Pendidikan yang Membebaskan
Sudah berapa puluh kali Kompas dan media massa lain
mengabarkan kehebatan sosok-sosok pembaru yang cerdas dan berdedikasi tinggi di
bidang pendidikan.
Kompas (4/6/2012), misalnya, menggambarkan sosok Suyudi,
sukarelawan yang mendirikan sekolah alam di Klaten. Anak didik tidak
diperlakukan sebagai obyek, namun subyek yang turut menentukan nasibnya
sendiri. Melalui sekolah alam, ia ingin menunjukkan bahwa pendidikan yang
sesungguhnya adalah memperlakukan anak agar menjadi manusia yang utuh. Tidak
sekadar menjejalkan aneka informasi dan ilmu, tetapi juga bagaimana mengajak
anak didik menemukan dirinya.
Dalam bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah
pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Sekolah alam ala Suyudi, dan
yang bertebaran di tempat lain, ingin mengoreksi sistem pembelajaran terutama
di tingkat dasar dan menengah yang cenderung satu arah. Pendidikan pada
dasarnya adalah upaya penanaman sikap hidup, pandangan hidup, nilai-nilai
tentang kehidupan, dan keterampilan hidup.
Pertanyaannya, kalau seorang Suyudi saja bisa
mengembangkan pendidikan yang kreatif dan menyenangkan seperti ini, mengapa
pemerintah tidak mengembangkannya juga? Yang terjadi di dunia persekolahan
formal kita adalah suasana stres karena anak-anak dikejar ketuntasan pelajaran
yang membosankan, yang tidak terkait dengan kebutuhan dan realitas keseharian,
serta ujian nasional yang menekan saraf psikologisnya.
Dunia pendidikan harus menciptakan peluang bagi
pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang, demikian pakar-pakar seperti
Bertrand Russell, Paulo Freire, Ivan Illich, Montessori, Neil Postman, Ki
Hadjar Dewantara, Moch Sjafei, dan Dewi Sartika. Mereka berbicara tentang
pendidikan dari kacamata yang berbeda dan luas, terutama berkaitan dengan
”pemerdekaan” dari ”kebudayaan bisu”.
Dalam teori konflik, tampak bahwa peran sekolah disadari
atau tidak juga melegitimasi dominasi elite sosial, bahkan sekolah merupakan
bagian dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan struktur sosial,
stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu. Dapat dipahami jika
kelompok masyarakat miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama
pendidikan.
Perkembangan berbeda
Perkembangan berbeda
Meski penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
rata-rata IQ bayi berumur kurang dari dua tahun tak berbeda signifikan,
faktor-faktor ketika anak berangkat besar, seperti kekurangan gizi dan sarana
pendidikan, membuat anak dari golongan miskin jauh tertinggal. Orang kaya
sanggup ”menghadirkan” sekolah di rumah: ada guru les piano, komputer, dan
seterusnya.
Umumnya, anak-anak orang miskin bersekolah di lingkungan
kumuh, terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang tidak ramah
ataupun rasa percaya diri yang rendah menjadikan anak miskin cenderung agresif,
mudah terprovokasi, dan mudah tersinggung.
Relevansi sekolah alam ala Suyudi juga terkait dengan
meredupnya pamor IQ sebagai salah satu ukuran kecerdasan. Mengutip David Brooks
dalam The Waning of IQ, Ninok Leksono (Kompas, 19/9/2007) menulis: ”Sementara
psikometrika menawarkan daya tarik semu fakta obyektif, sains baru membawa kita
kembali ke dalam kontak dengan sastra, sejarah, dan kemanusiaan, dan—pada
akhirnya—ke keunikan individu”.
Banyak orang yang tinggi IQ-nya tetapi tidak sukses meniti
karier, bahkan untuk sekadar bergaul. Buku Frames of Mind: The Theory of
Multiple Intelligences, Howard Gardner (Basic Books, 1983) menyebut ada tujuh
macam kecerdasan.
Kecerdasan-kecerdasan itu adalah 1. kecerdasan linguistik
(kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata); 2. Kecerdasan
logika-matematika; 3. Kecerdasan musikal (untuk memahami dan mencipta musik);
4. Kecerdasan spasial (kecerdasan berpikir dalam gambar atau visual); 5.
Kecerdasan tubuh-kinestetik (keterampilan olah tubuh untuk berekspresi seperti
penari, olahragawan); 6. Kecerdasan antarpribadi atau interpersonal, yakni
kecakapan untuk memahami individu lain; serta 7. Kecerdasan intrapersonal,
yakni kecakapan untuk memahami diri dan menggunakan pengalamannya untuk
membimbing orang lain. Masih ada kecerdasan lain, yaitu kepemimpinan
edukasional.
Dalam proses tersebut semestinya semua aspek pendidikan
dikaji secara kritis sehingga menghasilkan suatu bentuk sekolah yang merupakan
ajang interaksi berbagai latar belakang masyarakat untuk saling memahami dalam
suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan. Sekolah menjadi bangunan budaya
dalam arti luas.
Gagasan pendidikan multikultural ini sangat menarik jika dikaitkan
dengan negeri multietnis seperti Indonesia. Sebagaimana disinggung Huntington
sebelumnya, masalah integrasi nasional menjadi persoalan serius bagi negara
yang baru merdeka dengan multietnis-nya.
Saat ini tugas mendidik anak diserahkan sepenuhnya kepada
sekolah. Kalau anaknya tidak berhasil dalam menempuh kehidupan, sadar atau
tidak, pihak sekolah yang disalahkan. Padahal orangtua yang sibuk mengejar
karier. Kenyataan ini merupakan buah kehidupan keluarga pada zaman modern. Ini
yang banyak mendatangkan stres, terutama bagi anak-anak, karena perubahan pola
kerja orangtua.
Pranata sosial retak
Pranata sosial retak
Dalam artikelnya berjudul ”Go East Young Man” di Far
Eastern Economic Review (1994), Mahbubani menunjukkan gejala retaknya pranata
sosial di Barat seperti peningkatan angka bunuh diri, kehamilan remaja, dan
kriminalitas.
Sekolah, yang mestinya merupakan tempat belajar, bermain,
berteman, dan mengembangkan jati diri, pada akhirnya tidak menjadi tempat yang
menyenangkan bagi anak. Bahkan tidak jarang anak justru takut kepada gurunya.
Beban pekerjaan rumah, guru yang otoriter, orangtua yang terlalu memaksa agar
anaknya berprestasi menjadikan anak trauma untuk pergi bersekolah. Kasus
anak-anak yang bunuh diri gara-gara dimarahi guru atau diolok-olok temannya
lalu menjadi berita keseharian.
Fakta seperti itu disebut oleh Prof Kurt Singer dari
Universitas Munchen, Jerman, sebagai fenomena ”sekolah yang sakit” atau Wenn
schule krank macht. Sekolah menjadi tempat penuh sensor, guru yang selalu
mengawasi dengan tanpa batas etika-psikologis, perintah sekolah yang selalu
menjadi diktator dan mematikan bakat, sekolah menjadi pengadilan yang selalu
penuh hukuman sehingga mengakibatkan kegelisahan, ketakutan, penuh ancaman.
Semua fenomena ini disebut Kurt Singer sebagai schwarzer paedagogik atau
”pedagogi hitam” (Sindhunata, 2001).
Indonesia tampaknya perlu segera menata kembali sistem
pendidikannya agar mencetak anak-anak yang bahagia menjalani proses belajarnya,
baik di sekolah maupun di rumah.
Saratri Wilonoyudho
Dosen Universitas Negeri Semarang. Anggota Dewan Riset dan
Ketua Koalisi Kependudukan Jateng
Kompas, Senin, 2 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi