Wakil
Presiden Boediono di Palangkaraya (20/4) menyatakan bahwa mungkin sistem yang
terbaik untuk pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah yang terdesentralisasi.
Pernyataan ini dia sampaikan menanggapi pelaksanaan UN tahun ini yang kacau
balau; bahan ujian yang telat tiba ke lokasi, bolehnya fotokopi soal-soal
ujian, pengunduran jadwal, kualitas kertas yang buruk, dan seterusnya.
Pernyataan Boediono menarik, meski sebetulnya ide itu sudah banyak dilontarkan
para pakar pendidikan.
Pemerataan
Mutu
Salah
satu kemajuan di era reformasi pasca-Orde Baru (Orba) adalah desentralisasi.
Ini merupakan koreksi atas kebijakan Orba yang sentralistis. Dengan adanya
desentralisasi, setiap daerah diberi kewenangan mengelola aset-aset yang
dimiliki daerahnya untuk kepentingan daerah terkait. Pemerintah pusat tidak
bisa lagi mengontrol banyak hal atas daerah seperti terjadi pada zaman Orba.
Desentralisasi memungkinkan setiap wilayah berkembang dan secara bertahap dapat
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat setempat.
Desentralisasi
bukanlah federasi. Tujuannya adalah ingin memaksimalkan peran daerah untuk
membantu program-program pemerintah pusat sekaligus memberikan masukan dan
saran ke pemerintah pusat, karena pemerintah daerahlah yang tahu persis kondisi
riil daerahnya masing-masing. Dalam hal ini, desentralisasi merupakan ejawantah
nyata dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang menghargai keragaman daerah
dengan karakter dan budaya yang berbeda-beda. Desentralisasi juga memungkinkan
pusat dapat dengan maksimal memetakan segala permasalahan yang ada.
Dalam
kaitannya dengan program pendidikan nasional, masalah desentralisasi menjadi
menarik, tetapi sekaligus ironik. Ketika negara sudah menanggalkan model
sentralistiknya dan menggantinya dengan desentralisasi, pendidikan
nasional—lebih spesifik lagi UN—justru masih tersentralisasi.
Pemerintah
tampaknya masih setengah-setengah menerapkan model desentralisasi dalam soal
ini. Padahal, seperti kita tahu, antara satu daerah dengan daerah lainnya
berbeda, apalagi jika itu menyangkut infrastruktur dan akses pendidikan yang
lebih mudah dan tercukupi di daerah-daerah yang relatif dekat pusat. Misalnya,
di Pulau Jawa, utamanya di Jakarta dan sekitarnya.
Di
negeri ini ada begitu banyak sekolah yang hidup dalam kondisi sangat
memprihatinkan karena keterbatasan. Belum lagi bicara soal kelengkapan sekolah,
bahkan untuk masalah tempat pun masih banyak yang tidak layak. Sekolah-sekolah
semacam ini umumnya ada di pelosok dengan akses yang cukup sulit. Ini
mengakibatkan mutu atau kualitas pendidikan di setiap daerah berbeda-beda.
Sentralisasi pendidikan yang terwujud dalam bentuk UN dengan demikian merupakan
bentuk lain dari penyeragaman. Selain tidak selaras dengan semangat reformasi
dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, juga merupakan bentuk “penzaliman”, dan
korbannya adalah para siswa peserta didik.
Para
siswa peserta didik yang merupakan cikal bakal penerus bangsa di masa depan
sudah “dizalimi” dengan sistem yang diterapkan kepada mereka tanpa mereka
diberi kemampuan memadai untuk masuk dalam sistem itu sebelumnya.
Mereka
dipaksa ikut dalam sistem UN dengan standar pusat, sementara mereka tidak
menikmati fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah yang lebih baik yang
menjadi landasan kebijakan pusat itu. Ada ketidakadilan di sini. Selama
pemerataan kualitas pendidikan dengan meningkatkan dan serius memperbaiki serta
memajukan sekolah-sekolah di pelbagai pelosok yang kondisinya tidak layak,
belum mampu diberikan oleh pemerintah pusat, pemerintah janganlah memaksakan
penyeragaman UN itu.
UN
Ditiadakan?
Lantas,
apakah sebelum pemerataan mutu pendidikan dilakukan pemerintah, UN ditiadakan?
Sistem desentralisasi sebenarnya bukan hanya yang berkaitan dengan soal
ekonomi, tapi juga pendidikan. Dengan desentralisasi, yang disebut Ujian Nasional
harusnya tidak ada, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Ujian tetaplah
ada, tentu dengan nama yang lebih merepresentasikan semangat desentralisasi,
reformasi dan kebinekaan tadi. Bagaimana mengukur kualitas pendidikan nasional
jika terlokalkan seperti itu? Kita harusnya tidak berpikir tentang kualitas
hanya dengan berdasarkan UN seperti sekarang, karena dalam praktik di lapangan
juga terjadi banyak kecurangan.
Bukan
cerita baru, demi prestise atau gengsi, praktik sontek-menyontek antarsiswa,
pembiaran dari pengawas ujian, bahkan hingga pengawas membocorkan jawaban soal,
banyak terjadi. Jika kecurangan-kecurangan seperti ini terus berlanjut akibat
kebijakan UN, bukankah sama saja hasil pengukuran kualitas pendidikan nasional
yang ingin dituju pemerintah juga berasal dari data-data kamuflase semacam itu?
Semakin kebijakan UN dipertahankan dengan kondisi seperti itu, proses
pendidikan jelas menjadi semacam dagelan dan omong kosong tanpa makna. Amat
disayangkan jika dana ratusan miliar rupiah digelontorkan untuk sesuatu yang
sia-sia. Akan lebih baik jika dana itu justru untuk meningkatkan dan
memeratakan mutu pendidikan di seluruh pelosok Tanah Air.
Ujian
Nasional tidaklah merepresentasikan kualitas pendidikan secara keseluruhan,
karena hakikat dari pendidikan secara holistik bukan pada kemampuan menjawab
pertanyaan di lembar-lembar soal ujian, tetapi kemampuan menjawab persoalan di
luar itu. Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia, dan itu hanya bisa
dilakukan dengan memberi ruang kebebasan bagi para siswa untuk mengembangkan
bakat dan potensinya masing-masing. UN justru membuat siswa terperangkap dalam
sistem robotik yang tidak memberi makna apa pun bagi kehidupan yang lebih baik
di masa depan, selain angka-angka statistik yang tidak ada relevansinya dengan
peningkatan SDM.
Meniadakan
UN dengan mengubahnya menjadi ujian lokal akan lebih menghargai karakteristik
setiap daerah dan—lebih-lebih—menghargai potensi para siswa yang berbeda-beda.
Tugas utama pemerintah bukanlah menyeragamkan, tetapi membuat grand design
pendidikan nasional yang punya arah dan tujuan yang jelas untuk masa depan
bangsa dan negara dengan terus membangun akses, serta menyediakan sarana dan
prasarana pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil secara lebih memadai. Jika
pemerataan pendidikan sudah terwujud, bolehlah bicara penyeragaman dalam bentuk
ujian nasional atau apa pun itu namanya. Wakil Presiden Boediono telah membuka
jalan ke arah desentralisasi, dan itu layak ditindaklanjuti secara serius.
Fajar Kurnianto ;
Peneliti Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
SINAR HARAPAN, 24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi