Fenomena saat ini, banyak siswi yang hamil.
Jumlahnya pun cenderung meningkat. Siswi hamil ini menjadi pro dan kontra;
diperbolehkan ikut ujian negara (unas) atau tidak. Kontroversi ini selalu
berulang setiap tahun.
Menurut laporan Jawa Pos National
Network (JPNN) 23 Februari 2013, sebenarnya jumlah siswi hamil yang akan ikut
unas cukup banyak. Sebab, Hotline Pendidikan Surabaya meneliti dan mendapat
temuan yang mengejutkan pada Desember lalu. Sekitar 16 persen pelajar atau 64
di antara 400 pelajar mengaku sudah berhubungan seks. Jika mereka sampai hamil,
itu berarti jumlah siswi hamil lebih banyak.
Apakah hal itu karena kenakalan remaja?
Atau adanya perubahan alami usia kedewasaan yang semakin muda? Berbagai
pendapat mengatakan bahwa siswi hamil karena pergaulan bebas, pengaruh melihat
gambar-gambar porno. Banyak pula pendapat bahwa kenakalan siswa disebabkan
kenakalan orang yang sudah tua. Ada pula yang berpendapat bahwa siswi hamil
karena lemah takwa dan lemah imannya. Pendapat mana yang benar? Bisa jadi,
semua faktor benar.
Coba kita pahami dari sudut lain bahwa
semakin banyak siswa yang hamil karena adanya perubahan alam, yakni usia
kekedewasaan semakin muda. Sebagaimana laporan KAO Indonesia (2011), kalau
ditinjau dari segi pubertas, saat ini cewek Indonesia puber antara usia 9-15 tahun,
rata-rata mulai mengalami puber di usia 12 tahun.
Jika benar usia kedewasaan semakin muda,
perlu penataan ulang tingkat sekolah selama ini. Tingkat sekolah terkait dengan
pengelompokan interval usia peserta didik. Pengelompokan pada interval usia peserta
didik itu terkait dengan pemilihan strategi belajar mengajar yang digunakan.
Terdapat empat kelompok usia sekolah,
yakni anak balita, anak, adolesensi, dan dewasa. Bayi balita masuk dalam
tingkat pendidikan prasekolah atau pendidikan anak usia dini (PAUD); masa anak
masuk pada tingkat pendidikan sekolah dasar (SD); masa adolesensi masuk pada
tingkat pendidikan menengah (SLTP dan SLTA); dan masa dewasa masuk pada tingkat
pendidikan perguruan tinggi.
Terhadap kelompok interval umur/tingkat
pendidikan yang berbeda, strategi belajar mengajar yang dipilih harus berbeda
karena terkait dengan psikologi tumbuh kembang peserta didik. Hal itu merupakan
strategi pendidikan dalam mendewasakan peserta didik (afektif, kognitif, dan
psikomotorik) agar terjadi secara gradual and smooth.
Kalau hamil, siswi sebagai peserta didik
masuk mana; masa adolesensi atau dewasa? Selama ini orang yang sudah menikah,
apalagi hamil, masuk kategori dewasa sehingga memiliki hak dan kewajiban
fasilitas hukum sebagai orang dewasa.
Murid yang hamil (= sudah
bersuami/istri) dan masuk kategori dewasa kemudian dalam proses belajar
mengajar dijadikan satu dengan murid kategori kelompok adolesensi jelas tidak
cocok. Begitu juga siswi yang hamil dikelompokkan pada kelompok mahasiswa jelas
tidak bisa karena belum lulus sekolah menengah.
Jika siswi hamil masuk sekolah di kejar
(kelompok belajar) paket pada pendidikan nonformal, ijazahnya kurang mendapat
pengakuan. Perguruan tinggi negeri kerap tidak mau menerima calon mahasiswa
dari lulusan/ijazah kerja paket meskipun jalur paket ini difasilitasi
pemerintah juga.
Karena itu, sebagai solusi, sebaiknya
pemerintah membuat jenis sekolah formal khusus untuk murid laki-laki maupun
perempuan yang sudah bersuami/istri (sudah hamil dan juga yang belum hamil).
Dengan begitu, strategi belajar mengajar yang digunakan sesuai dengan jenis
peserta didik, yakni murid yang sudah bersuami/istri (pasutri). Semoga
pendidikan akan semakin lebih tertata.
Gempur
Santoso ;
Sekretaris
Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur,
Guru
Besar di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
JAWA
POS, 11 Maret 2013
Solusi yg bagus...tapi akan lebih bagus lagi jika siswa yg 'kecelakaan' tsb, jangan dihukum dengan di drop outkan, tetapi tetap terus sekolah dengan perhatian dan bimbingan khusus....
BalasHapusDgn men-dropout-kan siswa tsb mencerminkan guru hanya sembunyi tangan , tidak mau berjiwa ksatria untuk tetap membimbing dan mendidik.....
Pemerintah harus mendukung dan tidak hanya menghakimi kesalahan pihak lain, terutama dengan menyalahkan guru.....
Orang Tua harus ikut terlibat lebih dalam dlm masalah ini, tidak perlu harus marah berlebihan yg bisa berujung buruk bagi siswa bermasalah tsb...spt bunuh diri, minggat dan jadi preman, dll...
Selamat berjuang.....!