Tahun ini
dunia pendidikan Indonesia ditandai dengan mulai diterapkannya kurikulum baru,
yakni Kurikulum 2013. Implementasinya itu dimulai sejak Senin (15/7) oleh 6.500
sekolah dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK di 295 kabupaten/ kota di 33
provinsi.
Namun,
kemunculan Kurikulum 2013 sejak awal sudah menuai pro kontra meskipun pihak
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tak bergeming, optimis
implementasi kurikulum ini menjadi jalan terbaik bagi terwujudnya manusia yang
berkualitas secara moral dan intelektual. Apakah memang demikian, sejatinya
pendidikan itu membawa kebebasan sebagaimana pandangan Jean-Paul Sastre bahwa
manusia adalah makhluk bebas, sehingga dirinya tidak suka dikekang.
Kurikulum
2013 dengan seperangkat aturan main yang ada di dalamnya, menghadirkan
pengekangan terhadap peserta didik. Peserta didik didikte mengikuti semua
aturan main sebagaimana ketentuan kurikulum, sehingga mereka tidak diberi
kesempatan menentukan bersama-bersama model pembelajaran yang ideal. Mungkin
Kemdikbud mengira ukuran ideal hanya cukup ditentukan oleh pemerintah dan pakar
pendidikan yang dilibatkannya. Sementara peserta didik juga memiliki kebebasan
berpikir dalam menentukan model pembelajaran yang ideal. Peserta didik bukan
robot, dapat digerakkan secara simultan dengan sistem mekanik yang ada. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki kebebasan berpikir dalam menentukan arah
hidupnya. Mereka memiliki kemampuan merancang model pembelajaran ideal dalam
proses belajar mengajar. Filsuf pendidikan, John Dewey pernah memberikan kritik
sangat tajam terhadap dunia pendidikan. Ketika ia pertama kali memulai
eksperimennya di Universitas Chicago, ia mengkritik sistem pendidikan
tradisional yang determinatif.
Menurut
Dewey pendidikan harus menekankan kebebasan akademik. Kebebasan akademik
merupakan pondasi dasar dalam mengembangkan demokrasi di sekolah yang bertumpu
pada interaksi dan kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan
memperhatikan satu sama lain, berpikir kreatif menemukan solusi atas problem
yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan
solusi. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus mendorong dan memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik untuk aktif berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, merancang, dan melaksanakan kegiatan belajar.
Kritikan
Dewey ini sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Sekarang
sekolah di Indonesia disibukkan dengan implementasi Kurikulum 2013, kurikulum
yang jika dikategorikan dengan gagasan Dewey masih bersifat tradisional. Meski
mungkin pihak Kemdikbud dan para pakar pendidikan yang dilibatkannya,
menganggap Kurikulum 2013 sangat modern.
Inti
gagasan Dewey tentang sistem pendidikan terletak pada kebebasan akademik.
Kebebasan harus menjadi standar dasar pendidikan. Seperti bahasa Dewey, peserta
didik harus diberikan kebebasan akademik untuk berpartisipasi aktif dalam
pengambilan keputusan, merancang, dan melaksanakan kegiatan belajar. Sehingga
mereka bisa belajar dengan baik dan menyenangkan karena memang semua sistem
pembelajaran dibuat atas kesepakatan bersama. Tetapi, semua itu tidak ada dalam
Kurikulum 2013. Peserta didik dipaksa mengikuti konsep sistem belajar yang
telah dibuat oleh Kemdikbud.
Kebebasan
menjadi penting, sebab pada prinsipnya setiap manusia menginginkan eksistensi
dirinya diakui oleh orang lain. Sementara, jika peserta didik dipaksa mengikuti
Kurikulum 2013 yang aturan mainnya sudah ditentukan, sama saja dengan membunuh
eksistensi diri peserta didik, yang sejatinya juga memiliki kemampuan
menentukan sistem pembelajaran ideal.
Jean-Paul
Sarte, selalu menandaskan bahwa hal esensial dari hidup manusia adalah
kebebasan. Dalam bahasa Sartre, manusia sejatinya dikutuk untuk bebas. Karena
itu, pendidikan sudah semestinya menjunjung tinggi kebebasan sebagai upaya riil
memanusiakan manusia. Pendidikan tidak lain hadir sebagai upaya mengembangkan
potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta,
rasa, maupun karsa, sehingga potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi
dalam tindakan riil.
Dasar
pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan
menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dinamis
guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Jika
tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia, mengapa sistem pendidikan,
termasuk Kurikulum 2013, mengingkari kodrat kebebasan manusia? Dengan demikian,
Kurikulum 2013 hanya akan menyisakan problem berkepanjangan, seperti halnya
kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang tidak mampu mencapai tujuan utamanya. Hal
itu terjadi, karena penerapan kurikulum bertentangan dengan kodrat kebebasan
manusia. Peserta didik seharusnya dibiarkan bebas, menentukan cara belajar
ideal berdasar pemikirannya sendiri, yang diperoleh dari kesepakatan bersama.
Maka, gagasan Dewey sangat efektif sekali menjadi acuan pendidikan nasional di
Indonesia, dengan memberikan kebebasan akademik kepada peserta didik untuk
berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, merancang dan melaksanakan
kegiatan belajar yang ideal berdasar kesepakatan bersama.
Kebebasan
akademik yang diberikan kepada peserta didik akan memberikan dorongan belajar
yang tinggi, serta rasa senang dalam proses belajar. Sehingga bila mereka memiliki
semangat tinggi dan merasa nyaman dengan sistem pembelajaran yang dirancangnya
sendiri bersama guru dan teman-temannya. Sangat mudah bagi mereka mencerna,
memahami, dan mengimplementasikan pengetahuan yang didapatnya dalam proses
belajar.
Kunci keberhasilan
pendidikan, sejatinya bertumpu pada kebebasan. Kebebasan akan melahirkan
semangat dan rasa senang yang tinggi dalam belajar. Bila hal ini terpenuhi,
sangat mudah bagi lembaga pendidikan mewujudkan generasi Indonesia yang
memiliki kualitas moral dan intelektual tinggi.
Masduri ;
Peneliti Teologi & Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel
Surabaya
SUARA KARYA, 24 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi