SIAPA PUN sepakat, semua pihak harus terus
meningkatkan kualitas pendidikan. Hal itu bukan saja amanat melainkan juga
keniscayaan ketika persaingan global menjadi kenyataan. Lewat pendidikan,
rakyat dapat berpikir kritis menyikapi realitas sosial budaya. Dalam tataran
praktis, upaya apa yang mampu dilakukan lembaga perguruan tinggi kependidikan
(LPTK) untuk mendukung ketercapaian amanat itu?
Keterselenggaraan sistem pendidikan yang relevan
dan bermutu merupakan faktor penentu keberhasilan pemerintah mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional. Karena itu, para pendiri
negeri ini menetapkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu
fungsi penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional.
Pembenahan sistem selalu berjalan. Melalui berbagai
pengalaman dan uji ahli, kurikulum selalu berubah menuju penyempurnaan.
Akhir-akhir ini kita menaruh harapan besar pada kurikulum 2013. Hal itu
meningat misalnya bakal disegarkannya pelajaran Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan, yang tidak lagi sekadar berisi materi instruktif dan dialogis
tetapi mendasarkan fakta dan realitas (SM, 9/ 6/ 13).
Hal itu bisa dikatakan pembaruan besar, untuk tidak
menyebut baru, dalam sejarah pendidikan mengingat selama ini kesan materi yang
diajarkan di sekolah hanya turun-temurun. Karena itu, reaktualisasi materi
pembelajaran merupakan keharusan manakala siswa sangat lekat dengan fenomena
media dan perubahan sosio kultural. Pada tataran ini, peserta didik diajak
kritis menyikapi semua hal itu.
Mudah? Tentu saja tidak. Guna mencapai semua hal
itu, perlu terus meningkatkan kualitas guru harus. Sertifikasi guru yang
dijalankan sejak 2007 dan rencananya rampung tahun ini, menjadi program andalan
pemerintah. Penyelenggaraannya pun selalu dibenahi sebagai upaya konsisten
mewujudkan tenaga pendidik yang berkualitas.
Fasilitas Memadai
Pada tataran itu, LPTK hadir untuk tak hanya
menghasilkan output yang berkualitas pula tetapi senantiasa mengawal dan
memberikan fasilitas memadai. Fasilitas itu tentu saja berupa kurikulum yang
teruji, sarana dan prasarana, serta tenaga pendidik yang berkompeten. Hal
mendasar tersebut bisa dikatakan menjadi tolok ukur reputasi LPTK.
Pada lain pihak, sekolah sebagai lembaga pendidikan
yang bersifat massal, muncul bersamaan dengan proses industrialisasi yang
mengakibatkan terjadinya urbanisasi, vokasionalisasi, dan spesialisasi.
Kebutuhan riil di lapangan menjadi alasan. Ketika tidak semua siswa lulusan
sekolah menengah atas tak bisa melanjutkan ke bangku perkuliahan, LPTK pun harus
memberi solusi.
Pemberian beasiswa full study kepada
mahasiswa miskin berprestasi adalah salah satu upaya. Hal itu pula yang
dilakukan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sejak 2008, Unnes konsisten
memberikan alokasi beasiswa kepada mahasiswa baru yang tidak mampu secara
ekonomi namun berprestasi akademik. Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) telah
mencatatnya sebagai kampus pertama di Indonesia yang memberikan alokasi
beasiswa 20% kepada mahasiswa (unnes.ac.id, 14/11/11).
Di sisi lain, lulusan sekolah menengah kejuruan
makin dibutuhkan pada era persaingan kerja. Pasalnya, pada tahapan itu remaja
mengalami usia produktif. Unnes sepenuhnya sadar, pemberian beasiswa tidak
sepenuhnya memfasilitasi mereka yang ingin meneruskan ke bangku pendidikan
tinggi. Karena itu, penguatan sekolah menengah kejuruan (SMK) pun menjadi salah
satu upaya.
Penetapan Jateng sebagai Provinsi Vokasi oleh
Gubernur Bibit Waluyo dan Mendiknas (sekarang Mendikbud) Prof Dr Bambang
Soedibyo MBA pada 12 April 2008, membuat Unnes merasa punya amanat. Sebagai
salah satu LPTK di Jateng, ia melakukan penguatan pada berbagai bidang, salah
satunya menggagas SMK berbasis pesantren.
Dalam Rakor dan Sarasehan SMK Pesantren Se-Jawa dan
Madura di Ponpes Roudlotul MubtadiinJepara (8/5/13), Mendikbud M
Nuh mengemukakan, lulusan SMK harus memiliki kemampuan teknis. Usia produktif
begitu eman seandainya tidak mempunyai daya saing. Hal itu
sekaligus restu yang dilontarkan oleh pengambil keputusan tertinggi bidang
pendidikan di negeri ini.
Ibarat rumah yang telah dibangun, siapa yang mau
mengisinya? Tiada lain LPTK-lah yang punya peran lebih untuk melakukan
pendampingan. Dia harus bisa mengatasi segala macam kekurangan demi
ketercapaian pendidikan yang makin berkualitas. Pengembangan, kerja sama, dan
penelitian, sinergis dengan upaya tersebut.
Melalui ikhtiar itu, Unnes tak hanya menjaga
reputasi sebagai lembaga pendidikan pencetak guru, tetapi bersama pemerintah
berupaya solutif dan meneguhkan pendidikan sebagai cita-cita nasional. Atas upaya
itu pula, LPTK harus mampu menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tuntutan
baru masyarakat modern, bukan hanya jago kandang melainkan juga bisa memberikan
kebermanfaatan lebih luas.
Fathur
Rokhman ;
Rektor Universitas Negeri Semarang
(Unnes)
SUARA MERDEKA, 25 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi