Di tengah-tengah kritik keras
terhadap pelaksanaan ujian nasional (unas) yang amburadul dan putusan hukum
yang memerintahkan unas distop, pemerintah nekat. Kebijakan itu dilanjutkan
dengan beberapa akrobat formulasi kelulusan dan manajemen unas. Unas masih ikut
menentukan kelulusan murid dari sekolahnya.
Setelah bertahun-tahun di sekolah,
yang tak selalu menyenangkan, untuk mengakhiri pun murid harus bersusah payah
dan membayar lagi, terutama mengambil pelajaran tambahan dan latihan-latihan
ujian. Unas adalah gejala puncak schoolism (sekolahisme, Red)
yang kronis.
Schoolism adalah pandangan yang
menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Wajib belajar diartikan sebagai
wajib sekolah. Anak petani pedesaan usia sekolah tidak boleh bekerja membantu
keluarganya di sawah karena bekerja itu bukan belajar dan melanggar hak anak
untuk belajar, yaitu bersekolah. Karena itu, bagi semua anak, semakin lama
bersekolah diyakini akan semakin baik karena akan semakin pintar.
Sayang, schoolism juga
memandang semua kegiatan di luar sekolah bukanlah kegiatan belajar yang serius
karena tidak terukur. Sekolah, terutama sekolah negeri, berusaha keras untuk
memberikan pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Pesan itu ingin
diperkuat dengan pemberian ijazah sebagai bukti telah belajar di sekolah.
Jabatan-jabatan publik dan pegawai negeri mensyaratkan ijazah. Efek sampingnya
adalah banyak ijazah asli, tapi palsu beredar. Banyak sekolah dan kampus hanya
menjadi pabrik ijazah (diploma mills) yang
belum tentu membangun kompetensi, apalagi pembentuk watak.
Unas ala Kemendikbud adalah
kebijakan yang ingin mengendalikan sekolah secara sentralistis. Padahal,
kewenangan pembangunan pendidikan sudah didesentralisasikan ke pemerintah
kabupaten dan kota. Bahkan, sudah tidak ada lagi kurikulum nasional, diganti
dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Bukannya menyerahkan
kelulusan kepada guru melalui proses moderasi sidang dewan guru sekolah, unas
justru merampas sebagian yang amat penting dari tanggung jawab profesional guru
untuk mengevaluasi kinerja belajar murid-murid yang diasuhnya bertahun-tahun.
Guru vs Pemindai
Begitu guru tahu bahwa kelulusan
murid-muridnya ditentukan komputer pemindai ''bodoh", tanggung jawab
mendidiknya secara wholistic menjadi hancur. Guru akan
mengarahkan proses belajar agar sesuai dengan format unas ini: tes tulis
pilihan berganda. Tidak ada penentu kelulusan yang lebih buruk dari itu. Maka,
patut dipertanyakan benarkah murid-murid telah belajar sesuatu yang penting
untuk hidup sehat dan produktif.
Untuk proses semacam itu, kebanyakan
guru kalah kompeten dibanding mentor lembaga bimbingan belajar. Sering kali
kita jumpai sekolah bekerja sama dengan lembaga bimbel untuk memberikan
pelajaran tambahan berbayar.
Unas juga mendorong penyeragaman
bias-kota, meminggirkan keragaman budaya dan alam Nusantara. Dengan desain yang
ada saat ini, murid yang berbakat di bidang seni dan olahraga dirugikan. Tidak
ada unas seni dan olahraga. Pelajaran yang tidak diunaskan akan diparkir begitu
masuk semester-semester terakhir. Tidak ada lagi kegiatan ekstrakurikuler,
diganti dengan drill dan tryout hingga malam
dan akhir pekan. Tidak jarang anak mengalami kelelahan fisik dan mental
menjelang unas.
Semua sekolah, baik negeri maupun
swasta, dipaksa untuk mengikuti unas jika mau tetap memperoleh izin
operasional. Unas juga dipakai sebagai tolok ukur kinerja sekolah. Sekolah
dengan nilai unas tinggi menjadi prestise sekolah, guru, dan wali murid serta
birokrat.
Schoolism, yang tumbuh dari pendekatan
industri di dunia pendidikan, bisa menghambat pembentukan masyarakat
pembelajar (learning society). Schoolism berbahaya
karena berpotensi menolak praksis pendidikan luar sekolah yang dalam banyak
kasus justru lebih dibutuhkan masyarakat dengan kebutuhan amat beragam.
Murid membutuhkan sebuah evaluasi
yang mampu mengukur kompetensi yang diminatinya untuk dikembangkan bagi
karirnya di masa depan. Seorang anak yang bermaksud menjadi pemusik dan
menyiapkan diri untuk itu secara otodidak atau sekolah khusus musik memerlukan
unas musik dan tidak harus menempuh unas lain -matematika, misalnya- yang
memang tidak disyaratkan untuk menjadi pemusik.
Untuk masuk ke sekolah tertentu,
sekolah bisa mensyaratkan kriteria-kriteria sesuai dengan visi dan misinya.
Syarat-syarat itu bisa dengan meminta calon murid yang berminat untuk
menunjukkan hasil ujian yang diambil melalui tes lepas oleh lembaga-lembaga
independen. Tes tersebut bisa diselenggarakan beberapa kali setahun, bahkan
secara online. Institut seni bisa meminta bukti lulus ujian bagi
calon mahasiswanya.
Akhirnya, kekuatan baru yang akan
mengurangi dan mendekonstruksi schoolism itu adalah
internet sebagai jejaring belajar nonformal, bahkan informal. Jika gejala schoolism tidak
disembuhkan, saya yakin sekolah akan menjadi dinosaurus abad ke-21, kehilangan
relevansi, dan ditinggal pergi para netizen.
Daniel M Rosyid ;
Guru besar ITS, penasihat Dewan
Pendidikan Jawa Timur
JAWA POS, 24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi