MURID SMA atau madrasah aliyah yang lulus ujian
nasional (unas) dengan nilai setiap pelajaran 100 tidak terjamin secara
akademis bisa masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Sebab, tidak ada kaitan
langsung unas dengan sistem rekrutmen masuk PTN. Inilah salah satu keblingeran
dalam sistem pendidikan kita.
Sedikitnya, ada empat jalur masuk PTN. Pertama,
jalur undangan. Yang dijadikan referensi agar diterima melalui jalur ini adalah
nilai rapor mulai semester pertama kelas IX. Dengan demikian, jika baru mencapai
puncak performa pada saat unas sehingga memperoleh nilai sempurna, tetapi
karena nilai rapor dianggap tidak memenuhi syarat, mereka tidak bisa mengetuk
pintu jalur undangan.
Jalur undangan juga mempertimbangkan sekolah.
Betapapun murid hebat, baik nilai rapor maupun nilai unasnya, tetapi jika
sekolahnya berstatus di-blacklist PTN, hampir mustahil bisa
menerobos jalur undangan. Blacklist itu bisa disebabkan
kesalahan masa lalu. Sekalipun sudah berbenah, tetapi seperti sekali lancung ke
ujian, seumur hidup orang tak percaya.
Kondisi ini semakin rumit jika ternyata jalur
undangan pun menggunakan pendekatan "wani pira". Lulus
unas dengan nilai sempurna plus rapor bagus akhirnya juga tidak menjadi jaminan
lolos jalur undangan karena harus kalah dalam adu "wani
pira".
Kedua, jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi
(SBM PTN). Kriteria yang dipergunakan adalah bagaimana hasil tes SBM PTN ditambah
tes khusus untuk program studi tertentu seperti olahraga, seni budaya, desain
program. Jalur ini menafikan hasil unas maupun rapor. Jalur ini dinilai relatif
terbaik di antara jalur lain karena lebih objektif. Namun, di jalur ini masih
ada potensi manipulasi melalui percaloan, bocornya soal, sampai jawaban melalui
SMS atau BBM. Herannya, sudah tahu bahwa percaloan itu banyak melalui SMS dan
BBM, mengapa peserta tes dibiarkan membawa HP.
Di jalur ini, anak pintar, bahkan peserta program
akselerasi sekalipun, belum tentu lolos karena kuotanya hanya sekitar 30
persen. Dengan demikian, mereka bukan tidak lulus karena nilai tesnya kurang,
tetapi terjegal oleh kuota.
Ketiga, jalur mandiri. Jangan dipersepsi mandiri
ini untuk mendapatkan calon mahasiswa yang hebat, bisa belajar secara mandiri.
Tetapi, ini lebih dalam konteks uang. Artinya, jatah bagi yang mampu membayar
dengan ditetapkan batas bawah. Adapun batas atas tak terbatas. Ini benar-benar
jalur untuk mendapatkan duit. Tidak peduli pintar atau bodoh, yang penting bisa
membayar setinggi-tingginya.
Mekanisme pemilihannya jelas, dibuat ranking berdasar
jumlah bayaran, kemudian diambil dari nomor satu sampai nomor kuota jalur. Jika
kuotanya 60 calon mahasiswa, berarti diambil nomor 1-60. Dengan demikian,
meskipun nilai unas dan rapor sempurna, jika tidak kuat membayar sesuai level
kuota, harap lupakan jalur yang mengambil sekitar 30-40 persen mahasiswa ini.
Keempat, jalur kemitraan. Jalur ini merupakan
kesepakatan PTN dengan memberikan kuota suatu institusi. Jalur ini berawal dari
kepercayaan institusi tertentu kepada suatu PTN untuk mendidik calon tenaga
kerja yang dibutuhkan institusi tersebut. Institusi tersebut menyeleksi siswa
potensial. Namun, pada perkembangannya, jalur ini bisa disalahgunakan untuk
memfasilitasi keluarga pejabat institusi tersebut agar bisa masuk PTN tanpa
bersusah payah ikut SBM PTN. Di sini pun ada nuansa "wani pira".
Implikasi dari sistem banyak jalur ini PTN bisa
mendapatkan dana segar langsung. Ransum dari pemerintah selama ini dinilai
kurang. Karena itu, secara retorika dana ini bisa untuk "meningkatkan
kualitas dan pelayanan PTN".
Implikasi lain yang tidak bisa dimungkiri adalah
tidak terjaminnya kualitas enrolment (masukan calon
mahasiswa). Menjadi mahasiswa karena "wani mbayar".
Karena sejak awal "jer basuki wani pira", pada akhirnya
dalam mengikuti proses perkualiahan pun lebih mengandalkan "wani
pira". Lulus dengan uang.
Praktik demikian dulu lebih dikenal terjadi di
perguruan tinggi swasta (PTS). Di "PTS komersial", mahasiswa boleh
jarang kuliah, tetapi bisa meraih gelar akademik mulai sarjana sampai doktor.
Akhirnya masyarakat sendiri yang mengevaluasi. PTS demikian sepi peminat,
lulusannya tidak laku di pasar tenaga kerja. Jembret.
Hal demikian bisa saja terjadi pada PTN. Memang
sekarang PTN masih menjadi pilihan utama masyarakat. PTN masih menjadi simbol
status. Namun, jika kualitas lulusannya rendah karena dimulai dari kualitas enrolment yang
rendah, lambat laun kualitasnya akan terdegradasi. Mereka akan kehilangan
kredibilitas sebagai lembaga moral dan profesional.
Ke depan perlu mempertimbangkan penggunaan satu
sistem masuk PTN, yaitu kombinasi SBM PTN dengan rapor. Artinya, menggunakan
nilai hasil SBM PTN dan hasil rapor dua semester terakhir. Komposisinya bisa
50-50, 60-40, 70-30. Untuk pelaksanaan SBM PTN menggunakan 30 soal berbeda
untuk mempersempit peluang percaloan. Cuma masalahnya, berani atau tidak pelaku
sistem yang ada sekarang kehilangan ceperan. Gusti Allah
ora dhahar ora sare.
Anwar
Hudijono ;
Jurnalis, Media
Consultant, dan Facebooker
JAWA POS, 01 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi