Saat menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa
kelas XII (SMA sederajat) dan 3,7 juta siswa kelas IX (SMP sederajat) yang
mengikuti UN sejak Senin (15/4) pekan lalu hadir secara spontan.
Meski sudah dijejali aneka pemantapan dan uji coba, ujian
nasional (UN) masih menakutkan. Akankah tragedi tahunan ini terus berlanjut?
Atau ada harapan UN bakal dihapus? Paling tidak, dengan adanya Kurikulum 2013
yang—katanya—lebih menjanjikan, mestinya ada model UN yang lebih menarik dari
yang sekarang.
Dalam buku El Currículo: un campo de conocimiento,
un ámbito de Debate (1989), Diaz Barriga mengkritik kurikulum. Berkaca pada
pengalaman di Kolombia, ia menyimpulkan, kurikulum yang tidak didesain secara
baik bukan tak mungkin jadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks historis
yang melingkupinya. Ia disusun sebagai idealisme indah tanpa memperhitungkan
realitas sosial.
Akibatnya, saat diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
Sebagai jalan keluar, disusun rencana kurikulum yang lebih
baik. Namun, dalam proses ini pun masih ada pemikiran fragmentaris dan
dispesif. Analisis terhadap pembaruan masih bersifat jangka pendek, dengan
sudut pandang tertentu, tanpa melihatnya sebagai satu kesatuan.
Pengakuan Mendikbud Mohammad Nuh (Kompas, 8/3) tentang
implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang terkesan
dipaksakan, padahal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) belum terselesaikan,
adalah contohnya. Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia
mengaplikasikan hal yang dianggapnya paling baik, tetapi kini harus diubah
lagi.
Hal ini mestinya menyadarkan dunia pendidikan, kata Barriga,
bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis. Ia harus dirancang sebagai
strategi terencana dan terukur dengan sebuah orientasi jangka panjang dan tidak
sekadar diganti karena didasarkan pada cara pandang tertentu yang belum tentu
benar.
Dalam konsep berpikir ini, patut diakui, Kurikulum 2013
memenuhi kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan
dasar filosofis (yang elektis?) dan yuridis ataupun jaminan keluaran
berkualitas oleh keunggulan akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam
semua kritik.
Namun, apakah hal itu sebuah jaminan? Ide secermerlang apa
pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat (melalui sosialisasi) dan
buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar Rp 2,4 triliun
benar-benar tepat sasaran dan tidak terkesan mubazir karena tidak efisien dan
efektif.
Setengah Hati
Lalu, bagaimana kita menempatkan UN pada konteks Kurikulum
2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik dengan angka sial, ia lebih
memberikan kegembiraan khusus bagi siswa kelas XI dan kelas VII kini: bakal
tidak ada UN lagi.
Mengapa? metode penilaian yang diterapkan nanti akan lebih
otentik. Yang dievaluasi bukan saja aspek kognitif (pengetahuan), seperti yang
selama ini dilaksanakan, melainkan diseimbangkan dengan penilaian afektif
(sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
Kalau demikian, model UN seperti sekarang akan terakhir.
Kesedihan seputar UN, ritual zikir dan istigasah yang selalu diwarnai duka
bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang
rindu menantikan panen tiba.
Sayangnya, penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan
dengan otoritas pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja otoritas
(katanya) ada di sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN. Apalagi, dalam
Kurikulum 2013, pemerintah pusat dan daerah pemegang kendalinya.
Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Lebih
menyayat hati kalau model UN seperti sekarang terus digunakan mengingat lebih
”praktis” dan telah jadi proyek dengan anggaran yang tak sedikit. Lalu, untuk
apa pembaruan kurikulum?
Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ”apa
adanya”, bila akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10 persen di SD dan 20
persen di SMP—syukur 100 persen di SMA/SMK, (Kompas 8/4), apa yang akan terjadi
pada 2015? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan
Kurikulum 2013?
Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para
pengambil keputusan, mengingat tak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi
kesan kita masih setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Padahal, ide
gemilang perlu dirancang dan disiapkan lebih matang karena ia adalah sebuah
politik akademis. Di sana nasib anak bangsa dan masa depan bangsa
dipertaruhkan. Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tak bisa
sekadar disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal
inisiatif Kemdikbud. Hal itu bisa saja ada, tetapi bersifat pinggiran. Paling
penting adalah kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis
untuk mengadakan pembaruan; entah sekarang atau nanti.
Robert
Bala ;
Alumnus
Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol,
Pengajar
Bahasa Spanyol pada Pusat Bahasa Lembaga Budaya Universitas Trisakti
KOMPAS, 24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi