Mengingat Indonesia adalah bangsa yang besar
dan pemerataan pembangunan serta perekonomian masih menjadi persoalan rumit,
tak heran kalau kehidupan sehari-hari bak hidup di hutan. Yang kuat jadi
pemenang, yang lemah harus siap kalah. Inilah era baru dunia pendidikan yang
memunculkan fenomena imperialisme pendidikan. Maraknya sekolah-sekolah eksklusif
berbiaya mahal, menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi suatu sistem yang
dirancang untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan besar.
Jika kita menginjakkan kaki di sekolah saat
ini, maka mulai dari ujung kaki (sepatu) hingga kepala (topi) harus memiliki
nilai sesuai standar sekolah. Hal ini tentu menjadi batasan bagi anak-anak
Indonesia yang ingin sekolah, namun tidak memiliki biaya.
Memang benar, ada dana bantuan operasi sekolah
(BOS), namun apakah dana tersebut mampu memfasilitasi anak-anak untuk
memperoleh hak bersekolah? Banyak sekolah memang yang menggratiskan biaya
sekolah, namun apakah kualitas pendidikan yang diberikan bernilai mahal? Atau,
jangan-jangan malah kualitasnya pun kualitas gratisan? Di sekilah-sekolah
tertentu, setiap ada kesempatan nemungut biaya pendidikan, malah menjadi lahan
basah untuk memperkaya diri pihak-pihak tertentu. Dana BOS bahkan menjadi
pendapatan atau bonus bagi penyelenggara sekolah.
Lainnya lagi, dunia sekolah malah menjadi
tempat strategis untuk menjadi penguasa daerah. Mari kita saksikan
sekolah-sekolah binaan di provinsi, kabupaten, dan kota, sekarang ini.
Pemerintah malah leluasa melakukan politiknya untuk menguasai pendidikan.
Akhirnya, nasib kepala sekolah bergantung kepada menang atau tidaknya calon
gubernur, bupati atau walikota yang diusungnya.
Jika seorang kepala daerah menang dalam
pilkada, maka langgenglah jabatan kepala sekolah di sekolah binaan tersebut.
Jika kalah maka sang kepala sekolah akan menerima konsekuensi mutasi ke sekolah
lain. Dhus, penguasa memanfaatkan sistem birokrasi agar kepala sekolah tunduk
kepada penguasa demi jabatan yang dipegangnya.
Kepentingan-kepentingan seperti itulah yang
merusak citra pendidikan kita. Pendidikan yang sejatinya alat mencerdaskan
siswa malah menjadi mesin politik yang sarat akan intrik dan kebohongan. Dengan
semakin besarnya perputaran uang di sekolah, maka oknum-oknum tertentu bisa
menyalahgunakannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mewujudkan sekolah
yang benar-benar tidak berorientasi pada biaya atau uang.
Kembalikan sekolah rakyat, mungkin itulah
salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi semakin eksklusifnya dunia
pendidikan yang malah dijadikan barang komoditas. Dulu, sekolah dasar dikenal
sebagai sekolah rakyat. Setiap rakyat Indonesia memiliki peluang yang sama
untuk bisa sekolah. Namun, kini berubah
menjadi sekolah dasar, di mana dasar-dasar pendidikan diberikan kepada siswa.
Perbedaan ini jelas menggambarkan perbedaan
arah pendidikan dasar, jika sekolah rakyat corongnya untuk menjamin semua
rakyat sekolah. Namun tidak demikian dengan sekolah dasar yang arahnya untuk
menjamin anak didik bisa membaca, menulis, dan berhitung. Untuk mampu menguasai
ketiga keterampilan tersebut maka pendidikan bernilai jual. Pendidikan yang
dibayar dengan murah akan lama waktu bagi siswa untuk menguasai atau bisa
membaca, menulis, dan berhitung. Dan, sebaliknya jika dibayar dengan biaya
mahal, maka guru akan bekerja lebih ekstra untuk mengajari siswa secara
intensif sehingga dalam jangka waktu yang singkat siswa sudah menguasai ketiga
hal tersebut.
Guru sekolah rakyat benar-benar penuh
perjuangan dalam mengajar peserta didik. Banyaknya siswa yang tinggal kelas di
era sekolah rakyat menjadi bukti keseriusan pendidikan untuk melahirkan manusia
unggul. Lain halnya dengan keadaan saat ini, ketika peserta didik tinggal
kelas, malah guru yang ditegur dan dianggap mengajar tidak becus sehingga guru
pun malah tidak berani menyatakan secara tegas bahwa kualitas peserta didiklah
yang lemah. Akhirnya, tidak ada satu pun orangtua atau siswa yang siap menerima
kalau anaknya tinggal kelas karena memang sangat jarang siswa yang tidak naik
kelas.
Kuatnya imperialisme dalam dunia pendidikan,
menyimpangkan corong pendidikan di Indonesia. Maka, pemerintah perlu kembali
menekankan bahwa pendidikan adalah untuk semua. Setiap orang harus memiliki
kesempatan yang sama tanpa harus dibatasi biaya sekolah, perlengkapan diri,
atau penampilan pribadi untuk bisa bersekolah. Anak didik pun jangan sampai
melihat atau merasa bahwa sepatu koyak atau baju sekolah bekas menjadi
penghalang untuk belajar di kelas. Anak didik pun harus bisa merasa bahwa
sekolah itu adalah jati dirinya, bukan rumah mewah.
Kita patut bersyukur bahwa salah satu tujuan
pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal ini termaktub
dalam UUD 1945. Tujuan tersebut jelas menjadi landasan utama arah pembangunan
bangsa. Namun, kenyataannya memang sedikit berbeda, kian hari masyarakat malah
semakin sulit untuk bisa menempatkan anaknya duduk di bangku sekolah dasar yang
berkualitas. Ini menjadi persoalan serius, karena hal tersebut terjadi secara
sistemik.
Banyak regulasi dan kebijakan yang dibuat
akhir-akhir ini malah mendiskriminasi kaum miskin dalam pendidikan. Padahal,
gaung wajib belajar sembilan tahun telah lama terdengar. Oleh karena itu,
rakyat sangat mengidam-idamkan sekolah yang merakyat. Sekolah yang setiap
anak-anak rakyat Indonesia bisa menikmatinya tanpa embel-embel apa pun.
Seragam sekolah memang indah dipandang mata,
namun membuat putus asa bagi anak-anak yang tidak mampu membelinya. Biaya
sekolah memang untuk menjamin kualitas, namun menjadi momok bagi masyarakat
yang tidak mampu. Dhus, sudah saatnya wujudkan sekolah rakyat untuk semua
rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Rindu
Rumapea ;
Guru
di Sekolah Berbasis Karakter di Medan, Anggota Perkamen
SUARA
KARYA, 09 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi