TIDAK percaya
tapi nyata. Setidaknya, sepanjang publikasi yang bisa diakses, baru sekali ini
ada seorang rektor kampus negeri (Rektor Universitas Mulawarman Zamruddin
Hasid, Red) menandatangani ijazah doktor untuk dirinya sendiri. Ketika ada yang
mempertanyakan, si penyoal justru akan dibawa ke sidang komisi etik senat untuk
klarifikasi. Tapi, sidang itu tidak mempersoalkan proses keluarnya dan
substansi ijazah, namun berkaitan dengan pembeberan ke publik ihwal ijazah yang
tidak lazim tersebut ( Jawa Pos , 21/6).
Ada dua
hal yang berkaitan dengan ijazah tersebut, berangkat dari fakta yang mencuat
sebagai dasar untuk memberikan kepastian tentang nilai ijazah itu. Pertama
dalam perspektif hukum, yaitu hukum administrasi. Bahwa secara administratif,
didasarkan pada aturan, jenjang pendidikan strata 3 (doktor) itu harus melalui
beberapa tahap. Pertama, ada mata kuliah (MK) yang merupakan pembekalan dengan
nilai SKS (satuan kredit semester) tertentu. Termasuk, penilaian akhir yang
dikuantifikasikan dengan nilai A, B, dan C (lulus) serta D, E (tidak lulus).
Proses untuk ini biasanya ditempuh minimal dalam dua semester yang menguras
pikiran.
Pada
semester ketiga, ada ujian usul penelitian, sekurang-kurangnya satu semester.
Usul penelitian disertasi, lazim disebut proposal, diuji dan kemudian biasanya
selalu ada perbaikan tertentu. Pada semester keempat, ada seminar hasil
penelitian. Berikutnya, ada ujian tertutup dan terakhir adalah ujian terbuka
(biasanya ada yang menggunakan istilah kolokium I, II, dan III).
Dari rentang
penelitian sampai ujian terbuka itu, jika jalan reguler, tidak akan bisa
selesai dalam waktu setahun. Kalaupun jalannya ''super-tol'', akan selesai
dalam waktu setahun. Jadi, total memerlukan waktu dua tahun atau empat
semester.
Silang
selisih mengenai ijazah yang dipermasalahkan itu, pada satu sisi, adalah 1
tahun 11 bulan (menurut versi rektor 34 bulan atau 2 tahun 10 bulan). Pelacakan
administratif terhadap hal itu tentu bisa dilakukan. Karena bukan rahasia
negara, dokumennya bisa diklarifikasi secara terbuka pula.
Di dalam
hukum administrasi, permasalahan jenjang waktu tersebut bersifat aanvullen atau
mengatur. Tidak bersifat dwiggen atau memaksa dan diikuti
dengan sanksi. Artinya, jika tidak dituruti, sanksinya adalah moral. Karena
prosedur administratif sudah dilewati, menurut hukum administrasi, hal itu
tidak menjadi masalah. Dengan demikian, secara administratif klir.
Permasalahannya
tidak terletak pada absah atau tidaknya secara administratif, melainkan pada
ranah etika yang juga diatur dalam UU. Pasal 3 UU Nomor 28/1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bebas dari KKN menyebutkan bahwa asas
penyelenggaraan administrasi pemerintahan harus didasarkan pada asas umum
pemerintahan yang layak (AUPL). Asas itu meliputi asas kepastian hukum, asas
tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Rektor
adalah pejabat negara, dalam arti dalam melaksanakan kinerjanya terikat dengan
UU tersebut dan karena itu harus menuruti UU tersebut, termasuk dalam pembuatan
ijazah. Jika menandatangani ijazah untuk dirinya sendiri, rektor bisa dianggap
tidak sesuai dengan asas proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas,.
Meski tidak ada konsekuensi secara yuridis, secara etika itu tidak semestinya.
Memang tidak ada larangan. Namun, asas hukum administrasi tidak berangkat pada:
kalau tidak dilarang berarti boleh. Itu asas hukum pidana. Namun, harus mengacu
pada AUPL tersebut.
Untuk
dosen yang mempertanyakan ijazah tersebut, berlebihan jika sanksinya adalah
nestapa yang akan membawa dampak secara ekstrem. Misalnya, penurunan pangkat,
apalagi sampai pada pemecatan. Dalam bahasa pendidikan, itu tidak mendidik,
tetapi terkesan membalas dendam serta sakit hati. Dalam bahasa politik, itu
main kuasa dan pasti berbuntut panjang.
Karena
itu, solusi yang elegan, pertama, hendaknya diklarifikasi apakah masa studi
benar sebagaimana yang didalilkan bahwa itu selama 34 bulan. Taruhlah itu
benar, apakah semua kualifikasi sebagaimana penjenjangan tersebut telah
dilewati dengan semestinya? Karena itu, secara kesatria, rektor seharusnya
menanyakan kepada etika pada diri sendiri ihwal tersebut.
Proses
keluarnya ijazah tersebut perlu dijernihkan, apakah sudah sesuai dengan
prosedur. Kedua, manakala ternyata tidak benar, bahwa masa studinya hanya 1
tahun 11 bulan yang berarti 23 bulan, itu (bahasa Asmuni) adalah hil yang
mustahal . Bahwa pengujinya datang dari mana pun, itu bukan
argumentasi yang menjawab masalah. Tentu karena penguji itu diundang, sesuai
dengan expert yang bersangkutan tidak akan menolak (dan
tidak mempersoalkan masa studi).
Kasus
unik ini adalah momentum untuk penegakan nilai-nilai kemuliaan kejujuran
akademis yang kerap sulit ditegakkan. Kejujuran, sebuah istilah yang dalam
khotbah sekali pun, sudah jarang disampaikan.
Samsul
Wahidin ;
Guru besar Fakultas Hukum Unmer Malang
JAWA POS, 25 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi