Beberapa tahun silam, saya mendapat kunjungan dari
seorang kolega asal Jepang. Setelah mendapat gelar doktor dari Universitas
Tokyo, kolega saya ini menjabat sebagai dosen di sebuah universitas kecil di
Tokyo.
Ketika itu, saya bertanya kepadanya, mengapa ia
tidak menjadi dosen di Universitas Tokyo mengingat prestasinya yang sangat
baik. Dalam dua tahun setelah kelulusannya, ia telah memublikasikan tak kurang
dari 14 paper di berbagai jurnal internasional dan pada saat itu ia sedang
menulis enam paper berikutnya. Ia menjawab, Universitas Tokyo sedang tidak
mempunyai lowongan dosen baru. Lalu saya bertanya lagi, jika ada lowongan
nanti, apakah ia akan melamar. Tentu saja, katanya. Namun, ia menambahkan,
persaingan akan sangat ketat.
Masuk akal. Menurut The Times Higher
Education Supplement Survey, Universitas Tokyo merupakan universitas
terbaik di Asia.
Kualitas perguruan tinggi Indonesia
Dalam satu dekade terakhir, sejumlah perguruan
tinggi terkemuka di Indonesia tiba-tiba memiliki visi menjadi universitas kelas
dunia, bahkan tak sedikit yang mengaku telah menjadi perguruan tinggi kelas
dunia.
Menurut Webometrics, lembaga independen asal
Spanyol yang juga rutin melakukan pemeringkatan perguruan tinggi dunia,
beberapa perguruan tinggi Indonesia rupanya telah dikenal di dunia walaupun
masih jauh tertinggal di belakang perguruan tinggi Jepang, China, Taiwan,
Hongkong, Singapura, dan Thailand.
Secara umum, masih ada banyak hal yang perlu
dibenahi pada perguruan tinggi kita. Bukan sekadar untuk meningkatkan peringkat,
melainkan lebih untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi kita. Kualitas
dalam hal apa? Tentunya kualitas dalam kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi,
yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, untuk
meningkatkan kualitas Tridharma, kita juga perlu meningkatkan kualitas sarana
dan prasarana, pengelolaan, dan pendanaan, serta kualitas para pelakunya, yakni
para dosen dan tenaga pendukung, yang akan berdampak langsung pada kualitas
Tridharma.
Dalam tulisan ini, saya akan menyoroti kualitas
dosen. Dibandingkan dengan perguruan tinggi di negara lain seperti Jepang atau
Singapura, betapa mudahnya orang menjadi dosen di Indonesia. Hanya dengan
menyandang gelar magister, orang dapat menjadi dosen di perguruan tinggi kita.
Saat ini, dari sekitar 270.000 dosen (dan peneliti)
pada perguruan tinggi negeri dan swasta, hanya sekitar 23.000 yang
berpendidikan doktor (Kompas, 27 Mei 2013). Pada saat yang sama,
terdapat 3.200 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Jadi,
secara rata-rata, hanya terdapat 7-8 doktor per perguruan tinggi.
Selebihnya hanya bergelar master dan tak sedikit
pula yang berbekal ijazah sarjana. Di sebuah perguruan tinggi ternama, jumlah
doktor memang bisa melampaui 1.000 orang, tetapi ini justru menunjukkan
distribusi doktor yang sangat tidak merata di antara perguruan tinggi kita.
Kualitas dosen
Itu baru tentang ijazah yang dimiliki dosen kita.
Jika kita tengok lebih jauh kualitas dosen yang tersebar di berbagai perguruan
tinggi sekarang ini, hati kita bisa lebih menciut lagi.
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 yang baru saja diberlakukan
pun, seseorang dapat meraih jabatan tertinggi, yaitu guru besar, tanpa harus
memiliki prestasi yang istimewa dalam penelitian. Hanya dengan memiliki satu
atau dua publikasi internasional sejak menjadi lektor, seorang dosen dapat
diusulkan menjadi guru besar asalkan ia telah mencapai angka kredit 850, yang
dikumpulkannya sejak menjadi dosen.
Di Universitas Tokyo, orang yang kualitasnya
pas-pasan seperti itu bahkan tidak layak untuk melamar menjadi dosen. Pembaca
mungkin berkilah, jangan membandingkan dengan Universitas Tokyo dong. Memang,
membandingkan perguruan tinggi Indonesia, sekalipun perguruan tinggi terbaik
kita, dengan perguruan tinggi sekelas Universitas Tokyo, ibarat membandingkan
kucing dengan harimau: sejenis, tetapi beda kelas. Maksud saya mengemukakan hal
di atas adalah untuk mendapat gambaran kira-kira seberapa jauh posisi perguruan
tinggi kita dari perguruan tinggi kelas dunia.
Kita baru mengamati satu aspek, yaitu kualitas
dosen, melalui sistem perekrutan dan sistem promosinya. Logisnya, dengan dosen
berkualitas rendah, apa yang dapat kita harapkan dengan kualitas Tridharma
Perguruan Tinggi kita? Jika saat ini banyak program studi yang belum
terakreditasi, maka kualitas (dan juga kuantitas) dalam penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat lebih menyedihkan lagi.
Pemerintah, bersama-sama dengan para pelaku
pendidikan tinggi, tampaknya harus berupaya keras untuk meningkatkan kualitas
pendidikan tinggi di Indonesia. Adanya perguruan tinggi yang mempunyai visi
menjadi universitas kelas dunia tentu perlu didukung. Namun, untuk menjadi
perguruan tinggi yang diakui dunia, kita tentunya perlu mempelajari karakteristik
unggul dari sejumlah perguruan tinggi ternama pada tataran global, untuk
dilakoni dan kita capai di kemudian hari.
Belajar ke negeri China
Itulah yang dilakukan Pemerintah China, misalnya,
pada tahun 1990-an, dan sebagaimana kita ketahui Universitas Beijing dan
Universitas Tsinghua saat ini termasuk dalam jajaran perguruan tinggi papan
atas. Dalam bukunya Education for 1.3 Billion, Li Lanqing, eks PM China
pada 1993-2003, menjelaskan bagaimana konsepnya tentang universitas kelas
dunia.
Menurut Li, sebuah universitas papan atas harus
mempunyai reputasi akademik yang mapan dan sumber daya akademik yang kaya.
Selain itu, sebuah universitas kelas dunia lahir dengan pengembangan diri dan
upaya tanpa pamrih untuk memenuhi standar universal. Karena itu, tidak masuk
akal menargetkan setiap perguruan tinggi menjadi kelas dunia. Apalagi tidak
semua universitas atau perguruan tinggi mempunyai potensi untuk menjadi
institusi kelas dunia.
Dalam pengamatan Li Lanqing, terdapat sejumlah
karakteristik perguruan tinggi kelas dunia, antara lain menyangkut kualitas
dosennya dan kemampuan perguruan tinggi tersebut dalam merekrut dan mendidik
banyak orang terkenal, sebagian di antara lulusannya menjadi orang yang
berhasil dalam kariernya dan mengharumkan nama almamaternya.
Tampaknya, dalam upaya meningkatkan kualitas
perguruan tinggi di Indonesia, kita harus belajar dari China.
Hendra
Gunawan ;
Guru Besar pada FMIPA
ITB Bandung
KOMPAS, 01 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi