BERTEPATAN dengan awal tahun pelajaran 2013/ 2014, pemerintah
menerapkan Kurikulum 2013. Penerapan kurikulum baru itu masih menyisakan
kontroversi namun kita harus menapakinya. Pada awal reformasi, tahun 2004
pemerintah gencar menyosialisasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Tahun 2006 kendati ’’masih berusia anak-anak’’kurikulum itu
digantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang sekarang juga telah
dihapus. Ada beberapa permasalahan terkait penerapan Kurikulum 2013. Pertama;
kurikulum itu dirumuskan dalam waktu sangat singkat. Ide mengganti KTSPmuncul beberapa
saat setelah terjadi tawuran antarpelajar di Jakarta yang memakan korban jiwa.
Berkait kejadian itu, pemerintah merasa perlu mengganti kurikulum karena
menganggap kurikulum lama ’’gagal’’. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa
tawuran bisa dicegah dengan mengganti kurikulum baru, dan itu pemikiran instan.
Pemerintah lupa bahwa kurikulum merupakan sebagian kecil komponen pendidikan.
Komponen lain yang harus dibenahi adalah guru, keluarga,
masyarakat, dan media massa. Sebaik apa pun kurikulum jika tidak didukung peran
serta mereka, semua menjadi sia-sia. Contoh, Kurikulum 2013 mencoba menambah
jumlah muatan pendidikan nilai guna meredam perilaku negatif siswa. Upaya itu
tak akan berarti apa-apa jika di luar sekolah, siswa masih disuguhi tontonan yang
mengumbar kekerasan. Televisi masih dibiarkan menayangkan adegan kekerasan.
Orang tua sering tidak dilibatkan dalam mengontrol putra-putri mereka.
Banyak orang tua sepenuhnya memercayakan pendidikan anak ke
pihak sekolah. Dalam Kurikulum 2013, mapel bukan jadi perhatian utama
pembelajaran. Guru harus merumuskan sebuah tema yang dapat mengakomodasi materi
tiap mapel. Ketika berbicara mengenai gunung, guru harus bisa menjelaskan
materi Pendidikan Agama, PPKn, Matematika, IPS, atau IPA dengan menggunakan
tema gunung. Realitasnya saat ini banyak guru belum memahami substansi dan
metode pembelajaran Kurikulum 2013. Waktu penyosialisasian pun sangat terbatas,
dan tak mungkin semua guru bisa dilibatkan dalam sosialisasi tersebut. Kedua;
penghapusan beberapa mapel, seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Daerah di SD,
serta Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah menengah.
Guru mapel tersebut resah karena tak tahu harus mengajar
mapel apa. Menanggapi hal ini, pemerintah memberikan solusi: mapel itu
diposisikan sebagai muatan lokal (mulok) atau menjadi kegiatan ekstrakurikuler.
Inipun tidak menyelesaikan masalah karena guru harus memenuhi kewajiban mengajar
24 jam pelajaran per minggu, jika tidak mereka sulit mendapatkan tunjangan
profesi guru. Ketika mapel mereka diposisikan sebagai mulok, tentu saja mereka
akan kekurangan jam mengajar.
Penghapusan Bahasa Daerah dalam Kurikulum 2013 menyisakan
pertanyaan,’’kapan siswa mempelajari Bahasa Daerah secara formal’’. Bila mapel
itu tidak diajarkan di sekolah, dapat dipastikan Bahasa Daerah bakal hilang
dalam kehidupan keseharian siswa. Penghapusan Bahasa Inggris selain meresahkan
guru, juga menghadirkan pertanyaan. Bahasa Inggris dalam era globali menjadi
mapel sangat penting. Hal ini tidak jadi soal bila pada kurikulum sebelumnya
tidak ada Bahasa Inggris.
Jika sekarang mapel itu dihapuskan ada kesan keberadaan
mapel itu sebelumnya hanya eksperimen. Mapel TIK pada masa sekarang sangat
penting dan harus diberikan kepada siswa. Pertama; selain alasan globalisasi,
mapel itu mengajarkan siswa dapat menggunakan teknologi secara tepat dan benar.
Kedua; penguasaan teknologi menjadi penting ketika siswa memasuki dunia kerja.
Pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan teknologi mutlak diperlukan bagi
mereka. Mengubah Paradigma Keberadaan tiga mapel itu dalam kurikulum sebelumnya
ternyata sebuah proyek percobaan pemerintah.
Padahal, untuk percobaan itu, pemerintah merekrut jutaan
guru yang ditempatkan di berbagai sekolah.
Sekarang belum ada yang menjamin nasib guru-guru tersebut
setelah mapel tersebut dihapus.
Pemerintah perlu lebih serius memberi perhatian terhadap
pendidikan, dan harus mengubah paradigma pendidikan yang tak terfokus pada
masalah fisik semata. Pemerintah harus menjadi aktor visioner, bukan
reaksioner. Akibat berganti kurikulum, guru harus mempelajari kurikulum baru.
Ini pekerjaan yang menghabiskan waktu dan mereka bisa tidak fokus pada materi
yang disampaikan. Siswa pun menjadi korban karena harus menyesuaikan gaya
belajar yang berbeda-beda, dengan buku pelajaran yang juga berganti-ganti tiap
tahun.
Mereka harus membeli buku pelajaran baru, karena buku milik
kakak kelas tidak berlaku lagi. Penerbit buku pelajaran banyak merugi karena
harus memhuang buku yang belum laku. Akibatnya, banyak buku pelajaran ditulis
dalam waktu singkat, tidak maksimal diseleksi dan ternyata memuat materi tidak
layak. Ketika itu terjadi pun pemerintah tidak mau disalahkan. Pemerintah
selalu merasa berada pada pihak yang benar, serta seperti menyudutkan guru,
siswa, dan pihak lain. Padahal mereka semua sebenarnya korban dari kebijakan
yang tidak jelas.
Nanang Martono ;
Dosen
Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto, Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite
de Lyon 2 Prancis
SUARA
MERDEKA, 15 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi