Reformasi
pendidikan nasional tidak dapat diharapkan dari rezim yang berkuasa sekarang.
Rezim telah berlaku pongah, abai terhadap suara rakyat, serta tidak serius
mengurus pendidikan.
Itulah pesan utama dari diskusi Task Force
Pendidikan dalam Kongres Indonesia Diaspora II di Jakarta, Minggu, 18 Agustus
2013. Paparan dari juru bicara pemerintah, seperti proyeksi peningkatan
ekonomi, banyaknya pengenyam pendidikan tinggi, meningkatnya kualitas
pendidikan, serta janji-janji dan asumsi generasi emas, sudah tidak lagi
membuat peserta terpukau.
Bahkan, paparan yang berisi janji langitan itu
dikonfutasi dengan fakta-fakta tentang hilangnya nasionalisme di
sekolah-sekolah negeri, kacau-balaunya pelaksanaan Kurikulum 2013, kemandirian
Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kreativitas warga Banten,
di tengah situasi kemiskinan yang mampu memaksimalkan potensi lokal, yang semua
itu jauh dari dukungan pemerintah. HAR Tilaar, pendidik senior Indonesia,
bahkan mengatakan bahwa dalam presentasi perwakilan pemerintah telah terjadi
pembohongan publik.
Tiga pesan
Diskusi dan debat tentang pendidikan nasional saat
ini sudah tidak akan efektif lagi. Masyarakat sudah lelah dengan banyak teori.
Berharap kepada pemerintah seperti mengharapkan jatuhnya rembulan.
Namun, Kongres Diaspora Indonesia II telah
menyadarkan bahwa siapa pun orangnya, di mana pun kedudukannya, baik yang
diaspora maupun yang ”diaspora” di negeri sendiri, perlu menyadari tugas dan
tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa ini. Hal ini karena tantangan ke depan
begitu dahsyat.
Ada tiga pesan penting dari Kongres Diaspora
Indonesia yang perlu dijadikan pemikiran dan segera direalisasikan sebagai
bagian tanggung jawab setiap warga yang masih memiliki harapan, cerdas, dan
terdidik (well-educated).
Pertama, kita perlu membentuk Dewan Pendidikan
Nasional yang bersifat independen. Ini untuk menjaga agar kebijakan pendidikan
terawasi dan tidak menjadi ajang rebutan kekuasaan dan uang oleh para politisi
yang telah mati nurani. Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional merupakan amanat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
bersifat independen dan merupakan partisipasi publik dalam pengembangan
kebijakan pendidikan nasional.
Kedua, perlu diciptakan sebuah budaya belajar
nirdinding melalui pemanfaatan berbagai macam media—baik yang tradisional,
cetak, elektronik, maupun digital—agar budaya belajar dan kegairahan belajar
dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Dalam penciptaan budaya belajar
multimedia, multidimensi ini, peranan pemerintah semestinya hanya menjadi
fasilitator yang memberikan ruang bagi genius lokal agar bertumbuh secara
kontekstual bagi pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat sekitar.
Ketiga, tantangan pendidikan yang begitu luas dan
besar tidak bisa diatasi secara sektarian dan parsial. Setiap individu warga
negara dan lembaga, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, mesti
membangun semacam jembatan yang menghubungkan satu dengan yang lain melalui
berbagai macam media. Langkah ini diperlukan tak lain agar sinergi bagi
realisasi pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berbudaya, dan
berkelanjutan ini dapat segera terwujud.
Tiga kritik
Tiga pesan di atas secara tepat memotret dan
merefleksikan kegagalan kebijakan pemerintah dalam menunjukkan kredibilitas dan
akuntabilitasnya. Proses ”pemaksaan” Kurikulum 2013—baik dari segi pengembangan
naskah akademik, kerangka teoretis, kinerja tim teknis, seperti pembuatan buku
pelajaran, sinkronisasi aturan dan regulasi, maupun praksis di lapangan yang
hampir semuanya dilakukan secara tergesa-gesa, seolah-olah bulan esok hari
hendak menabrak bumi pertiwi—merupakan sebuah langkah mundur pengembangan
pendidikan di Indonesia. Jika dibentuk secara benar, sesuai dengan amanah UU
Sistem Pendidikan Nasional 2003, hal itu akan dapat menjadi motor perubahan
pendidikan Indonesia yang menjaga stabilitas kebijakan pendidikan, sehingga
tidak mudah diperalat dan dimanipulasi para politisi yang berganti wajah setiap
lima tahun.
Pesan kedua merupakan sebuah kritik keras bagi para
pemikir dan praktisi pendidikan tradisional yang masih percaya bahwa otoritas
akan memainkan kekuasaan dalam menguasai ilmu. Ilmu adalah kekuatan, dan itu
memang benar.
Namun, setiap orang pada dasarnya terlahir sebagai
pembelajar dan karena itu, mereka bisa berilmu, mereka bisa berkuasa, dan bisa
mandiri dalam bertumbuh dan berkembang. Teknologi telah meretas batas ruang dan
waktu bagi proses belajar sehingga terjadi akuisisi kekuatan itu secara
tersebar melalui berbagai macam media. Kukuh memegang kekuasaan, seolah warga
negara tidak memiliki kuasa, hak, untuk ikut serta dalam kinerja pendidikan
perlu segera ditinggalkan.
Pesan ketiga menyiratkan pemerintah telah salah
memahami bahwa perubahan pendidikan itu seolah berjalan secara linear, yaitu
apabila sudah ada kurikulum, ada buku pelajaran dan panduan, ada pelatihan
guru, seolah harapan dan janji tentang generasi emas itu akan terjadi. Logika
berpikir tentang perubahan pendidikan yang linear ini sudah banyak ditinggalkan
para teoretikus perubahan pendidikan kontemporer, seperti Andy Hargreaves, Dean
Fink, dan Michael Fullan. Mereka telah melihat bahwa Jalan Keempat perubahan
pendidikan, yang intinya mengatakan pendidikan akan berkelanjutan apabila
melibatkan dan didukung semua warga, sistem kebijakan yang integral,
efektivitas penggunaan anggaran, pemberdayaan lokal genius, serta perlunya
kepemimpinan yang memiliki hati dan komitmen bagi perubahan.
Kongres Diaspora Indonesia II telah membuka
cakrawala pemikiran, pembelajaran bagi bangsa ini, yang warganya tersebar di
seantero jagat. Daya luar biasa, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan,
komitmen, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjaga kemartabatan umat
manusia dan peradaban inilah, menurut saya, merupakan daya luar biasa yang
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di antara
bangsa-bangsa lain.
Harapan besar ini tidak lagi dapat diandalkan
kepada pemerintahan sekarang, tetapi pada daya-daya reformasi para diaspora itu
sendiri, dan komitmen calon pemimpin bangsa ini bagi pendidikan Indonesia pada
masa depan.
Doni
Koesoema A ;
Pemerhati Pendidikan
KOMPAS, 29 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi