Meningkatkan
Pendidikan Kaum Difabel
Selama ini, pendidikan nasional
kita masih belum banyak memberikan perhatian serius kepada kaum difabel. Kaum
difabel adalah mereka yang mempunyai kemampuan berbeda, tidak seperti biasa.
Sekali lagi, mereka bukanlah orang cacat, melainkan berkemampuan berbeda.
Sayang sekali, kemampuan mereka yang berbeda ini kerap dianggap keganjilan,
sehingga negara juga memberikan pelayanan pendidikan yang masih ganjil.
Lihat saja berbagai fasilitas
pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi kita. Kaum difabel belum banyak
mendapatkan tempat dan fasilitas yang layak. Belum banyak perguruan tinggi yang
mau menerima kaum difabel. Ini jelas mencederai UUD 1945 yang memberikan amanat
kepada negara untuk memberikan pelayanan pendidikan yang layak dan setara
kepada semua warga negara. Diskriminasi dalam pendidikan kaum difabel merupakan
pelanggaran kepada konstitusi kita.
Inilah yang mesti diluruskan
bersama. Karena kalau dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, dari
1.884.557 tuna netra di Indonesia, yang belum bisa baca tulis braille
diperkirakan mencapai 97 persen atau 1.828.220 jiwa. Jauh lebih besar dibanding
tunanetra yang bisa baca-tulis braille. Lembaga yang menerbitkan buku braile di
Indonesia adalah Balai Penerbitan Braile Indonesia (BPBI).
Di bawah naungan Departemen
Sosial, BPBI mencetak dan mendistribusikan buku ke seluruh wilayah di
Indonesia. Namun hingga 2006, BPBI baru mencetak 35 judul buku baru. Plus 25
edisi kaset/talking book. Hasil terbitan BPBI antara lain adalah majalah, buku
sekolah untuk ebtanas, buku umum, keterampilan, dan komputer. Sedangkan
kaset-kaset rekaman adalah tentang psikologi dan cerita. Buku-buku dan kaset
itu didistribusikan ke 19 panti, 80 sekolah luar biasa (SLB), 132 sekolah dasar
luar biasa (SDLB), 85 yayasan/organisasi tunanetra, 636 perorangan, dan tiga
perpustakaan.
Untuk itu, persoalan mendasar
yang harus kita selesaikan bersama adalah menyediakan ruang publik yang mampu
mengembangkan kemampuan intelektual dan profesionalitas mereka. Tak lain dalam
hal ini adalah perpustakaan dan buku. Hampir seluruh perpustakaan umum di
Indonesia belum menyediakan fasilitas yang memadai bagi penyandang cacat,
karena memang tidak ada anggaran khusus yang diperuntukkan untuk pengadaannya.
Distribusi buku dari BPBI belum memenuhi standar publik.
Dalam konteks tersebut, ada
beberapa catatan yang perlu refleksikan. Pertama, membangun image publik bahwa
penyandang cacat adalah manusia sempurna, seorang manusia yang terlihat dari
luarnya tidak sempurna (cacat) bisa jadi sangat sempurna sebagai pribadi.
Dengan image seperti ini, mereka akan merasa dimanusiakan, sehingga timbul
spirit dan optimisme baru mengarungi samudra kehidupan. Karena apapun yang
dilakukan pemerintah atau masyarakat tanpa spirit dan mentalitas diffable yang
kuat, maka akan percuma, sebagaimana dikatakan Tandon (1995), the force of
change is inside oneself; outsiders can only provide 'enabling conditions'. No
more. Artinya, penyandang cacat sendirilah yang harus bangkit dan mempunyai
keinginan kuat untuk berkembang; tidak hanya berdiam diri menunggu bantuan. Di
tengah keterbatasan fisik, ia bisa mencapai taraf hidup lebih baik.
Kedua, setelah membangun
mentalitas diffable, maka sudah saatnya masyarakat, khususnya yang bergerak
dalam bidang pendidikan untuk berkomitmen menyediakan buku dan fasilitas
perpustakaan yang layak dan memadai bagi diffable. Dalam kontesk ini, menarik
apa yang dilakukan Yayasan Mitra Netra Jakarta yang meluncurkan program
"1.000 buku untuk tuna netra". Program yang resmi diluncurkan pada
akhir Januari 2006 itu telah menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi.
Program ini bertujuan untuk menyediakan alternatif buku bacaan bagi para tuna
netra dalam bentuk buku elektronik atau e-book. Saat ini buku bacaan untuk
mereka sangat masih minim karena hanya seputar buku pelajaran saja, bukan
buku-buku populer. Dengan program ini, Yayasan Mitra Netra berupaya untuk
menambah buku bacaan dengan cara melibatkan peran serta masyarakat.
Program "1000 buku untuk
tuna netra" merupakan langkah yang dilakukan untuk melakukan diversifikasi
buku bacaan bagi penyandang cacat khususnya tuna netra. Hingga kini, buku
bacaan tersebut hanya tersedia dalam bentuk buku braile, kaset hingga CD.
Karena keterbatasan sistem, e-Book hanya dapat dibaca di perpustakaan digital
Mitra Netra yaitu Intranet. Namun perpustakaan ini sudah terdapat di empat kota
besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Makasar.
Kini, di belahan bumi Nusantara,
penyandang cacat (diffable) telah menunggu kerja sosial dalam memberdayakan
potensi mereka. Peran perpustakaan daerah (Perpusda) ditingkat lokal sangat
besar.
Untuk itu, Perpusda perlu
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam usaha menyediakan fasilitas buku
bagi penyandang cacat (diffable). Kalau Yayasan Mitra Netra mampu menggalang
program "1000 buku untuk tuna netra", maka sangat mungkin Perpusda
bersama pemerintah daerah terkait menyelengarakan program "2000 buku atau
bahkan 10.000 buku untuk tuna netra." Dari pada uang kas negara menjadi
rebutan korupsi elite politik, alangkah lebih baik kalau dana itu dialokasikan
untuk penyediakan buku penyandang cacat (diffable).
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Peneliti pada Program Pasca
Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 29 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi