Dalam sejarah pendidikan Indonesia,
ujian nasional (UN) memiliki jejak yang panjang. Sebagai mekanisme uji
parameter keberhasilan anak didik mencerna pengetahuan yang ditransferkan,
jejak ujian nasional bisa ditelusuri sejak 1965. Seiring perubahan arah mata
angin kebijakan pendidikan nasional, ujian nasional mengalami beberapa kali
reformulasi. Tepatnya, mengalami metamorfosis.
Pada 1965-1971, pendidikan nasional
mengenal yang namanya ujian negara. Masuk tahun 1972-1979, formulasinya diganti
menjadi ujian sekolah. Satu tahun kemudian, 1980-2000, berubah lagi menjadi
evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas). Memasuki periode 2001-2004, di
tengah aura reformasi yang ingin melepas segala memori politik (pendidikan)
Orde Baru, Ebtanas berubah menjadi ujian akhir nasional (UAN).
Tak lama kemudian, format UAN pun
berubah. Pada 2005, huruf “A” di tengahnya dihilangkan, dan berubah istilah
menjadi ujian nasional (UN). Setelah delapan tahun digunakan, untuk sementara
istilah UN masih belum tergantikan, hingga 2013 ini. Entah pada masa mendatang,
apakah format ujian pendidikan kita akan kembali bermetamorfosis.
Mari kita lihat metamorfosis ujian
ini dalam perspektif matematis. Dalam rentang 48 tahun, terjadi lima kali
perubahan formulasi ujian pendidikan nasional. Jika dihitung rata-rata, setiap
format ujian bertahan sekitar 9,6 tahun. Format ujian yang bertahan paling lama
adalah Ebtanas, 20 tahun. Sedangkan yang tercepat ujian akhir nasional (UAN),
yakni tiga tahun. Mungkin ini salah satu rekor baru “kompetisi” perubahan
format ujian pendidikan antarnegara. Tak banyak negara yang bisa melakukan
perubahan “segesit” ini.
Sepertinya ini mengindikasikan
adanya problem serius dalam konsep pendidikan kita, ketimbang indikasi betapa
dinamisnya pendidikan kita. Perubahan ini tampak seperti gejala ketidakwajaran,
ketimbang inovasi. Setidaknya ini bisa dilihat dari dua perspektif.
Pertama, dalam perspektif filsafat
pendidikan, konsep pendidikan sebuah negara seharusnya memiliki visi jangka
panjang. Membangun basis pendidikan bukanlah kerja instan. Ini investasi masa
depan. Hasil positifnya baru akan dirasakan pada masa mendatang. Demikian juga
sebaliknya: ketika sebuah negara mengabaikan dunia pendidikannya, efek
negatifnya akan dirasakan dalam jangka waktu yang lama.
Jika Korea selatan saat ini memanen
buah kemajuan dan menjadi salah satu negara yang sangat inovatif, benihnya
telah ditanam sekitar 50 tahun silam. Ladang tempat menanamnya bernama
pendidikan. Benihnya adalah kurikulum itu sendiri. Sebaliknya, jika Indonesia
kini semakin tertinggal jauh oleh negara tetangga, Malaysia dan Thailand, salah
satu penyebab krusialnya adalah degradasi dunia pendidikan di negara kita ini.
Fenomena gonta-ganti format ujian yang terlalu sering adalah salah satu
indikatornya.
Kedua, jika kita coba
mengkomparasikan dengan fenomena pendidikan di negara lain, perubahan format
ujian yang terjadi di Indonesia terhitung sangat cepat. Di negara-negara yang
pendidikannya maju, ujian jarang sekali mengalami perubahan. Kalaupun berubah, pada
sisi-sisi yang teknis saja, bukan formulasinya.
Dilihat dalam dua perspektif di
atas, cepatnya metamorfosis format ujian dalam pendidikan Indonesia menunjukkan
ketidakmatangan konsep pendidikan kita. Perubahan yang terlalu sering itu bukan
indikasi progresivitas, inovatif, dan dinamisnya formulasi pendidikan kita.
Tapi sebaliknya: menandakan limbungnya konsep pendidikan kita. Pendidikan kita
tidak dipandu oleh basis filosofis yang jelas. Ibarat pemahat, formulasi
pendidikan kita seperti terus mencari bentuk, tanpa tahu patung apa yang hendak
diciptakan. Pendidikan kita seperti meraba-raba di ruang gelap. Tak tahu arah.
Tak tahu di mana berpijak.
Metamorfosis format ujian dalam
pendidikan kita tersebut, yang terjadi hingga lima kali, bukannya tanpa dasar
argumentasi. Selalu ada pertimbangan di baliknya. Namun sayangnya: pertama,
argumentasi atau pertimbangannya tidak substansial; kedua, format perubahannya
tidak signifikan; ketiga—ini yang paling penting—jika konsep pendidikan kita
matang dan visioner, perubahan format sebagai sebuah langkah antisipatif,
revisi, dan penyesuaian terhadap gerak zaman tidak perlu terjadi. Sebab, hal
itu seharusnya sudah diprediksi jauh-jauh sebelumnya. Jadi perubahan format
ujian dalam pendidikan kita mengindikasikan lemahnya filosofi dan pendeknya
visi pendidikan kita.
Signifikansi
Melihat karut-marutnya metamorfosis
format ujian dalam sejarah pendidikan nasional, tampaknya kita perlu
mendudukkan kembali makna dan fungsi dari ujian itu sendiri. Sejauh mana
signifikansinya dan seperti apa idealnya. Dalam perspektif filsafat pendidikan,
posisi dan fungsi ujian nasional bisa mendua: bisa penting sekali, tapi bisa
juga tidak; bisa strategis sekali, tapi bisa juga tidak; bisa sangat
menentukan, tapi juga bisa tidak menentukan sama sekali. Semua tergantung cara
pandangnya.
Ujian nasional menjadi penting,
strategis, dan menentukan, jika dipersepsikan sebagai alat, bukan tujuan.
Filosofinya proses, bukan hasil akhir. Dalam ujian, posisi siswa tetap sebagai
subyek pendidikan, bukan obyek. Ujian diposisikan sebagai parameter untuk
menilai keberhasilan dan efektivitas sebuah konsep pendidikan rancangan
pemerintah. Jika paradigma ini yang dianut, ujian nasional tentulah sangat
penting.
Namun dalam perspektif yang lain,
ujian nasional menjadi tidak penting. Alasannya: ujian hanya mencakup satu
dimensi dari format pendidikan yang multidimensi. Secara metodologik,
pendidikan mencakup tiga aspek: kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Secara
paradigmatik, ada tiga dimensi: intelektual, moral-etik, dan
intuisional-spiritual.
Sebagai parameter, ujian yang
formatnya tertulis (menjawab soal), sebenarnya hanyalah mencakup bagian kecil
dari keseluruhan standar parameter. Ujian tertulis tidak boleh dilihat terpisah
dan berdiri sendiri dari dimensi pendidikan yang lain (ujian non-tulis:
karakter, asah bakat, dan yang lain). Dalam kerangka paradigma inilah, ujian
menjadi tidak terlalu penting, karena tidak mewakili seluruh wajah kesuksesan
seorang siswa. Posisinya hanya sebagai komplementer. Ujian hendaknya didudukkan
dan dirancang dengan spirit filosofi “proses”, bukan “hasil”. Ujian sebagai
alat, bukan tujuan.
Formulasi ujian dalam pendidikan
nasional sudah berkali-kali mengalami metamorfosis. Normalnya, setiap periode
metamorfosis semakin mengarah pada kedewasaan atau kematangan jati diri
(pendidikan nasional). Seperti kepompong bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Namun tampaknya harapan itu belum
dapat terpenuhi. Secara matematis, kuantitas metamorfosis ujian dalam
pendidikan kita mungkin yang paling tinggi dibanding negara lain (5 kali dalam
48 tahun). Namun kualitasnya masih di bawah. Usianya “dewasa”, tapi
karakteristik jati dirinya masih tetap “kanak-kanak”, karena setiap proses
metamorfosis tidak mengarah pada kematangan anatomi, tapi malah perubahan
genetika
Suyitno ;
Peneliti Filsafat Pendidikan di Sekolah Jubilee, Jakarta
TEMPO.CO, 25 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi