Sekolah sebagai institusi resmi harus tegas
menerapkan aturan. Termasuk tega dalam memberikan sanksi kepada warga sekolah
yang melanggar aturan.
Karena ketidakmampuan dan ketidakberanian
menetapkan aturan, sekolah akan selalu dilecehkan. Dua peristiwa terjadi di
Solo Raya, seperti diberitakan oleh harian lokal (3/3). Kasus pertama siswa di
salah satu MAN di Kota Solo melawan kepada gurunya (wakasek) saat diperingatkan
dengan melawan bahkan memukul gurunya. Kasus kedua saat empat orang kakak kelas
mengeroyok adik kelas (Ketua OSIS) yang memberikan peringatan tentang
kedisiplinan di SMP Negeri di Baturerno Wonogiri. Kedua kasus pembangkangan
siwa terhadap tata tertib di sekolah.
Seolah sekolah tidak berani dan tidak tegas
dalam menerapkan aturan yang berlaku. Sehingga dengan seenaknya siswa berani
melakukan perlawanan. Lalu bagaimana integritas dan wibawa sekolah bila tida
tega menerapkan aturan secara tegas? Bullying atau kekerasan di sekolah sudah
jamak terjadi. Oknum pelaku biasanya dilakukan oleh pendidik (guru) dan peserta
didik (siswa) menjadi korban. Oleh karena itu pelaporan dilakukan korban
(siswa) beserta orang tua biasanya setelah ada visum dari dokter yang
berwenang.
Melahirkan gugatan maupun delik aduan dan ditindak
lanjuti aparat kepolisian sebelum di vonis di pengadilan. Menjadi ironis saat
aturan di sekolah dilanggar secara terbuka oleh warga sekolah (khususnya
siswa). Saat siswa tidak takut lagi terhadap aturan tata tertib yang berlaku di
sekolah, bahkan melawan terhadap otoritas penguasa sekolah.Disini pasti sekolah
kurang berani menerapkan aturan yang berlaku, karena bisa menjadi bumerang
berkenaan pelanggaran hak asasi manusia. Guru dan OSIS merupakan personel resmi
yang diatur dalam Undang-Undang untuk menegakkan kedisplinan.
Siswa “melawan” dan tidak ada sanksi yang
tegas, transparan merupakan bentuk pelemahan lembaga pendidikan (sekolah). Bisa
juga sebagai bentuk pembenaran kriminilasisasi di sekolah. Memang pada dasarnya
dalam kehidupan dalam lingkungan sekolah aturan (tata tertib) yang sudah
disepakati bersama menjadi tanggung jawab semua. Di manapun komitmen penegakkan
disiplin diatur dan diuraikan secara berjenjang termasuk hukuman yang
diberlakukan bila melakukan pelanggaran atau kejahatan. Mulai dari teguran,
peringatan sampai pada sanksi.
Nila melihat dua kasus, di mana siswa mulai
berani “melawan” merupakan degradasi pendidikan itu sendiri. Sebuah perlawanan
secara terbuka, yang sudah tidak dapat ditolerir. Meskipun dalam mediasi antara
sekolah dan orang tua (kasus pemukulan guru) disebabkan keduanya salah, tapi
keberanian siswa “melawan” merupakan kejadian yang langka. Maka menurut
penulis, apa yang salah dalam lembaga pendidikan sekarang bila sanksi tegas
tidak diterapkan sesuai poin pelanggaran?
Keprihatinan
Oleh karena itu melihat, membaca dan
mencermati dari kelemahan kurikulum 2006 dan dikembangkan dalam kur i k u l u m
2013. Beberapa kelemahan fenomena negatifyang mengemuka antara lain perkelahian
pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam Ujian (mencontek).
Ternyata perkelahian (kekerasan) menjadi salah satu sorotan, dampak dari
kurikulum 2006 yang menekankan aspek kognitif belaka, terlalu sarat akan konten
dari materi pelajaran yang terlalu luas dengan mengesampingkan pendidikan nilai
maupun karakter.
Bila demikian memang kadang membentuk opini
bahwa pendidik (guru) tidak sempat lagi memberikan dan menyisipkan pendidikan
etika, moral, budi pekerti yang tergabung dalam pendidikan karakter. Pasalnya,
beban berat dari tuntutan kurikulum yang menitik beratkan kepada materi
pembelajaran sehingga kebutuhan siswa akan pendampingan, bimbingan, problem
solving ( pemecahan masalah) terabaikan.
Karena kenyataannya standar penilaian belum
mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil). belum secara
tegas menuntut adanya remediasi secara berkala. Sebab pusat pembelajaran masih
kepada guru (teacher centered learning), sifat pembelajaran yang berorientasi
pada buku teksa dan buku teks hanya memuat materi bahasan belaka. Sehingga
riak-riak permasalahan pribadi, sosial terabaikan dan “meledak” saat kekerasan
di sekolah terjadi. Kekerasan di sekolah dengan keberanian siswa “melawan”
sebuah keprihatinan stakeholder pendidikan.
Maka harapan kompetensi kurikulum 2013 yang
menitik beratkan pada kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan
kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan
menjadi warga negara yang efektif, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran
terhadap pandangan yang berbeda , kemampuan hidup dalam masyarakat yang
mengglobal, memiliki minat luas mengenai hidup, memiliki kesiapan untuk bekerja
dan memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya dapat teraktualisasi.
Dengan demikian adanya kurikulum 2013 dapat
memberikan solusi dan pencerahan. Segala pikiran, sikap, perilaku dan perbuatan
siswa, secara massif menyimpang dapat direduksi. Sebagai bentuk justifikasi dan
aplikasi dari kurikulum baru. Yang mana secara aktif , partipatif
mengaplikasikan nilai-nilai nyata sesuai perkembangan, kontekstual yang menjadi
kebutuhan kekinian. Sebab bila tiap hari mendengar, melihat dan membaca berita
kekerasan di sekolah sebagai bentuk keprihatinan mendalam.
Karena tidak sejalan dengan tujuan Pendidikan
yang termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003, yaitu “Berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh karena itu sebuah
kolaborasi tujuan pendidikan dan harapan kurikulum 2013 demi memberikan
pedoman, arahan dan menjaga agar siswa lebih humanis.
Di mana proses pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik (student centered active learning), sifat pembelajaran
kontekstual dan buku teks pelajaran hanya memuat materi dan proses
pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan dengan tidak
mengabaikan perkembangan siswa sesuai karakter dan usia yang dimilikinya.
Penekanan tematik integratif juga memampukan pendidik dan peserta didik untuk
saling berkomunikasi, menghormati, menghargai dan toleran.
Maka tidak lagi muncul keprihatinan, bahwa
siswa sekarang mulai berani melawan aturan secara radikal, dengan secara fisik
melakukan kekerasan kepada siswa bahkan kepada gurunya. Bila prevalensi (angka
kejadian) ini semakin meningkat, layak dikaji ulang efektivitas kode etik guru
(KEG) dan mulai berlaku tahun 2013. Begitu pula efektifkan, optimalkan lembaga
advokasi guru guna memberikan bantuan perlindungan hukum. Sebab guru sebagai
pendidik profesional kadang tidak paham akan hakhaknya bila dianggap melakukan
pelanggaran hukum sebagai efek tanggung jawabnya sebagai pendidik.
Namun bila kekerasan di sekolah tetap terjadi
dan sampai pada ranah kejahatan, segala aturan (sanksi) diberlakukan secara
tegas dan tega (tanpa belas kasihan) di terapkan sesuai hukum positif tanpa
pandang bulu. Membuat angka pelanggaran dan kejahatan berkurang, karena rasa
takut melakukan kesalahan dengan adanya sanksi yang tegas.
Fx
Triyas Hadi Prihantoro ;
Guru
SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta
KORAN
SINDO, 03 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi