Pendidikan di Indonesia bermasalah, bahkan disebut
karut-marut. Ada anggapan bahwa biang keroknya adalah penekanan yang berlebihan
pada aspek kognitif, sedangkan aspek afektif tidak diperhatikan.
Tudingan terhadap penekanan yang berkelebihan pada
aspek kognitif dibantah Iwan Pranoto (Kompas, 20/6/2013). Dalam aspek
kognitif, siswa Indonesia justru sangat lemah. Mereka baru sampai pada aras
yang paling rendah, yakni ranah ”mengingat” (rote learning).
Unta ke-18
Kelemahan itu masih tampak bahkan sampai S-3.
Pernah saya memberikan kepada para mahasiswa S-3 soal yang saya dapatkan dari
Dr Soegeng Hardiyanto (rekan dosen S-3). Soal itu ia dapatkan dari dosennya di
Muenchen, Prof Dr Carl Friedrich von Weizsaecker (alm), seorang
astrofisikawan-cum-filsuf.
Soalnya begini: Seorang ayah mewariskan 17 ekor
unta kepada ketiga anaknya dengan ketentuan bahwa tidak boleh ada unta yang
dijual atau disembelih. Anak sulungnya mendapatkan separuh, anak kedua
mendapatkan sepertiga, dan anak bungsunya sepersembilan. Karena amanah itu tak
dapat dipenuhi, paman ketiga bersaudara itu membantu mereka dengan memberikan
seekor untanya. Maka, si sulung menerima sembilan ekor unta, adiknya enam ekor,
dan si bungsu kebagian dua ekor. Seekor lagi dikembalikan kepada paman mereka.
Pertanyaannya, (1) tinjaulah soal ini secara
logika, dan (2) benarkah kalau dikatakan bahwa ”realitas ialah unta yang
ke-18”?
Ternyata, para mahasiswa S-3 mengalami kesulitan
untuk menjelaskan soal ini. Ada yang menjawab dengan menyalahkan soalnya karena
tidak sesuai dengan syariah hukum waris.
Dalam artikelnya, Iwan Pranoto mengatakan: ”Jika
siswa menuliskan 2+3 = 7, itu bukan tidak jujur, tetapi salah.” Ya, itu salah.
Tegasnya, salah secara logika, artinya tak panggah (inkonsisten) dengan kaidah
penjumlahan yang telah ditetapkan dan dimufakati. Namun, apa yang benar secara
logika belum tentu benar secara faktual-empiris.
Dalam ranah ilmu real (vis-a-vis ilmu
formal), kelogisan baru merupakan syarat-perlu, belum syarat-cukup. Logika
penting sekali. Agaknya inilah yang ditekankan dalam bimbingan belajar (bimbel)
untuk menghadapi tes pilihan berganda (multiple choice). Penguasaan
materi (mastery of content) dianggap tidak penting. Di program S-3,
kuliah (coursework) juga disepelekan. Yang dianggap penting hanya
penelitian. Materi mata kuliah dianggap tidak penting. Yang penting, katanya,
ialah perspektifnya (apa pun yang dimaksudkan dengan ”pespektif” itu).
Einstein memperoleh Hadiah Nobel untuk
penjelasannya atas efek fotoelektrik, yakni terlepasnya elektron dari permukaan
logam bila permukaan itu ditimpa cahaya dengan frekuensi yang melebihi nilai
ambang tertentu. Persamaannya ialah K = E - W. K, E, dan W berturut-turut
adalah tenaga gerak elektron, tenaga foton cahaya, dan usaha yang diperlukan
untuk melepaskan elektron dari ikatannya di dalam logam.
Secara logika, untuk E tertentu, K akan lebih besar
untuk W yang lebih kecil. Bila diekstrapolasikan ke W = 0, maka diperoleh K
yang terbesar. Ini logis, tetapi tidak faktual.
Kenyataannya, kalau W = 0, peristiwa efek
fotoelektrik itu justru tidak terjadi, berarti K juga tidak ada! Kebenaran
logis tidak menjamin kebenaran faktual. Logika yang kuat sangat penting, tetapi
penguasaan materi juga tidak kalah penting.
Muatan moral
Saya setuju dengan Iwan Pranoto bahwa siswa-siswa
kita lemah dalam ranah kognitif. Saya juga setuju dengan Iwan Pranoto bahwa
kelemahan ini tidak dapat diatasi dengan mendongkrak ”citra sok moralis”,
seperti terkesan dalam Kurikulum 2013. Saya yakin, dengan menekankan pentingnya
aspek kognitif, Iwan Pranoto tak bermaksud untuk mengabaikan aspek-aspek
psikomotorik dan afektif. Ketiganya harus berimbang dengan proporsi yang sesuai
dengan inklinasi siswa dan profesi yang hendak dimasukinya kelak.
Kalau ikatan kovalen dalam molekul hidrogen (H2)
dipakai untuk mengkhotbahkan nilai yang baik, yakni semangat berbagi, itu sok
moralis. Menurut ”kelirumologi”-nya Jaya Suprana, ikatan kovalen itu eksplanasi
teoretis yang bersesuaian dengan fakta empiris, bukan dakwah moralitas. Kedua
inti atom hidrogen dan kedua elektron dalam molekul itu mempunyai ikatan
kovalen bukan karena sikap moralnya, tetapi karena entitas-entitas niratma (inanimate)
itu tidak mempunyai kehendak bebas. Mereka tidak memilih ikatannya, apalagi
mendasarkan sikapnya pada pertimbangan nilai-nilai moral. Mereka itu amoral.
Obsesi sok moralis ini tampak juga pada soal bahasa
Indonesia yang membuat sementara partisan PKS gusar sebab soal pilihan berganda
itu membawa-bawa nama Luthfi H Ishaaq.
Liek
Wilardjo ;
Fisikawan
KOMPAS, 28 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi