Tulisan
Dian Simatupang (Kompas, 26/6/2013) yang berjudul ”Paradoks Rasionalitas
PTN-BH” sangat penting untuk direspons karena penulis telah menyempitkan tujuan
ditetapkannya perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum hanya ditinjau dari
sudut keuangan.
Penulis
melupakan bahwa aspek pengelolaan keuangan dan pendanaan bukanlah persoalan
pokok yang mendasari perlunya PTN ditetapkan sebagai badan hukum. Ia
berpendapat bahwa dengan status badan hukum, PTN berisiko pailit dan tidak
berhak mendapat anggaran yang bersumber dari APBN.
Hal ini
menunjukkan bahwa yang bersangkutan memaknai Perguruan Tinggi Negeri Badan
Hukum (PTN-BH) sebagai badan hukum privat yang memiliki misi memperoleh
keuntungan seperti perseroan terbatas (PT). Tentu saja ini keliru karena kegiatan
dan misi utama perguruan tinggi adalah menyelenggarakan pendidikan, penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat yang tak satu pun dari ketiganya memiliki
risiko kerugian. Perguruan tinggi ditutup atau dibubarkan apabila atas kehendak
sendiri atau tidak mampu menjalankan misinya sehingga tak ada mahasiswa yang
mau belajar di sana.
Sebagai
badan hukum, PTN tetap menjalankan tugas negara, yaitu menjalankan fungsi
pendidikan tinggi, fungsi publik, nirlaba dan didanai negara. Hal ini
dinyatakan secara eksplisit dalam UU Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 65 Ayat (3).
Jika digunakan analogi BUMN, atas penugasan tersebut, PTN yang berstatus badan
hukum berhak atas pendanaan yang bersumber dari APBN. Kita mengenal adanya
subsidi energi yang diberikan kepada PT PLN, subsidi transportasi yang
diberikan kepada PT PELNI dan PT Kereta Api, dan tentu saja subsidi BBM yang
diberikan kepada PT Pertamina.
Kecenderungan
global
Perkembangan
pendidikan tinggi di era ini ditandai oleh dua kecenderungan utama, yaitu
masifikasi dan globalisasi/internasionalisasi. Peningkatan kesejahteraan dan
pengetahuan masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi serta perbaikan
tingkat ekonomi masyarakat telah menyebabkan peningkatan kebutuhan akan layanan
pendidikan tinggi secara signifikan. Hal ini didorong juga oleh kebutuhan
pembangunan bangsa di era ekonomi berbasis pengetahuan, di mana daya saing
sebuah bangsa tidak lagi ditentukan oleh ketersediaan sumber daya alam, tetapi
pada kemampuan dalam mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan secara inovatif
dan kreatif.
Globalisasi
ditandai oleh persaingan terbuka yang melampaui batas-batas negara. Dalam
konteks ini, kualitas adalah kunci utama untuk memenangkan persaingan. Hanya
perguruan tinggi yang berkualitas dan berkelas dunia sajalah yang akan mampu
bertahan di kancah persaingan global. Perguruan tinggi berkualitas dan berkelas
dunia ini paling tidak ditandai tiga karakteristik utama, yaitu: melakukan
penelitian berkelas dunia, didukung oleh dosen yang memiliki reputasi akademik
internasional, dan mampu menarik mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.
Setiap
negara memiliki cara dan strategi yang berbeda dalam merespons kecenderungan
global. Namun, setiap bangsa sepakat perlunya mengembangkan perguruan tinggi di
negaranya untuk menjalankan fungsi pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan
dengan kebutuhan bangsa dan perkembangan ilmu pengetahuan universal.
Belajar
dari tetangga
Perguruan
tinggi hanya akan maju dan berkembang jika didukung lingkungan yang kondusif.
Belajar dari keberhasilan beberapa perguruan tinggi di negara tetangga, seperti
NUS (Singapura), HKU (Hongkong), Chulalongkorn (Thailand), yang telah mampu
mencapai prestasi akademik yang sejajar dengan perguruan tinggi kelas dunia
lainnya, kita dapat mencatat empat faktor yang mendorong keberhasilan dimaksud.
Pertama,
dijaminnya kebebasan akademik yang merupakan nilai inti (core values) sebuah
perguruan tinggi. Kebebasan akademik ini bukan hanya pada tataran individu
sivitas akademika, melainkan juga pada tataran kelembagaan. Perguruan tinggi
harus memiliki kebebasan untuk menetapkan arah dan strategi pengembangan dan
pengelolaan kegiatan penelitian, membuka dan menutup program studi, mengembangkan
dan mengevaluasi kurikulum, menyatakan opini dan menyampaikan pendapat akademik
secara terbuka di masyarakat, dan sebagainya.
Kedua,
adanya otonomi dalam merencanakan, mengelola, dan mengembangkan institusi.
Perguruan tinggi bukan merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Agar mampu
merekrut dosen yang terbaik di bidangnya, perguruan tinggi harus memiliki
kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan, dan mempromosikan dosennya secara
mandiri. Penelitian yang berkelas dunia memerlukan konsentrasi dan alokasi
waktu yang mencukupi sehingga tak bisa ditetapkan secara pukul rata sama untuk
semua bidang ilmu dan dosen. Tidak kalah pentingnya adalah perguruan tinggi
juga harus memiliki kewenangan untuk mengelola dana secara mandiri, misalnya,
dalam hal menetapkan skala gaji, mengalokasikan dana penelitian sesuai dengan
pilihan fokus dan strateginya. Riset fundamental membutuhkan sarana dan
prasarana yang canggih, dan sistem insentif yang sesuai.
Ketiga,
adanya dukungan pemerintah secara konsisten dan berkelanjutan, terlepas dari
siklus politik pemerintah. Di beberapa negara, dibentuk badan khusus yang
otonom (terpisah dari birokrasi pemerintah) untuk menjembatani kepentingan
negara yang dilaksanakan peguruan tinggi negeri, seperti Higher Education
Commission (Thailand), atau University Grant Committee (Hongkong, Pakistan,
Filipina).
Keberadaan buffer
body seperti ini yang tidak berada di bawah salah satu kementerian
juga merupakan sinyal bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan bangsa, yang
harus didukung secara bersama. Keberadaan dosen dan mahasiswa asing, yang
merupakan ciri pokok perguruan tinggi riset, memerlukan dukungan keimigrasian,
yang tentu saja bukan urusan kementerian yang mengelola bidang pendidikan.
Keempat,
adanya akuntabilitas publik yang mencerminkan bahwa perguruan tinggi menjamin
terlindunginya kepentingan publik. Dalam bidang akademik, akuntabilitas publik
dijaga melalui sistem akreditasi dan pemenuhan atas indikator kinerja akademik,
seperti jumlah dan mutu hasil penelitian dan lulusan. Dalam bidang
non-akademik, perguruan tinggi dinilai dari kemampuannya untuk mengelola
institusi secara efisien dan transparan, mengedepankan prinsip tata kelola
perguruan tinggi yang baik (good university governance).
Pertanyaan
yang kemudian patut untuk kita ajukan adalah bisakah keempat hal di atas
diimplementasikan jika PTN merupakan bagian dari birokrasi pemerintah?
PTN-BH
sebagai solusi
Meskipun
belum merupakan kerangka hukum yang ideal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
telah meletakkan tatanan yang dapat diharapkan memberikan landasan hukum yang
kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya pendidikan tinggi di Indonesia. PTN
badan hukum merupakan bentuk yang dapat dipilih oleh PTN (by choice) dan
juga merupakan tahapan perkembangan sebuah PTN (by evaluation),
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 65 Ayat (1). UU ini juga menjamin otonomi
perguruan tinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 62 yang dijelaskan lebih
jauh dalam Pasal 64. Kewajiban negara dalam membiayai pendidikan tinggi
tertuang dengan jelas pada Pasal 82 yang mekanisme pengalokasiannya dijelaskan
dalam Pasal 89. Akses bagi masyarakat yang berasal dari kalangan ekonomi kurang
mampu juga dijamin sebagaimana dicantumkan pada Pasal 74. Pembebanan biaya bagi
mahasiswa juga diatur dalam Pasal 88 Ayat (4).
Tentu
saja semua itu akan dapat berjalan jika pemerintah secara konsisten dan penuh
mendukung terwujudnya pendidikan tinggi yang berkualitas. Menempatkan PTN
sebagai satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menjadi
sandungan yang sangat besar bagi berkembangnya perguruan tinggi yang
berkualitas, saka guru kemajuan bangsa.
Chan
Basaruddin ;
Guru Besar Ilmu Komputer Universitas
Indonesia
KOMPAS, 25 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi