat lemah. Karena itu, pendidikan kita kehilangan banyak sekali aset
budaya pendidikan yang terabaikan dan membuat ketergantungan masyarakat semakin
tinggi terhadap pemerintah.
Dalam bahasa Prof Dr Komaruddin Hidayat, relasi
antara state-market-society dalam dunia pendidikan kita sama
sekali tidak berjalan. Negara terlalu dominan mengatur seluruh aspek kebutuhan
pendidikan. Kekuasaan birokrasi menjadi faktor penyebab menurunnya semangat
partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Selain itu, peran swasta sebagai representasi dunia
usaha dan partner masyarakat dalam mengelola pendidikan masih jarang terlihat.
Gebyar corporate social responsibility (CSR) lebih banyak
dilakukan dalam rangka menghindari beban pajak perusahaan ketimbang usaha murni
dan ikhlas membantu pengembangan dunia pendidikan. Jangan ditanya bagaimana
peran partai politik, yang hanya bisa menjual skema pembiayaan dengan jargon
sekolah gratis tanpa mengetahui persoalan proses pendidikan itu sendiri. ‘Pseudo
government it is happen here’, kata Prof Dr Komaruddin.
Jalan keluarnya hanya satu, yaitu visi pendidikan
kita harus terus menerus diperbarui, bukan oleh pemerintah, melainkan oleh
masyarakat itu sendiri. Sebagai pengguna (user), masyarakat perlu
mengambil alih peran pemerintah yang terlalu besar dalam urusan pendidikan. Etos
kerja masyarakat harus senantiasa ditumbuhkan dan pemerintah harus bertanggung
jawab membangun kembali kepercayaan masyarakat sebagai pemilik sekolah/
madrasah.
Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling
tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parent empowerment) dan
kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and teachers
collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran serta
masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan sekolah dan
masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan strategi yang paling
efektif dan memberi pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch and
Goldring, 1998).
Dari program pemberdayaan ini akan muncul
kesimpulan, apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun berdasarkan
kemampuan masyarakat itu sendiri. Di tengah desakan liberalisasi ekonomi yang
merambah hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat
adalah pilihan strategis dan fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan
sekolah secara bersamaan.
Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah,
dengan demikian, harus terus digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai dengan
tingkat kemampuan pembiayaan masyarakat itu sendiri sehingga hal ini diharapkan
akan menjadi pertanda bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak
kasus ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan
kebijakan sekolah, kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung semakin
baik (Resnick, 2000).
Ahmad
Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
Jakarta
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi