Karut-marut
pelaksanaan ujian nasional (unas) SMA dan SMK ibarat air yang mengalirkan
berbagai masalah ikutan di hilirnya. Termasuk desakan agar Mendikbud Mohammad
Nuh mundur dari jabatannya. Desakan ini seharusnya tidak semata dipandang
sebagai refleksi kegagalan mengelola unas, tapi juga cermin tanggung jawab atas
kegagalan tersebut yang dianggap bisa dilunasi dengan mundurnya sang menteri.
Apakah
itu suara pinggiran yang tidak suka kepada sang Mendikbud? Sejauh ini Muhammad
Nuh mengapresiasi desakan mundur itu dengan pernyataan normatif bahwa dirinya
bukan politikus yang sibuk mengurusi jabatan sebagai menteri. Jabatan adalah
amanah. Posisi dirinya adalah sebagai pembantu dan menyerahkan seluruh
keputusan kepada presiden. Secara substantif dia akan mundur jika tersangkut
korupsi, misalnya, dalam hal pencetakan naskah unas.
Kisah
Rujukan
Beberapa
kisah desakan atau mundurnya menteri pernah terjadi dalam perjalanan
pemerintahan kita. Ketika mengemuka kasus dana liar Bank Indonesia (BI) yang
ramai pada 2008, desakan mundur ditujukan kepada Menteri Kehutanan M.S. Kaban
dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta yang diindikasikan menerima dana
tersebut. Namun, keduanya aman dan tidak jadi mundur, karena "secara
formal" tidak terbukti menerima dana itu.
Ketika
Orde Baru menjelang tutup buku, beberapa menteri mengundurkan diri. Bukan
karena kasus tertentu, tapi sekadar pergeseran posisi atau pindah departemen.
Hanya ada beberapa menteri yang dituntut mundur karena prahara profesionalisme
kebijakan, dan karena musibah atau "kecelakaan".
Menteri
Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana, misalnya, dituntut mundur akibat kemelut
tambang emas Busang di Kaltim karena ternyata hanya pepesan kosong. Dia dinilai
alpa mengontrol investor awu-awu dari negeri Paman Sam yang menurunkan
kepercayaan investasi di tanah air. Namun, tuntutan itu ibarat angin lalu dan
tertutup dengan berbagai heboh peristiwa lain.
Catatan
tentang desakan mundurnya menteri juga ditujukan kepada Menteri Perhubungan
Hardjanto Danutirto, atau disapa Tuan Dhanu, terkait centang perenang
pengelolaan transportasi. Begitu pula kepada Menparpostel Joop Ave, terkait
moralitas, yaitu indikasi pelecehan seksual di Selandia Baru. Keduanya juga
tidak direspons dan selamat sampai akhir masa jabatan.
Pada
saat Presiden Abdurrahman Wahid, ada dua menteri yang benar-benar mundur pada
saat kabinet baru 15 bulan. Mereka adalah Menteri Koordinator Pengentasan
Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz, yang kemudian malah menjabat Wapres zaman
Megawati. Alasan formalnya adalah ketidaksesuaian program yang harus dijalankan
dengan konsep yang harus diusung dari partainya, PPP. Pada saat yang sama,
Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengajukan pengunduran diri karena tanggung
jawab profesionalisme tentang ide otonominya tak terakomodasi dalam RPJP
(rencana pembangunan jangka panjang), apa lagi dalam RPJM (rencana pembangunan
jangka menengah). Hal itu menjadi alasan bahwa dirinya tidak bisa bekerja.
Bergantung
Sayang Presiden
Pada
tataran normatif, benturan mundurnya seorang menteri dari jabatan akibat suatu
kasus, atau karena merasa tidak cocok adalah pada hak prerogatif presiden. Hal
ini menjadi dasar sistem pemerintahan presidensial. Landasan konstitusional
pada sistem ini memberikan kepastian bahwa menteri negara adalah pembantu
presiden yang kedudukannya bergantung sepenuhnya kepada presiden. Menteri
adalah kepala departemen yang bertanggung jawab kepada presiden selaku kepala
eksekutif. Mau menghentikan menteri di tengah jalan atau lanjut, itu bergantung
pada presiden.
Adanya
lembaga yang mengurusi kinerja para menteri, seperti Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), ibarat anatomi kalimat, juga
hanya sebagai "pelengkap penderita". Kendati bisa memberikan rapor
merah, hitam, atau biru kepada kinerja menteri, akhirnya yang menentukan lanjut
atau berhentinya sang menteri tetap presiden.
Maknanya,
apa pun yang dilakukan seorang menteri secara normatif dan praktis tak bisa
dimintakan pertanggungjawaban kepada menteri yang bersangkutan. Seburuk apa pun
kinerjanya, dia akan selamat asalkan masih disayang presiden. Atau presiden
jengah mencopotnya. Apa lagi untuk sekarang, bila menyangkut menteri hasil
kompromi antara parpol yang berkoalisi dan partai penguasa.
Mengaca
pada berbagai peristiwa yang berhubungan dengan jabatan menteri tersebut,
desakan agar menteri mundur memang bisa dianggap bagian dari kontrol
masyarakat. Namun, keputusannya terserah presiden. Kecuali yang mengindikasikan
korupsi, seperti yang menimpa Andi Mallarangeng, dia harus mundur karena
terkena aturan internal kabinet.
Desakan
mundur terasa mengulang lagu lama yang bisa disalahgunakan untuk mengalihkan
perhatian. Mendikbud meminta tetap pada koridor substantif berupa permasalahan
pelaksanaan unas yang tidak berlangsung sesuai dengan rencana. Selebihnya,
klarifikasi dan solusi atas permasalahan tersebut lebih urgen untuk
ditindaklanjuti. Termasuk menindaklanjuti dari sisi hukum, ketika ada indikasi
terjadi korupsi.
Samsul
Wahidin ;
Guru
Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
JAWA POS, 22 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi