SEJATINYA kaum intelektual mempunyai tanggung jawab untuk menjadi
mercusuar atas silang sengkarut masalah di negeri ini. Lebih jauh, mereka harus
mewujudkan pemikiran menjadi tindakan, setidak-tidaknya memberi ilham kepada
orang ramai untuk menerjemahkan gagasannya dalam kegiatan konkret. Betapa pun
kaum terpelajar terbelah dalam pelbagai organisasi yang berbasis ideologi,
mereka tidak bisa mengingkari kehadiran sarjana lain untuk bersama-sama
mengurai karut-marut ekonomi, politik, dan sosial masyarakat untuk menemukan
konsensus minimal.
José Ferrater Mora, filsuf Catalan
Spanyol, lebih memahami sosok intelektual itu dengan kegiatan yang dilakoni,
misalnya menulis esai, ulasan buku, sajak, novel, atau simfoni. Selain itu,
mereka mengajar di lembaga pendidikan, menemukan teorema baru, sebuah teori
baru tentang struktur kromosom atau enzim, sebuah isotop uranium atau litium
baru. Tambahan lagi, mereka memberi kuliah, menghadiri kongres atau pertemuan,
menandatangani manifesto atau menolak melakukannya. Yang pertama dan utama,
mereka yang terlibat pembicaraan tentang tugas kaum intelektual dalam perubahan
sosial.
Secara lugas, intelektual harus
menempatkan diri dalam komunitas tempat mereka hidup dan berkarya. Mereka
menempatkan diri sebagai bagian dari tantangan intelektual dunia (universal).
Isu global hari ini terkait dengan ancaman perubahan iklim, terorisme,
kerusakan lingkungan, dan bencana alam.
Nah, untuk menghadapi perubahan yang
cepat, dengan diilhami gagasan Mora itu, para intelektual muslim harus
bahu-membahu dengan penganut agama lain untuk mengentaskan masalah bersama dan
memandang tantangan itu secara menyeluruh. Bagaimanapun, pendidikan masyarakat
menjadi penentu akhir dari sikap khalayak terhadap gagasan perubahan.
Tanpa pengetahuan yang sahih, banyak
orang akan mudah terbujuk untuk menyelesaikan masalah dengan jalan pintas,
tanpa memandang jauh ke depan. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia,
sejatinya seluruh perjuangan atas agama dialamatkan kepada mereka yang
terpinggirkan, tak mendapatkan pelayanan kesehatan dan kesempatan pendidikan
yang memadai.
Tentang
Telunjuk Asing
Bagaimanapun, pelaku kekerasan itu tidak
bisa disemati gelar intelektual. Sebab, mereka memiliki gelar sarjana, tetapi
gagal memahami pengetahuan bahwa perubahan itu lahir dari kesadaran untuk
perbaikan, bukan perusakan. Jelas, di dalam Al A'raf 56-58 Tuhan melarang
manusia berbuat kerusakan di atas bumi. Tanpa memperhatikan dengan
sungguh-sungguh terhadap ajaran Tuhan itu sendiri, mereka yang terperangkap dalam
gerakan teror hanya akan menuai penolakan dari seluruh umat dan mati sia-sia.
Namun, pada waktu yang sama kita juga
menuntut peran intelektual sejati negeri ini untuk mendorong pemerintah
memberikan kepercayaan kepada aparat untuk menumpas tanpa ragu kelompok
"martir" dan tentara yang ringan "tangan" serta tidak
menyeret tentara dan polisi ke arena politik.
Lebih jauh dari itu, pemerintah harus
kembali memikirkan kerja sama penumpasan teror dengan negara-negara Barat,
misalnya Amerika dan Australia, karena dua yang terakhir adalah bagian dari
negara teror yang harus dilawan oleh negara-negara berkembang. Selagi kerja
sama itu dilanggengkan, kelompok-kelompok baru di tanah air akan terus
bermunculan untuk melawan negaranya sendiri karena dianggap sebagai bagian dari
musuh bersama dari saudaranya yang ditindas di Afghanistan, Iraq, Syria, dan
Libya.
Untuk itu, kita memerlukan suara
intelektual sejati yang tidak membenarkan kekerasan dan pada waktu yang sama
berani mengatakan tidak pada uluran tangan Paman Sam untuk menjadi mitra di
negeri ini. Sebab, sejatinya kehadirannya hanya akan menambahkan bensin pada
api kemarahan banyak orang.
Noam Chomsky, intelektual ternama, juga
mengkritik campur tangan Amerika dalam menumpas terorisme di negara-negara berkembang
karena didasarkan pada keterlibatan tidak tulus dan menangguk keuntungan di air
keruh. Pandangan orang ramai pun telah mengemuka bahwa negeri McDonald's itu
telah melakukan standar ganda dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia di
seantero dunia.
Melibatkan negara adikuasa dalam
penumpasan teroris dalam negeri hanya akan menyuburkan perlawanan dari banyak
pihak. Tentu saja kita harus berani mengambil sikap terhadap bantuan lunak
agensi Amerika melalui kegiatan sosial yang menjerat. Sejak dulu, campur tangan
negara Barack Obama itu memberangus kebebasan kita untuk menentukan nasib
sendiri.
Sudah saatnya intelektual negeri ini
mendorong republik ini untuk tidak ikut telunjuk Amerika Serikat dalam bidang
keamanan dalam negeri. Membiarkan tangan-tangan jahat turut serta dalam
pengurusan kepemerintahan, kaum intelektual secara sadar telah membiarkan
negara kita ini menjadi buah catur yang bisa seenaknya digertak, didikte, dan
diarahkan oleh kemauan Washington.
Pengalaman buruk diperlakukan secara
tidak adil terkait dengan penanaman modal, seperti Freeport, Newmont, dan
Exxon, seharusnya menyadarkan pemangku kepentingan negara ini untuk menimbang
bekerja sama dengan Negeri Paman Sam pada masa yang akan datang dan lebih
melirik kekuatan ekonomi lain, misalnya Tiongkok, India, Brasil, dan Rusia,
untuk menjadi mitra sejajar. Adakah kaum intelektual telah memenuhi panggilan
itu?
Ahmad
Sahidah ;
Dosen
Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia asal Jogjakarta
JAWA
POS, 03 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi