Dalam
wacana perpolitikan di Indonesia, akhir-akhir ini banyak dikeluhkan suatu
gejala di mana para pemimpin, tokoh politik, publik politik, dan masyarakat
politik pada umumnya telah meninggalkan atau melupakan Pancasila sebagai
ideologi politik yang menjadikan Pancasila sebagai kerangka berpikir berbangsa,
pedoman bertindak, dan motif berpolitik.
Dari
kajian disertasinya, Dr Pramono Anung terkejut menemukan fakta bahwa motif
berpolitik para pemimpin politik mutakhir Indonesia bukan bersumber dari
idealisme, melainkan kombinasi dari uang dan kekuasaan, yaitu menggunakan
kekuasaan untuk mendapatkan uang atau menggunakan uang untuk memperoleh
kekuasaan. Inilah yang sering dipahami secara peyoratif sebagai pragmatisme.
Gejala
atau sinyalemen itu mengingatkan kita pada tesis akhir ideologi, the
end of ideology, yang ditulis Daniel Bell (1960), tesis Francis Fukuyama
tentang pungkasan sejarah, The end of history, dan manusia
terakhir, the last man, yang masih hidup di ujung sejarah dalam
imajinasi Nietzche, yang ditulis staf ahli Deplu AS itu di Foreign
Affair pada 1989, tahun runtuhnya Tembok Berlin yang jadi simbol
runtuhnya ideologi Sosialisme-Komunis.
Dalam
tesis Bell, sosiolog Amerika terkemuka beraliran kiri, akhir ideologi
dimaksudkan sebagai tak munculnya lagi ide-ide politik karena hegemoni Amerika-
nisme yang pada 1960-an dilatari pembentukan Committe on Un-American
Activities, digerakkan senator Partai Republik, McCharthy, dan bertujuan
membendung gerakan yang dinilai anti-Amerika seperti, dalam konteks waktu itu,
gagasan the New Left atau Kiri Baru.
Gejala
akhir ideologi itu disesalkan Bell karena hegemoni Amerikanisme telah
membendung ide politik kritis, kreatif, dan progresif yang berarti membunuh
kebebasan/liberalisme yang dianut Amerika sendiri.
Namun,
tesis Fukuyama mengandung arti lain: sorak kemenangan liberalisme politik,
yaitu demokrasi liberal dan liberalisme ekonomi, yaitu kapitalisme atas
ideologi rival lain, khususnya Fasisme yang runtuh 1945 dan Sosialisme-Komunis
pada 1989. Liberalisme politik dan ekonomi oleh Fukuyama dianggap puncak
perkembangan pemikiran manusia dalam sistem politik dan ekonomi yang dihasilkan
proses survival of the fittest sebagai hukum sosial yang dalam
teori disebut Darwinisme sosial itu.
Pancasila
sebagai ideologi yang diusulkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebenarnya puncak
perkembangan pemikiran politik di masa perjuangan kemerdekaan 1908-1945. Lima
sila Pancasila yang dirumuskan kembali oleh Panitia 9 memang tercantum dalam
Mukadimah UUD 1945, tetapi istilah Pancasila tak tertera dalam konstitusi dan
tak disebut sebagai dasar negara karena yang disebut dasar negara adalah
”Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 Ayat 1) yang dilandasi prinsip kebebasan
beragama (Pasal 2).
Pancasila
sebagai dasar negara baru ditetapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sebagai solusi atas kegagalan Sidang Konstituante yang menawarkan tiga dasar
negara: Pancasila, Islamisme, dan Sosial-ekonomi (Sosialisme). Namun, sesudah
itu, Pancasila masih belum juga dianggap ideologi tunggal dan menciptakan
kondisi the end of ideology karena Soekarno sendiri di masa
pemerintahannya justru menggerakkan proses Nasional Demokrasi yang menghabisi
sisa-sisa feodalisme dan imperialisme menuju Sosialisme.
Barulah
Orde Baru, yang ingin menegakkan kembali Pancasila ”secara murni dan
konsekuen”, menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Melalui monopoli
penafsiran dan indoktrinasi, penegakan Pancasila membendung ide-ide politik
lain, khususnya Komunisme dan Islamisme. Dampak konkretnya, mencegah tumbuhnya
partai-partai politik dengan tujuan menegakkan hegemoni Golongan Karya sebagai
partai pelopor dan hanya menyisakan dua partai marjinal bentukan pemerintah:
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mewakili aspirasi golongan Islam dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mewakili golongan nasionalis.
Namun,
semuanya harus berasaskan Pancasila. Bahkan, asas tunggal itu diberlakukan juga
bagi seluruh organisasi kemasyarakatan.
Akhir
politik aliran
Hegemoni
Pancasila sebagai satu-satunya ideologi itu dinilai sebagai akhir dari politik
aliran. Gejala inilah yang baru menyerupai tesis the end of ideology yang
digundahkan oleh Bell karena telah menghabisi ide-ide dan cita-cita politik.
Pada
waktu itu Pancasila yang dirinci dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila(P4) oleh pemerintah disebut Nurcholish Madjid sebagai
ideologi tertutup. Padahal, Pancasila dalam teori ideologi mengandung tiga akar
ideologi, yaitu kepercayaan (Ketuhanan Yang Maha Esa), nilai-nilai universal
(kemanusiaan dan keadilan sosial), dan prinsip politik (persatuan Indonesia dan
kedaulatan rakyat).
Dikaitkan
dengan ideologi-ideologi universal yang lahir pada abad ideologi Eropa abad
ke-19, Pancasila dapat diasosiasikan dengan Deisme yang disesuaikan dengan
kepercayaan agama menjadi monoteisme, humanisme atau internasionalisme,
nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Karena itu, Nurcholish Madjid
mengusulkan agar Pancasila dipahami sebagai sebuah ideologi terbuka yang
memungkinkan berkembangnya ide-ide politik dalam bingkai Pancasila dan sebenarnya
mengandung dua elemen: nilai-nilai motivasional rambu-rambu moral dan
pemikiran.
Konsekuensinya,
sebagaimana dimaksudkan Maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945, memberikan
kesempatan bagi masyarakat mendirikan partai politik yang waktu itu menimbulkan
politik aliran dan parpol berbasis ideologi, seperti Sosialisme, Islamisme,
Kristianisme, Komunisme, dan Nasionalisme.
Ideologi
payung
Reformasi
abad ke-21, dimulai oleh Presiden BJ Habibie, membuka kembali proses
demokratisasi yang melahirkan kembali sistem multipartai. Tidak sebagaimana
tahun 1940-an, demokratisasi itu tak menghidupkan kembali politik aliran karena
politik aliran sudah dianggap tabu politik. Asas tunggal Orde Baru masih
berlaku, bahkan hingga sekarang.
Dari
sistem kepartaian yang terbentuk, yang berkembang adalah pragmatisme politik
dalam arti peyoratif, yang menimbulkan politik transaksional yang melahirkan
oligarki politik dalam pengertian Michel. Pancasila sebenarnya sebuah ideologi
payung semacam konsep tenda besar yang jadi sumber dan pengayom ide-ide politik
Indonesia. Namun, Pancasila bukan semacam Trilogi Revolusi Perancis yang
mencanangkan tiga nilai—liberte, egalite, dan fraternite—yang melahirkan
pluralitas ideologi karena trilogi itu berakar dari filsafat politik liberal
sejak John Locke, Jeremy Bentham, dan John Stuart Mills. Intinya adalah
individualisme dan liberalisme.
Sementara,
Pancasila pada dasarnya menabukan dua ideologi itu. Namun, Pancasila, jika
dipandang sebagai ideologi terbuka, tak akan menjadikan akhir ideologi. Yang
perlu dikembangkan, filsafat sosial dan teori sosial yang bertolak dari gagasan
besar Pancasila.
Karena
belum dikembangkan sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan, Pancasila sebagai
ideologi masih belum jadi kesadaran rasional Descartian. Ia lebih banyak
mencerminkan elemen bawah sadar bangsa Indonesia, bahkan belum merupakan elemen
kebudayaan suatu ideologi dalam pengertian Gramchian yang bisa memotivasi dan
menjadi pedoman bertindak yang etis bagi para pemimpin politik Indonesia.
M Dawam
Rahardjo ;
Rektor Universitas Proklamasi ’45,
Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an
KOMPAS, 22 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi